Husnuzhzhan, atau yg sering kita terjemahkan dgn berbaik sangka, bukanlah hal yg mudah. Sudi atau tak kita harus akui itu. Wajar saja Al-Qur’an maupun hadist berulang-ulang mengingatkan kita terkait husnuzhzhan ini.
Pemantiknya sederhana, sebab husnudzan atau sangka-menygka itu urusan hati (min af’alil qulub), dan kita tahu sendiri siapa sang pengendali hati sebenarnya, tiada lain kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan, buat mengendalikan lintasan hati sendiri saja kita tak mampu. Maka dari itu, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita sebuah doa, ya muqallib al-qulub tsabbit qalbi ‘ala dinika, “Wahai sang pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku memeluk agama-Muâ€.
Coba kita ambil contoh, seandainya dalam sebuah majelis pengajian seorang kiai besar, sebut saja Gus Baha’, misalnya, di tengah pengajian tampak seorang pria tinggi besar berkulit coklat, bagian lengan dan lehernya dipenuhi tato dgn muka yg tampak tak ramah, menghampiri tempat di mana Gus Baha’ duduk bersila dgn kitab dan meja berukuran kecil tepat di hadapannya.
Tanpa salam dan permisi, ia melewati sela-sela kerumunan orang yg duduk rapi menyimak pengajian kiai karismatik itu. Para hadirin yg sedari tadi memperhatikan sosok Gus Baha’ dan larut dalam kajian yg disampaikannya, kini teralihkan begitu saja menuju sosok yg sangat berbeda dari yg lain itu.
Suasana yg sedikit ‘horor’ tersebut berlangsung cukup lama sampai si pria tadi berhasil duduk di samping kanan Gus Baha’ dgn gaya duduk ihtiba’ (kedua tangan memeluk kedua lutut yg terangkat sejajar dgn dada).
Melihat fenomena di atas, mampukah kita mengatur lintasan hati kita buat tak sampai berprasangka buruk kepada sesama? Kalau berkaca pada tabiat manusiawi kita, saya rasa tak, kecuali satu-dua orang yg hatinya dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Secara umum, mungkin kita bergumam atau paling tak terbersit dalam pikiran bahwa pria bertato tadi aneh, sekonyong-konyong masuk majelis, tanpa permisi, melangkahi satu demi satu jamaah yg sedang khusyuk menyimak penyampaian Gus Baha’.Â
Padahal, bila ditelisik lebih jauh, ternyata pria yg tampak aneh tadi ialah seorang mualaf beberapa hari lalu yg mau belajar Islam rahmatan lil’alamin kepada sumber yg terpercaya. Jadi, ketaktahuannya mau adab dan tata krama ialah sebuah kewajaran yg harus dimaklumi.
Poinnya, buat sesuatu yg dapat kita peroleh jawabannya secara mudah saja teramat sukar kita menata hati. Apalagi dalam menyikapi kada-kadar Allah, yg mana berinteraksi atau bertanya langsung kepada-Nya taklah sederhana. Butuh spiritual tingkat tinggi buat dapat melakukannya.Â
Oleh sebab itu, orang yg diberi karunia mampu menata hati, berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas setiap ketentuan-ketentuan-Nya, mendapatkan apresiasi besar di akhirat nanti. Kenapa sebab, sebab berbaik sangka kepada Allah (husnuzhzhan billah) merupakan satu bukti cinta kita sebagai hamba kepada Tuhan alam semesta.Â
Imam al-Hafidz Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid al-Qurasyi atau yg akrab disapa Ibnu Abi ad-Dunya-lahir di kota Baghdad pada tahun 208 H, sekitar empat tahun sepeninggal seorang imam besar, sang pembaharu agama, imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Dalam salah sebuah karyanya Husnudzan Billah (halaman 3 pada hadist keenam) ia menulis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ø¥Ùنَّ ØÙسْنَ الظَّنّ٠بÙالله٠مÙنْ ØÙسْن٠الْعÙبَادَةÙ
Artinya, “Sungguh, berbaik sangka kepada Allah merupakan ibadah terbaik yg dipersembahkan sang hamba kepada Tuhannya.â€
Saya senang sekali membaca hadist ini, selain sebab menjanbilan apresiasi besar, juga secara tak langsung mendukung pemikiran saya bahwa berbaik sangka kepada Tuhan termasuk bukti cinta kita kepada-Nya.
Bukankah dgn ibadah sejatinya kita sedang mempersembahkan cinta kepada Allah? Ya, tentu begitu. Semakin yakin mau hal itu, ketika saya membaca statement Dr. Iyad Abdul Hafidz Qunaibi, seorang doktor bidang Farmokologi Molekuler-satu ilmu yg mempelajari bagaimana suatu bahan kimia atau obat berinteraksi dgn sistem biologis, terutama mempelajari aksi obat dalam tubuh-, dalam bukunya yg berjudul Husnuzhzhan Billah (halaman 25, cetakan kedelapan yg diterbitkan tahun 2018) ia mengatakan:
ÙَرَبّÙنَا خَلَقَنَا Ù„ÙنَعْبÙدَه٠وَالْعÙبَادَة٠مَØَبَّةٌ وَتَعْظÙيْمٌ وَطَاعَةٌ
Artinya, “Tujuan Tuhan menciptakan kita semua, tiada lain kecuali buat beribadah kepada-Nya. Sementara ibadah itu sendiri ialah bentuk cinta, pengagungan, dan ketundukan kita kepada sang pencipta.â€
Statement ini membuat saya yakin 100 persen bahwa apa yg saya gelisahkan selama ini terjawab dgn benar. Mengingat, berbaik sangka kepada Allah merupakan bagian dari ibadah, dan ibadah sendiri diartikan sebagai bentuk cinta sang hamba kepada penciptanya. Jelas bukan, bahwa husnuzhzhan billah ialah bukti cinta pada sang luhur.Â
Kendatipun sebenarnya, sekadar buat membuktikan bahwa husnuzhzhan billah sebagai bukti cinta, cukup menggunakan logika akal sehat. Yaitu, bahwa Tuhan yg telah menciptakan kita dgn penuh cinta dan kasih-sayg tak mungkin membalasnya dgn kebencian.
Lalu, bagaimana mungkin sang pencinta, atas nama cintanya, tega berprasangka buruk terhadap yg ia cintai, menduganya tak adil, dan mendustai janji? Bukankah Dia mustahil lalim kepada hamba-Nya? Bukankah Dia zat teradil yg pernah ada? Dan, bukankah Dia sang penepat janji terbaik?
Tepat rasanya kali ini mengutip diksi Al-Qur’an dalam penggalan Surat An-Nisa’ ayat 122, Allah berfirman:
وَعْدَ الله٠Øَقًّا وَمَنْ أَصْدَق٠مÙÙ†ÙŽ الله٠قÙيْلًا
Artinya, “Janji Allah itu benar. Siapakah yg lebih benar perkataannya ketimbang Allah?â€
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.