Bersaksi Baik pada Jenazah yg Memiliki Kebiasaan Buruk?

Salah satu ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita dalam menyikapi orang yg telah meninggal (mayit) ialah menyebutkan kebaikan-kebaikan yg pernah dilakukan oleh mayit semasa hidupnya. Hal ini seperti yg diperintahkan Rasulullah dalam salah satu haditsnya:

 

اذْكُرُوا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوا عَنْ مَسَاوِيهِمْ

 

“Sebutkan kebaikan orang-orang yg telah meninggal dan hindarilah menyebut keburukan mereka” (HR. al-Baihaqi).

 

Salah satu wujud menceritakan kebaikan mayit ialah memberikan kesaksian bahwa mayit ialah orang yg baik. Hal demikian telah menjadi suatu tradisi yg melekat di kalangan mayoritas Muslim di Indonesia. Setiap terdapat orang yg meninggal, setelah melaksanakan shalat janazah, salah satu jamaah yg biasanya merupakan tokoh masyarakat setempat meminta kesaksian para hadirin dgn mengatakan, “Apakah mayit ini orang baik?”, atau pertanyaan yg sejenis. Para hadirin pun mengamini pertanyaan tersebut dgn mengatakan bahwa mayit ialah orang yg baik.

 

Tradisi demikian bukanlah asal-asalan dan tak berdasar pada dalil, sebab memang terdapat dalil yg secara jelas menegaskan atas kebenaran tradisi tersebut. Salah satunya ialah hadits yg diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah:

 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَشْهَدُ لَهُ ثَلَاثَةُ أَهْلِ أَبْيَاتٍ مِنْ جِيرَانِهِ الْأَدْنَيْنَ بِخَيْرٍ إِلَّا قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ قَبِلْتُ شَهَادَةَ عِبَادِي عَلَى مَا عَلِمُوا وَغَفَرْتُ لَهُ مَا أَعْلَمُ

 

“Tidak ada orang muslim yg meninggal lalu tiga orang tetangga terdekatnya menyaksikan kebaikan padanya kecuali Allah berfirman “Sungguh Aku telah menerima persaksian hamba-hambaku atas apa yg mereka tahu dan Aku telah ampuni pada mayit apa yg Aku ketahui” (HR. Ahmad).

 

Baca: Pentingnya Kesaksian Baik Orang Hidup buat Jenazah

 

Ironisnya banyak masyarakat yg mengeneralisasi kesaksian baik ini kepada seluruh mayit yg baru meninggal, baik itu mayit yg memang memiliki rekam jejak ketaatan ataupun mayit yg semasa hidupnya sarat perbuatan buruk. Lantas sebenarnya sikap apa yg tepat dalam menyikapi persaksian pada mayit yg memiliki kebiasaan buruk? Tetap bersaksi baik kepadanya, atau berkata jujur dgn bersaksi bahwa mayit tersebut ialah orang yg berperilaku buruk?

 

Persoalan di atas telah terjawab dalam kitab Fath al-‘allam bi Syarhi Mursyid al-Anam yg mengutip penjelasan Syekh Abdul Karim dalam kitab Hasyiyah ‘ala Syarhi as-Sittin. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hendaknya seseorang tak bersaksi kebaikan pada mayit yg semasa hidupnya secara terang-terangan menampakkan perbuatan maksiat, atau mayit yg tak sampai menampakkan perbuatan maksiat, hanya saja ia tahu bahwa mayit meninggal dalam keadaan masih melakukan kebiasaan maksiat yg tak ia tampakkan. Bahkan, bila menyebutkan keburukan mayit terdapat suatu kemaslahatan tersendiri maka diperbolehkan bagi para hadirin buat menyebutkannya, seperti buat memperingatkan kepada orang lain supaya tak berperilaku seperti si mayit, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya, berikut penjelasan mengenai persoalan ini secara terperinci:

 

ما يقع كثيرا أن شخصا من الحاضرين للصلاة على الميت يستشهدهم عليه بعد السلام منها فيقولون “أهل خير”ØŒ له أصل في السنة إلا أن العوام طردوه في كل ميت ولو كان متجاهرا بالمعاصي وليس بلائق، وإنما اللائق أنه إن كان متجاهرا أو مات على ذلك أو لم يكن متجاهرا لكنهم علموا أنه مات وهو مصر، أن لا يذكروه بخير بل لو كانت المصلحة في ذكر مساويه للتحذير من بدعته وسوء طويته جاز لهم أن يذكروه بالشر كما نقله العلقمي عن شيخ شيوخه.

 

“Hal yg sering terjadi di masyarakat berupa tradisi adanya seseorang dari kelompok orang-orang yg menghadiri shalat mayit meminta persaksian tentang mayit kepada para hadirin setelah salam dgn mengatakan: “Mayit ini ialah orang baik”. Tradisi demikian terdapat dasar dalam hadits. Hanya saja orang-orang awam memberlakukan hal ini pada setiap orang yg meninggal (mayit), meskipun mayit ialah orang yg menampakkan perbuatan maksiatnya, hal ini sebenarnya tak patut dilakukan.

 

Mestinya yg patut dilakukan ialah bila mayit ialah orang yg menampakkan perbuatan maksiatnya atau meninggal dalam keadaan melakukan maksiat atau ia tak menampakkan perbuatan maksiat, hanya saja banyak orang tahu kalau ia meninggal dalam keadaan masih terus menerus melakukan maksiat, supaya para hadirin tak menyebutkan kebaikan pada mayit, bahkan bila yg maslahat ialah dgn menyebutkan keburukannya dgn tujuan memperingatkan perbuatan bid’ahnya dan keburukan niatnya, maka boleh bagi para hadirin menyebutkan mayit dgn keburukan, seperti halnya keterangan yag dinukil dari al-‘Alqami dari para gurunya.”

 

ولا يرد على ذلك أنهم كيف يمكنون من ذكر الموتى بالشر مع ما ورد في البخاري وغيره من النهي عن سب الأموات كقوله عليه الصلاة والسلام “لا تذكروا هلكاكم إلا بخير” وقوله “اذكروا محاسن موتاكم وكفوا عن مساويهم” لأن النهي عن ذلك كما قاله النووي في شرح مسلم ومثله العز بن عبد السلام إنما هو في غير الكفار والمنافقين وفي غير المتظاهرين بفسق أو بدعة. فأما هؤلاء فلا يحرم ذكرهم بالشر للتحذير من طريقتهم والاقتداء بآثارهم والتخلق بأخلاقهم، ذكر ذلك العلامة الشيخ عبد الكريم في حاشيته على شرح الستين.

 

“Hal di atas tak dimusykilkan tentang bagaimana mungkin menyebutkan keburukan mayit, padahal dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan imam lainnya menjelaskan larangan mengumpat pada orang-orang yg telah meninggal. Seperti sabda Rasulullah: “jangan sebut orang meninggal di sekitar kalian kecuali dgn kebaikan” dan sabda Rasulullah: “Sebutkanlah kebaikan orang-orang meninggal di sekitar kalian dan hindarilah menyebut keburukan mereka” sebab larangan tersebut (seperti yg disampaikan Imam an-Nawawi di Syarah Muslim dan Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam) berlaku pada selain orang-orang non-Muslim, orang munafik dan pada selain orang yg menampakkan perbuatan fasik dan bid’ah. Adapun terkait golongan di atas, maka boleh menyebutkan mereka dgn hal-hal buruk (yg mereka lakukan) dgn tujuan memperingatkan keburukan perbuatan mereka dan memperingatkan supaya tak meniru kebiasaan mereka dan tak berperilaku seperti perilaku mereka. Keterangan di atas dijelaskan oleh syekh ‘Abdul Karim dalam hasyiyahnya atas kitab Syarah as-Sittin” (Sayyid Muhammad ‘Abdullah al-Jirdani, Fath al-‘Allam bi Syarhi Mursyid al-Anam, Juz 3, Hal. 241)

 

Walhasil, memberi persaksian kepada mayit hendaknya dilakukan secara selektif. Berilah kesaksian baik hanya kepada mayit yg semasa hidupnya benar-benar diketahui terbiasa melakukan kebaikan dan ketaatan. Sedangkan kepada mayit yg semasa hidupnya terang-terangan sering melakukan maksiat tanpa diketahui masa tobatnya, atau kepada mayit yg kita ketahui meninggal dalam keadaan masih melakukan dosa, hendaknya kita diam atau tak ikut bersaksi baik kepada mayit tersebut. Namun bila menyebutkan kesalahan-kesalahan si mayit dipandang sebagai hal yg maslahat, maka hal demikian bukanlah perbuatan yg terlarang dan tak termasuk cakupan larangan yg terdapat dalam Hadits Nabi di atas.

 

Adapun memberikan persaksian kepada mayit yg masih tak diketahui dan tak dikenal sebagai orang yg terbiasa melakukan perbuatan maksiat, hendaknya kita tetap memberikan kesaksian baik pada mayit tersebut dgn jalan husnudzan (berprasangka baik). Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.