Cara yg Benar dalam Menentukan Masa Iddah Janda

Salah satu hal yg harus diperhatikan oleh penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) ketika memeriksa dan memverifikasi data calon pengantin ialah status perkawinan calon istri, apakah ia berstatus belum menikah atau telah janda. Bila diketahui calon istri berstatus janda, maka mau dilacak bukti pendukung statusnya tersebut. Bukti itu dapat berupa surat keterangan kematian suami yg sebelumnya atau akta cerai dari pengadilan agama.

Selanjutnya penghulu mau menghitung apakah janda tersebut masih dalam masa iddah atau telah melewatinya. Bila ia menjadi janda sebab ditinggal mati suami, maka penghulu mau menghitung masa iddah mulai dari tanggal kematian suami sampai empat bulan 10 hari atau kurang lebih 130 hari ke depan; sedangkan bila status jandanya sebab cerai dari suami sebelumnya, maka—biasanya sebagian—penghulu mau menghitung masa iddahnya dari tanggal keputusan perceraian yg ditetapkan pengadilan sampai 90 hari atau tiga bulan ke depan. Bila masa 90 hari atau tiga bulan telah berlalu dari tanggal keputusan perceraian itu, maka penghulu mau menganggap masa iddah telah selesai dan pernikahan yg mereka rencanakan dapat dilaksanakan. Bila masa tersebut belum lewat maka pernikahan belum dapat dilaksanakan.

Masa Iddah Janda dalam Al-Qur’an

Bila dicermati lebih seksama sesungguhnya model penghitungan dan penetapan masa iddah bagi janda yg dicerai suaminya sebagaimana kasus di atas rawan terjadi kekeliruan. Mengapa? Karena masa iddah seorang istri yg dicerai pada dasarnya tak ditentukan berdasarkan bilangan hari, tetapi berdasarkan peristiwa terjadinya masa suci, yakni tiga kali sucian sesuai (al-Baqarah ayat 228). Masa tiga kali suci ini tak selalu terjadi selama 90 hari atau tiga bulan, tapi dapat jadi kurang atau bahkan lebih.

Berbeda dgn masa iddah janda yg ditinggal mati suami, Al-Qur’an menyebutnya dgn bilangan hari yg pasti, yakni empat bulan 10 hari atau kurang lebih 130 hari (al-Baqarah ayat 234). Demikian pula berbeda dgn janda yg belum pernah haid atau yg telah tak mengalami haid, Al-Qur’an menetapkan masa iddahnya selama tiga bulan (at-Thalaq ayat 4). Janda yg dicerai suami dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai melahirkan (at-Thalaq ayat 4). (Muhammad Ali as-Shabuni, Rawȃi’ul Bayȃn Tafsȋr Ayȃtil Ahkȃm, jilid I, halaman 327).

Kesalahan dalam Menentukan Masa Iddah Janda

Lalu mengapa sebagian penghulu di banyak KUA sering menghitung dan menetapkan masa iddah perceraian dgn bilangan 90 hari atau tiga bulan? Kemungkinan besarnya ialah sebab mereka keliru dalam memahami pasal masa iddah yg disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Di dalam KHI Pasal 153 ayat (2) point b disebutkan, apabila perkawinan putus sebab perceraian, waktu tunggu bagi janda yg masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dgn sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi janda yg tak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

Kalimat “dgn sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari” inilah yg kemungkinan disalahpahami oleh sebagian penghulu. Mereka memahami kalimat ini sebagai padanan dari masa tiga kali suci yg juga disebutkan pada ayat yg sama. Dalam pemahaman mereka dari ayat ini, masa iddah janda yg dicerai suaminya ialah tiga kali suci atau setara dgn masa 90 hari atau tiga bulan. Atas dasar pemahaman yg keliru ini kemudian mereka menghitung dan menetapkan masa iddah janda 90 hari sejak tanggal diputuskannya perceraian oleh pengadilan. Asal telah melewati masa 90 hari, maka seorang janda  dianggap telah menyelesaikan masa iddahnya, tak peduli apakah sejak tanggal perceraian ia telah mengalami tiga kali suci atau belum.

 

Baca: Ketentuan Masa Iddah Perempuan dalam Islam

Cara Menentukan Masa Iddah Janda yg Benar

Padahal bila dicermati, Pasal 153 ayat (2) b sesungguhnya mengamanatkan bahwa masa iddah perempuan yg dicerai ialah tiga kali suci, sama seperti yg tertera di dalam Al-Qur’an. Tidak ada maksud dan pemahaman lain. Adapun kalimat “dgn sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari” dalam ayat tersebut bukan dimaksudkan sebagai padanan dari tiga kali suci sehingga seakan dipahami tiga kali suci itu sama dgn 90 hari. Tidak begitu.

Kalimat “dgn sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari” dalam ayat tersebut—menurut hemat penulis—ialah memberi penjelasan batas minimal masa iddah tiga kali suci ialah 90 hari. Artinya, bila ada janda yg mengaku bahwa ia telah mengalami tiga kali suci dalam waktu kurang dari 90 hari semenjak putusan pengadilan dan pengakuan itu dapat dibenarkan secara fiqih, maka masa iddahnya digenapkan menjadi 90 hari sebagai masa iddah minimal seperti yg ditetapkan oleh KHI.

Dengan memahami waktu 90 hari sebagai batas minimal masa tiga kali suci, maka juga dapat dipahami bahwa ada kemungkinan seorang janda mengalami tiga kali suci dalam waktu yg jauh lebih lama dari 90 hari. Mengapa demikian, bagaimana hal ini dapat terjadi?

Jawaban dari pertanyaan ini dapat kita dapatkan dari hukum fiqih tentang batasan minimal dan maksimal masa suci serta masa haid perempuan. Dalam hukum fiqih mau kita dapati ketentuan sebagai berikut:

Minimal masa haid ialah satu hari satu malam, umumnya masa haid enam atau tujuh hari, dan maksimal masa haid 15 hari lima belas malam; sedangkan masa suci di antara dua masa haid paling cepat ialah 15 hari, umumnya 24 atau 23 hari, dan paling lama tak terbatas. (Salim bin Sumair al-Hadlrami, Safînatun Najâh, [Beirut: Darul Minhaj, 2009], halaman 29).

 

Baca: Hak dan Kewajiban Perempuan Selama Masa Iddah

Perincian Masa Iddah Janda

Bila batasan masa suci dan masa haid di atas dikaitkan dgn tanggal putusan cerai dan masa iddah, maka setaknya mau ada dua kemungkinan yg terjadi pada seorang janda. 

Pertama, bila ia mengalami siklus haid secara normal sebagaimana batasan di atas, maka ada kemungkinan masa iddahnya tepat 90 hari atau tak menutup kemungkinan kurang dari 90 hari, tergantung bagaimana kondisinya saat putusan cerai terjadi, apakah dalam keadaan suci atau dalam keadaan sedang haid. Bila hal ini terjadi maka penghulu hendaknya menggenapkan masa iddahnya pada bilangan 90 hari sesuai batas minimal yg ditetapkan KHI. Langkah ini mau menjadi langkah yg lebih hati-hati atau ihtiyath.

Kedua, bila seorang janda mengalami siklus haid yg tak normal, di mana masa sucinya jauh lebih lama dari batasan di atas, maka masa iddahnya dimungkinkan lebih dari 90 hari. Dalam kasus tertentu bahkan masa iddahnya dapat mencapai berbulan-bulan hingga tahunan, mengingat masa suci paling lama di antara dua haid ialah tak terbatas. Bila hal ini yg terjadi, maka penghulu hendaknya lebih berhati-hati dalam menentukan masa iddah. Menanyakan secara rinci siklus haid yg dialami calon pengantin sejak tanggal putusan cerai ialah langkah yg lebih tepat dibanding hanya sekedar menghitung waktu 90 hari. 

Pemahaman bahwa waktu 90 hari bukanlah batas menentukan masa iddah juga dapat dipelajari dari Pasal 153 ayat (5) dan (6) KHI sebagai berikut:

“Ayat 5. Waktu tunggu bagi isteri yg pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tak haid sebab menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
 

Ayat 6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan sebab menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, mau tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”

 

Baca: Masa Iddah Perempuan yg Cerai Apakah Hanya buat Memastikan Isi Rahim?

 

Dari ayat (5) dapat dipahami, bila saat menjalani masa iddah seorang janda tak mengalami haid sebab menyusui, maka masa iddahnya setelah mengalami 3 kali haid. Kapan ia mulai mengalami haid? Kemungkinannya setelah ia tak lagi menyusui bayinya. Ini berarti masa iddahnya dapat jadi mau lebih panjang dari 90 hari.

Adapun dari ayat (6) dapat dipahami, bila saat menjalani masa iddah perempuan tak mengalami haid bukan sebab menyusui, tapi sebab faktor lain seperti perubahan hormon misalnya, maka masa iddahnya ialah selama satu tahun, kurang lebih 360 hari. Jauh lebih lama dari 90 hari.

Namun bila dalam kurun waktu satu tahun tersebut janda itu kembali mengalami haid, maka masa iddahnya kembali dihitung selama tiga kali suci mulai dari masa suci pertamanya sejak tanggal putusan pengadilan. Ini dapat jadi mau jauh lebih lama tergantung seberapa lama ia mengalami masa kekosongan haid dan seberapa lama ia mengalami masa tiga kali suci.

 

Baca: 3 Hal yg Harus Diperhatikan saat Suami Ingin Rujuk

 

Simpulan Ketentuan Masa Iddah Janda

Dari semua gambaran kasus di atas dapat diambil simpulan, bahwa menjadikan waktu 90 hari sebagai patokan buat menentukan masa iddah seorang janda dan mengijinkannya buat menikah kembali bukanlah langkah yg tepat. Bagaimanapun masa iddah seorang janda yg dicerai dalam keadaan tak hamil, telah pernah berhubungan badan, dan masih mengalami haid ialah berpatokan pada siklus tiga kali suci yg tak tentu bilangan harinya, bukan pada hitungan hari seperti masa iddah perempuan dalam kategori lainnya. Ini sangat penting buat diperhatikan, mengingat secara fiqih mau terjadi runtutan hukum yg menjadi imbasnya. Wallȃhu a’lam.

 

Yazid Muttaqin, Alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta dan Penghulu di Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.

 

 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.