Sejarah mencatat, sebagian orientalis Barat, seperti Ignác Goldziher dan sesamanya, meragukan keaslian hadits Nabi. Mereka menuduh bahwa hadits Nabi baru dibukukan sejak abad kedua Hijriah atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Menurut mereka, di abad pertama Hijriah belum ada penulisan hadits Nabi. Sehingga, mereka dgn mudahnya meragukan kemurnian hadits Nabi seraya menuduh bahwa hadits Nabi yg dibukukan ialah hasil buatan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz buat melanggengkan kekuasaannya.
Â
Para orientalis ini berdalih penulisan hadits Nabi baru dimulai sejak Imam Malik bin Anas (w. 179 H) selesai menyusun kitab al-Muwattha’ yg berisi kumpulan hadits Nabi. Selain itu, mereka juga berdalih bahwa sebelumnya di masa sahabat Nabi tak ada penulisan hadits dgn dalil
Â
عن أبي سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن ÙليمØÙ‡
Â
Diceritakan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda “Jangan kalian menulis (selain Al-Qur’an) dariku. Barang siapa yg menulis dariku selain Al-Qur’an hendaknya ia menghapusnya†(HR Muslim).
Â
Padahal, di sisi yg lain ada hadits yg menjelaskan anjuran menulis hadits Nabi:
Â
عن عبد الله بن عمرو قال كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد ØÙظه Ùنهتني قريش وقالو أتكتب كل شيء تسمعه ورسول الله صلى الله عليه وسلم بشر يتكلم ÙÙŠ الغضب والرضى، Ùأمسكت عن الكتاب، Ùذكرت ذالك لرسول الله صلى الله عليه وسلم، Ùأومأ بأصبعه إلى Ùيه Ùقال اكتب Ùوالذي Ù†Ùسي بيده ما يخرج منه إلا ØÙ‚.
Â
Diceritakan dari Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata “Dahulu aku menulis seluruh yg aku dengar dari Rasulullah, aku mau menghafalkannya, maka kaum Quraisy mencegahku. Mereka (kaum Quraisy) mengatakan “Apakah engkau menulis seluruh hadits yg engkau dengar (dari Rasulullah), padahal Rasulullah ialah manusia yg terkadang bersabda dalam keadaan marah terkadang dalam keadaan senang?†Maka aku menahan diri dari menulis (hadits Nabi). Kemudian, aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah, maka Rasulullah memberikan isyarat dgn jarinya kepada mulutnya, Rasulullah bersabda “Tulislah (hadits), demi Allah dzat yg jiwaku berada dalam genggaman-Nya taklah keluar darinya (mulutku) kecuali kebenaran†(HR Abu Dawud).
Â
Lantas bagaimana para ulama menanggapi mau hal ini?
Â
Di sini kita mau melihat ada empat argumentasi ulama dalam mengompromikan dua hadits yg bertentangan, yaitu:
Â
Pertama, menurut sebagian ulama pada mulanya ditetapkan larangan menulis hadits. Hal ini disebabkan khawatir tercampurnya penulisan Al-Qur’an dan hadits. Hingga ketika jumlah umat Islam bertambah banyak serta umat islam telah mengetahui perbedaan di antara Al-Qur’an dan hadits, larangan menulis hadits pun digugurkan dan dihapuskan.
Â
Dr. Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Melihat adanya pertentangan hukum menulis hadits, dapat disimpulkan bahwa larangan menulis hadits yg diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri ialah digugurkan (mansukh). Hal ini disebabkan adanya hadits yg diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin Ash yg menunjukkan kebolehan menulis hadits yg datang setelahnya. Maka telah jelaslah bahwa kebolehan menulis hadits datang lebih akhir, dan menggantikan hukum larangan menulis hadits yg datang sebelumnya†(Dr. Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-hadits, Kairo: Dar Ibnu Jauzi, 2015, hal. 285).
Â
Kedua, menurut sebagian ulama larangan menulis hadits dalam riwayat Abu Sa’id al-Khudri ialah larangan menulis hadits dalam satu halaman yg sama dgn penulisan Al-Qur’an.
Â
Al-Hafidz as-Sakhawi mengatakan, “Larangan menulis hadits maksudnya ialah larangan menulis hadits bersama Al-Qur’an dalam halaman yg sama. Hal ini disebabkan para sahabat mendengarkan takwil mengenai ayat yg diturunkan dan terkadang mereka menuliskan takwil tersebut bersamaan dgn penulisan ayat Al-Qur’an. Maka Rasulullah melarang para sahabat melakukan hal tersebut sebab khawatir tercampur diantara penulisan Al-Qur’an dan hadits†(al-Hafidz as-Sakhawi, Fath al-Mughits bi Syarh Alfiyyah al-hadits, Kairo: Maktabah as-Sunnah, 2003, vol.3, hal 39).
Â
Ketiga, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani riwayat Abu Sa’id al-Khudri yg menjelaskan larangan menulis hadits berderajat mauquf ‘alaih (disandarkan kepada sahabat). Oleh sebab itu, riwayat Abu Sa’id al-Khudri ini tak dapat digunakan sebagai dalil larangan menulis hadits. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari vol.1, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990, hal. 208).
Â
Keempat, sebagian ulama mengatakan larangan menulis hadits ditunjukkan kepada orang-orang yg memiliki daya hafal yg kuat. Sedangkan izin kebolehan menulis hadits ditunjukkan kepada orang-orang yg lemah daya hafalnya. Pendapat ini berdasarkan dalil hadits
Â
عن أبي هريرة قال كان رجل من الأنصار يجلس إلى النبي صلى الله عليه Ùˆ سلم Ùيسمع من النبي صلى الله عليه Ùˆ سلم الØديث Ùيعجبه ولا ÙŠØÙظه Ùشكا ذلك إلى النبي صلى الله عليه Ùˆ سلم Ùقال يا رسول الله إني أسمع منك الØديث Ùيعجبني ولا Ø£ØÙظه Ùقال رسول الله صلى الله عليه Ùˆ سلم استعن بيمينك وأومأ بيده للخط
Â
Diceritakan dari Abu Hurairah, beliau berkata “Ada seseorang dari golongan Anshar yg duduk bersama Nabi, kemudian ia mendengarkan hadits dari Nabi maka ia merasa takjub, mau tetapi ia tak dapat menghafalkannya. Maka, ia pun mengadukan hal tersebut kepada Nabi seraya berkata “Duhai Rasulullah, aku mendengarkan hadits darimu maka aku merasa takjub dan aku tak dapat menghafalkannyaâ€. Kemudian Rasulullah bersabda “Mintalah pertolongan dgn tangan kananmu seraya memberikan isyarat dgn tangannya buat menulisâ€Â (HR Turmudzi).
Â
Kelima, sebagian ulama mengatakan bahwa larangan menulis hadits bersifat umum. Sedangkan izin kebolehan menulis hadits diperbuatkan kepada orang-orang yg memiliki ketelitian dan keahlian dalam menulis.
Â
Dalam masalah ini, Dr. Taufiq Ahmad Salman mengatakan “Saya berpendapat bahwa kedua pendapat ini (pendapat yag membolehkan menulis hadits dan yg melarangnya) ialah benar dan memiliki dasar yg kokoh. Maka, golongan sahabat yg menulis hadits memiliki dalil bahwa Rasulullah memerintahkan mereka menulis hadits. Sedangkan golongan sahabat yg melarang menulis hadits memiliki dalil bahwa Rasulullah melarang mereka menulis haditsâ€. (Dr. Taufiq Ahmad Salman, Nadzarat fi Tarikh at-Tasyri’, Kairo: Maktabah Aiman, 2015, hal. 70).
Â
Â
Walhasil, pada dasarnya penulisan hadits Nabi telah dimulai sejak zaman para sahabat. Hal ini ditunjukkan dgn catatan hadits yg ditulis oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Ash. Meskipun di sisi lain terdapat perbedaan pendapat mengenai kebolehan menulis hadits di zaman para sahabat. Oleh sebab itu, tuduhan yg digaungkan oleh para orientalis Barat taklah benar dan tak dapat dipertanggungjawabkan. Justru tuduhan itu menunjukkan bahwa mereka tak mempelajari sejarah hadits Nabi dgn benar serta mereka tak menghargai sumbangsih para ulama dalam mengumpulkan hadits Nabi dari riwayat para sahabat Nabi.
Â
Â
Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo