“Manusia mau memujimu atas apa yg mereka lihat kepadamu, sebabnya jadikanlah dirimu sebagai pribadi yg mencela diri sendiri atas keburukan yg ada dalam dirimu, sekalipun banyak manusia yg memuji dan menyanjungmu.â€
Kalam hikmah ini merupakan ungkapan dan pesan ulama sufi Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari yg dicatat oleh Sayyid Bilal bin Ahmad al-Bistani ar-Rifa’i al-Husaini dalam kitabnya, Farhatun Nufus halaman 226.
Pesan di atas sangat penting diingat, khususnya pada masa sekarang di mana media seperti menjadi jalan paling laris buat pansos (panjat sosial) supaya viral dan terkenal, sehingga mendapatkan banyak pujian dari orang lain.
Dalam pesan di atas, Imam Ibnu Athaillah seolah hendak mengatakan bahwa sejatinya tak ada yg lebih tahu pada apa yg ada dalam diri seseorang selain dirinya sendiri. Selain mengetahui kelebihan yg dimiliki, sebenarnya orang juga tahu atas kekurangan dan keburukan dirinya sendiri. Karenanya, ketika pujian dan sanjungan datang dari orang lain atas kelebihan yg mereka lihat, jalan terbaik supaya tak tertipu dan tenggelam dgn pujian itu ialah mencela diri sendiri atas segala kekurangan yg ada dan tak orang lain ketahui. Dengannya, ia menjadi waspada supaya tak terjerumus pada tipu daya setan yg mau menambah aib dan kesombongan dirinya.
Â
Cara Menyikapi Pujian Menurut Syekh al-Khadimi
Syekh Muhammad bin Muhammad bin Musthafa bin Utsman Abu Sa’id al-Khadami (wafat 1156 H) mengatakan, tak seharusnya suatu pujian menjadi penyebab sombong, dan menganggap diri lebih baik ketimbang orang lain. Sebab, orang lain hanya memuji sebab tanda-tanda bahwa orang yg dipuji merupakan orang baik, padahal kenyataan sebenarnya tak ada yg tahu selain dirinya. Selain itu, bila ternyata pujian itu tak sesuai kondisi nyata yg ada dalam dirinya, seharusnya orang malu kepada Allah, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Abu Sa’id:
الْمÙؤْمÙن٠إذَا Ù…ÙدÙØÙŽ اسْتَØْيَا Ù…ÙÙ†ÙŽ الله٠أَنْ ÙŠÙثْنَى عَلَيْه٠بÙوَصْÙ٠لَا يَشْهَدÙÙ‡Ù ÙÙÙŠ Ù†ÙŽÙْسÙÙ‡Ù
Artinya, “Orang beriman apabila dipuji, ia mau merasa malu kepada Allah atas pujian yg diterimanya, sedangkan sifat-sifat (yg dimaksud) tak ada dalam dirinya.†(Abu Sa’id al-Khadami, Bariqah Mahmudiah fi Syarhi Syariatin Nabawiyyah, [Mathba’ah al-Halabi, cetakan pertama 1348 H], juz V, halaman 229).
Dengan pernyataan itu Syekh Abu Sa’id memberikan penjelasan bahwa seorang mukmin yg hakiki ialah orang yg tak memandang sifat terpuji yg ada pada dirinya. Sebab, yg berhak mendapatkan pujian hanyalah Allah Dzat Yang Memberi Pujian, bukan manusia.
Â
Cara Menyikapi Pujian Menurut Ibnu ‘Ajibah al-Husaini
Sementara Sayyid Ahmad bin Muhammad Ibnu ‘Ajibah al-Husaini (wafat 1266 H) memberikan alasan yg lebih detail perihal kenapa manusia harus merasa malu atas pujian orang lain dan mengarahkan pujian itu kepada Allah. Menurutnya, pujian manusia kepada orang lain disebabkan sebab Allah tak menampakkan segala aib dan kekurangannya kepada orang lain. Allah hanya menampakkan kebaikannya saja. Andaikan kekurangannya ditampakkan dan kebaikannya yg ditutupi, telah pasti tak mau ada satu orang pun yg memujinya.
Karenanya, semua pujian manusia telah selayaknya diarahkan kepada Allah, bukan pada dirinya. Sebab dgn sifat agung-Nya, Allah telah menutupi semua kekurangan dan aib yg ada dalam diri manusia. (Sayyid Ibnu Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnil Hikam, [Darul Ma’arif, cetakan kedua: 2007, tahqiq: Syekh ‘Ashim bin Ibrahim], juz I, halaman 159).
Sayyid Bilal Ahmad al-Husaini memberikan penjelasan yg cukup berbeda dgn penjelasan di atas. Menurutnya, ketika manusia memberikan pujian kepada orang lain atas sifat yg tak ada dalam dirinya, maka hal itu merupakan panggilan dan kode khusus dari Allah supaya menambah ketaatan ibadah dan lebih giat dalam mengerjakan kewajiban dan kesunnahan lainnya, serta tak terlena dan tak sombong dgn pujian yg diterimanya.
Â
Kondisi Orang yg Dipuji Menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari
Dalam kelanjutan kalam hikmah di atas Imam Ibnu Athaillah memberikan penegasan, bahwa orang tentu telah sangat tahu pada sifat-sifat dan kepribadiannya sendiri secara meyakinkan; sedangkan pujian orang lain sejatinya masih bersifat asumtif, tak benar-benar nyata adanya, sehingga hanya sekadar prasangka yg sangat mungkin salah. Dalam hal ini beliau menegaskan:
أَجْهَل٠النَّاس٠مَنْ تَرَكَ ÙŠÙŽÙ‚Ùينَ مَا عÙنْدَه٠لÙظَنّ٠مَا عÙنْدَ النَّاسÙ
Artinya, “Manusia paling bodoh ialah orang yg meninggalkan keyakinan yg ada pada dirinya disebabkan prasangka yg muncul dari orang lain.†(Al-Husaini, Farhatun Nufus, halaman 226).
Menurut Ibnu Athaillah, orang yg mendapatkan pujian dari orang lain, kemudian bangga dgnnya, bahkan menganggap baik dirinya, orang seperti ini merupakan orang yg paling bodoh. Sebab, secaar menyakinkan ia tahu bahwa selain ibadah yg dilakukannya, ada pula berbagai maksiat dan kesalahan yg dilakukannya, yg telah Allah tutupi supaya tak dilihat orang lain.
Â
Pujian Menurut Syekh Harits al-MuhasibiÂ
Syekh Harits al-Muhasibi mengumpamakan orang yg senang dan bangga mendapatkan pujian sebagaimana orang yg senang mendapatkan hinaan dari orang lain. Misalnya ada orang lain berkata, “Kotoranmu berbau harumâ€, kemudian bangga dgnnya, padahal ia sendiri jijik dan tahu busuknya kotoran tersebut.
Demikian pula kotoran dosa dan maksiat. Ia lebih buruk dan lebih menjijikkan ketimbang kotoran manusia. Sebab itu, tak selayaknya orang bangga dan gembira dgn pujian dari orang lain sebab suatu kebaikan yg dilihatnya, sementara di sisi yg lain ia justru sering melakukan berbagai maksiat kepada Allah tanpa sepengetahuan mereka. Di waktu yg sama, sebenarnya Allah belum membuka aib-aibnya. Wallahu a’lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Â
Â
Uncategorized