Beda Pendapat Sahabat Nabi saat Terdampak Wabah Thaun

Masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat ulama sering dijumpai dalam pembahasan fiqih, terutama yg berkaitan dgn amaliah ibadah. Namun, ternyata dalam fiqih kesehatan, khilafiyah telah terjadi, bahkan sejak zaman sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu kisah perbedaan pendapat tersebut terungkap dalam sikap para sahabat Nabi ketika menghadapi wabah thaun yg terjadi di daerah Amwas, Syiria/Syam, pada tahun 17-18 Hijriah.

 

Para sahabat yg terdampak wabah thaun Amwas ialah sekelompok besar pasukan yg sedang menjalankan misi pada masa Khalifah Umar bin Khattab buat menaklukkan kedudukan Romawi di Syiria dan sekitarnya. Misi ini sukses sehingga keberadaan pasukan dipertahankan di daerah tersebut. Mereka bermarkas di Amwas dan dikomandoi oleh Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah. Bahkan, sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian dijadikan wali negeri di Syria buat mengatur dan memimpin masyarakat di sana.

 

Di tengah keberhasilan penaklukan, para sahabat pun mengatur, mendidik dan membina daerah taklukan itu supaya penuh keberkahan dgn syariat Islam. Khalifah Umar bin Khattab pun sempat memberikan ucapan selamat dan dukungan penuh dgn mendatangkan para sahabat lainnya buat membantu perjuangan pasukan. Tidak kurang dari ulamanya para sahabat seperti Mu’adz bin Jabal yg berpengalaman dakwah di Yaman dan Sahabat ‘Amr bin ‘Ash yg ahli strategi perang turut diperbantukan ke Syria.

 

Hal menarik yg dapat diambil sebagai pelajaran ialah penanganan wabah thaun Amwas yg berbeda dan diwarnai perdebatan para sahabat. Saat wali negeri Syiria sekaligus panglima pasukan muslim dipimpin oleh sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal, fatwa yg dikeluarkan kedua sahabat itu buat diikuti pasukannya dalam menghadapi wabah ialah tetap berkumpul di area markas dan tak menyebar. Namun, pada masa kepemimpinan sahabat ‘Amr bin ‘Ash, fatwa yg dikeluarkan buat diikuti oleh pasukannya ialah supaya menyebar secara mandiri ke daerah perbukitan dan lembah.

 

Kedua ijtihad yg berbeda dari golongan para sahabat besar itu pada mulanya menjadi suatu masalah khilafiyah. Sahabat ‘Amr bin ‘Ash yg semula masih menjadi pasukan di bawah komando sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah sempat menganjurkan kepada panglimanya tersebut supaya masyarakat dan pasukan diungsikan. Beliau berpendapat bahwa hendaknya wabah dihindari dgn cara menyebarkan lokasi tinggal pasukan. Namun, dia segera tunduk patuh pada keputusan panglima Abu Ubaidah yg mengambil keputusan berbeda dgn pendapatnya. Mereka sepakat buat tetap berkumpul di Amwas.

 

Demikian pula ketika akhirnya Abu Ubaidah wafat akibat terkena thaun dan kedudukan panglima digantikan oleh Mu’adz bin Jabal. Sahabat Mu’adz tetap mempertahankan keputusan supaya markas pasukan tetap berada di dalam satu lokasi. Maka kejadian yg sama pun terulang, yaitu terpaparnya Mu’adz bin Jabal sekeluarga sehingga wafat akibat thaun. Tidak kurang dari 25.000 korban jiwa dari kalangan kaum muslimin yg meninggal akibat wabah thaun Amwas.

 

Setelah Sahabat Mu’adz bin Jabal wafat, Khalifah Umar bin Khattab mengangkat ‘Amr bin ‘Ash sebagai panglima pasukan. Kali ini, keputusan yg diambilnya buat menghindari wabah diterapkan secara berbeda dari pendahulunya. Maka ada sahabat senior yg juga mengkritiknya. Namun, ‘Amr bin ‘Ash tetap dalam pendapatnya dan diikuti oleh seluruh pasukan maupun masyarakat di Amwas. Kisah lengkap tentang perbedaan pendapat ini terekam dalam kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi (Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 155).

 

“Ketika wabah melanda, Abu Ubaidah pun berkhutbah, wahai sekalian manusia, sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Tuhan kalian, doa Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah buat mendapat bagian dari rahmat tersebut. Lalu dia terjangkit penyakit tersebut sehingga meninggal dunia. Selanjutnya Mu’adz bin Jabal menggantikannya buat memimpin orang-orang, lalu dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah, wahai sekalian manusia, wabah ini merupakan rahmat dari Tuhan kalian, doanya Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah supaya keluarganya mendapat bagian dari rahmat tersebut. Kemudian, putranya yg bernama Abdurrahman bin Mu’adz terjangkit penyakit tersebut sampai meninggal. Dia pun memohon  kepada Tuhannya buat dirinya, dan akhirnya dia juga terkena thaun pada telapak tangannya. Setelah dia wafat, ‘Amr bin ‘Ash menggantikan kedudukannya buat memimpin orang-orang. Kemudian, dia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan kami. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya bila penyakit ini mewabah maka dia mau berkobar sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung. Maka Abu Wailah al-Hudzali bangkit dan berkata kepadanya, sungguh engkau telah berdusta, aku pernah bersahabat dgn Rasulullah sedangkan engkau lebih buruk ketimbang keledaiku ini. ‘Amr bin ‘Ash berkata, demi Allah aku tak mau membalas perkataanmu, demi Allah aku tak mau memperkarakan perkataanmu itu. Dia pun keluar dan orang-orang ikut keluar berpencar darinya, kemudian Allah melenyapkan wabah tersebut dari mereka. Ketika pendapat ‘Amr bin ‘Ash didengar oleh Khalifah Umar bin Khattab, demi Allah, dia tak membencinya.”

 

Berdasarkan kisah tersebut, ternyata perbedaan pendapat tentang manajemen wabah penyakit telah muncul sejak zaman para sahabat pilihan. Namun, mereka tetap berlapang dada dan menunjukkan ketaatan kepada pimpinannya. Sebagaimana telah kita ketahui, para sahabat yg diangkat oleh Khalifah Umar sebagai pimpinan pasukan atau pimpinan wilayah ialah sahabat yg mumpuni dalam permasalahan agama, sehingga fatwanya mau ditaati oleh pengikutnya. Tidak terkecuali fatwa dari Panglima Abu Ubaidah dan Mu’adz bin Jabal, kedua fatwa dari sahabat ini diikuti oleh ‘Amr bin ‘Ash meskipun berbeda dari pendapat pribadinya.

 

Dalam hal senioritas, sahabat ‘Amr bin ‘Ash memang masuk Islam belakangan bila dibandingkan dgn Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal. Namun, dgn diangkatnya mereka bertiga sebagai pimpinan wilayah secara berurutan menempatkan mereka pada kedudukan resmi sebagai pemberi keputusan atau fatwa dalam setiap masalah  hukum di wilayah yg dipimpinnya.

 

Ketika situasi berkembang, tak menutup kemungkinan fatwa yg semula berbeda dgn fatwa resmi ternyata dapat digunakan. Bahkan fatwa yg semula bertentangan dgn fatwa yg telah ada juga dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah yg sedang terjadi. Keteguhan ‘Amr bin ‘Ash buat melaksanakan ijitihadnya didasarkan pada situasi wabah yg telah berkembang dari keadaan awal sejak pendahulunya masih memimpin. Saat diangkat menjadi pemimpin, Beliau bertanggung jawab terhadap sisa pasukan dan masyarakat yg dipimpinnya setelah berkurang 25.000 orang akibat wabah thaun. Maka Beliau pun berijtihad dgn hasil keputusan yg baru dan berbeda.

 

Sekilas, landasan keputusan logis yg diambil oleh ‘Amr bin ‘Ash tak sekuat landasan dari kedua pendahulunya yg langsung mendengar dari Rasulullah. Sebagai bentuk adab kepada sahabat seniornya, ternyata ‘Amr bin ‘Ash juga sempat menyepakati pendapat panglima sebelumnya dgn mengeluarkan sebuah landasan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Masih di kitab yg sama, Imam Suyuthi menceritakan kisah lengkapnya sebagai berikut.

 

“Ahmad meriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa thaun terjadi di Syam. Lalu ‘Amr bin ‘Ash berkata, siksaan ini telah menetap terjadinya, maka larilah kalian ke jalan menuju bukit atau menuju lembah. Lalu hal itu sampai di telinga Mu’adz bin Jabal, tetapi dia tak mempercayai apa yg dikatakan oleh ‘Amr bin ‘Ash. Mu’adz bin Jabal berargumen dgn perkataannya, bahkan itu ialah kesyahidan, rahmat dan doa Nabi kalian. Ya Allah, berilah sebagian dari rahmatMu buat Mu’adz dan keluarganya. ‘Amr bin ‘Ash berkata, maka aku juga mengetahui tentang kesyahidan dan rahmat. Aku tak mengetahui apa doa Nabi kalian hingga aku diberitahu bahwa pada suatu malam, Rasulullah melaksanakan shalat, lalu Beliau berdoa, jadi dgn penyakit panas atau thaun, tiga kali.” (As-Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 143).

 

Wabah, antara Azab dan Rahmat

Dengan menyampaikan hadits tersebut, sebetulnya ‘Amr bin ‘Ash bersepakat tentang makna rahmat dan kesyahidan dalam konteks thaun Amwas. Jadi Beliau tak hendak membantah Mu’adz bin Jabal, bahkan dalam riwayat yg lain, ‘Amr bin ‘Ash menyatakan bahwa Mu’adz bin Jabal ialah benar. Pada kisah di atas, ‘Amr bin ‘Ash juga mengakui bahwa pengetahuannya tentang doa Nabi taklah sebaik pengetahuan yg dimiliki oleh Mu’adz bin Jabal. Di sinilah letak ketawadhuan ‘Amr bin ‘Ash ketika masih ada Mu’adz bin Jabal.

 

Lalu apa dasar yg digunakan oleh ‘Amr bin ‘Ash ketika menjadi panglima tetap menerapkan gagasannya yg dulu sempat disampaikan kepada Mu’adz bin Jabal buat menyebar pasukan supaya tak berkumpul di markas? Dalam riwayat yg dikutip oleh Imam Suyuthi, ‘Amr bin ‘Ash beberapa kali menggunakan istilah rijzun buat menyertai penyebutan penyakit thaun. Rijzun merupakan perbuatan dosa, atau dapat juga diartikan azab/siksaan sebab dosa. Perbuatan dosa yg dilakukan oleh manusia, diyakini oleh orang yg beriman, dapat mengundang azab dari Allah SWT. Rupanya perbedaan cara sudut pandanglah yg menyebabkan masalah khilafiyah ini.

 

Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal serta beberapa sahabat senior yg lain melihat thaun dari sudut pandang rahmat, sedangkan ‘Amr bin ‘Ash melihatnya dari sudut pandang azab dgn tetap membenarkan sudut pandang rahmat. Azab yg tak pilih-pilih ini tentunya harus dihindari dgn berbagai upaya oleh kaum muslimin supaya tak terkena kebinasaan. Sebagaimana yg telah diketahui, ada siksaan yg tak khusus menimpa orang-orang yg zalim saja. Bila orang saleh dan orang beriman tertimpa dgn hal tersebut, kondisinya tetap menjadi rahmat dan bukan azab. Bila yg tertimpa ialah orang yg tak beriman, barulah menjadi siksaan yg sebenar-benarnya di dunia sebagai pembukaan siksaan di akhirat kelak. Namun, anjuran umum yg berlaku ialah memelihara diri dari siksaan/azab yg seperti itu.

 

Upaya lahiriah yg diterapkan oleh ‘Amr bin ‘Ash sebenarnya ialah konsep physical distancing dan isolasi mandiri dari wabah penyakit menular, yg saat itu terjadi, yaitu wabah thaun. Sebagaimana yg telah dibahas oleh para ulama, wabah memiliki sisi perbedaan dgn thaun. Thaun telah pasti merupakan wabah, sedangkan wabah merupakan istilah yg lebih umum buat menyebutkan kondisi penyakit menular yg kejadiannya sedang merebak di suatu wilayah. Physical distancing yg dikenal dgn istilah jaga jarak, ternyata relevan bila diterapkan baik pada thaun maupun wabah penyakit menular lainnya. Demikian pula dgn isolasi mandiri bagi yg sedang terkena penyakit thaun maupun penyakit menular lainnya, ternyata masih relevan diterapkan hingga masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.

 

Adapun sudut pandang yg dimiliki oleh ‘Amr bin ‘Ash tentang thaun sebagai azab atas dosa masih bersesuaian dgn pengalaman lapangan dan sejarah mula-mula kemunculan thaun di Amwas. Imam Suyuthi mengutip bahwa dalam Mir’ah az-Zaman disebutkan bahwa: “Pada tahun 18 Hijriah, sejumlah orang muslim di Syam meminum minuman keras. Abu Ubaidah menghukum mereka dgn hukuman cambuk atas perintah Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat itu, Khalifah berkata, sungguh pada tahun ini mau terjadi peristiwa. Maka terjadilah thaun. Hisyam berkata, thaun terjadi di Syam sebab mereka minum minuman keras.”

 

Semua sahabat Nabi yg disebutkan di atas berada pada ijtihad yg benar. Ada satu hadits yg merangkum benarnya fatwa mereka semua, yaitu hadits tentang pahala syahid bagi orang yg bersabar dari thaun. Aisyah meriwayatkan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai thaun. Sesungguhnya thaun itu merupakan azab yg Allah timpakan kepada siapa saja yg Dia kehendaki dan menjadi rahmat bagi kaum mukmin.”

 

Demikianlah adab para sahabat ketika berbeda pendapat. Bahkan dalam memutuskan masalah yg menygkut keselamatan jiwa masyarakatnya, mereka tetap mengutamakan adab. Mereka semua ialah sahabat Nabi yg terpilih dan ulama panutan umat yg setiap pendapatnya tak didasarkan atas kepentingan pribadi. Mereka juga berlapang hati dalam melaksanakan keputusan pimpinan, meskipun pimpinan tersebut berbeda dalam merumuskan ijtihad dgn dirinya. Semoga ini dapat menjadi contoh buat menyikapi masalah khilafiyah yg sering kita hadapi.

 

Apabila dikhususkan dalam konteks menyikapi wabah Covid-19, banyak ragam perbedaan pendapat tentang fiqih kesehatan yg dikemukakan oleh para ulama. Mulai dari hukum bermasker ketika beribadah, menjaga jarak ketika sholat berjamaah dan perbedaan dalam hal-hal lainnya. Semua hal tersebut telah dicermati dan dikaji bersama dgn pakar di bidang kesehatan. Maka ketika ada anjuran atau fatwa yg telah mempertimbangkan saran dari para ahli kesehatan yg terpercaya, telah selayaknya umat Islam mematuhinya. Namun, bila ada pihak-pihak yg berbeda pendapat, hendaknya mereka berlapang dada buat kembali kepada kesepakatan para ulama dan pemimpin muslim yg adil dalam memutuskan persoalan kaum muslimin.

 

 

Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi, anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.