Doa Sujud Syukur

Rasulullah saw melakukan sujud syukur ketika datang kepadanya hal yg menggembirakan. Dari sana kemudian ulama memasukkan sujud syukur sebagai sunnah ketika seseorang mendapatkan nikmat.

Rasulullah saw pernah berdoa buat memberikan syafaat bagi umatnya. Ketika dikabulkan sepertiga umatnya yg mau menerima syafaat, Rasulullah bersujud sebagai bentuk syukur. Ia lalu menengadahkan kepala dan meminta hal yg sama. Ketika Allah mengabulkan sepertiga lagi umatnya, Rasulullah saw kembali bersujud sebab syukur.

Sujud syukur (dalam keadaan suci di badan, pakaian, dan tempat sujud) dikerjakan di luar pelaksanaan sembahyg. Sujud ini dikerjakan sebab datangnya nikmat mendadak, terhindar dari bahaya, melihat orang kena musibah (atau orang cacat), atau orang fasik secara terang-terangan.

Syekh Sulaiman Al-Kurdi menganjurkan tahmid berikut ini sebagai doa pada sujud syukur:

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أَنْعَمَ عَلَيَّ بِكَذَا وَدَفَعَ عَنِّيْ كَذَا وَعَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلَى بِهِ فُلَانًا

Alhamdulillāhil ladzī an‘ama ‘alayya bi kadzā, wa dafa‘a annī kadzā, wa ‘āfānī mimmābtalā bihī fulānan.

Artinya, “Segala puji bagi Allah, Zat yg memberikan nikmat kepadaku berupa…(sebutkan dalam hati nikmat yg diterima), dan menolak dariku marabahaya…(sebutkan bahaya yg dimaksud), dan menyelematkanku dari musibah yg Allah berikan kepada fulan…(sebutkan musibah yg dimaksud),” (Syekh Sulaiman Al-Kurdi, Al-Hawasyil Madaniyyah, [Al-Haramain: tanpa tahun], juz I, halaman 317)

Adapun berikut ini ialah doa pada sujud syukur yg dibaca ketika kita terhindar dari suatu dosa atau maksiat yg merebak:

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا

Allāhumma lā taj‘al mushībatanā fī dīninā.

Artinya, “Ya Allah, jangan jadikan musibah kami pada agama kami.”

Sebagian ulama menyamakan bacaan sujud syukur dan sujud tilawah:

سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِيْنَ

Sajada wajhiya lil ladzī khalaqahū wa shawwarahū wa syaqqa sam‘ahū wa basharahū bi haulihī wa quwwatihī fa tabārakallāhu ahsanul khāliqīna.

Artinya, “Diriku bersujud kepada Zat yg menciptakan dan membentuknya, membuka pendengaran dan penglihatannya dgn daya dan kekuatan-Nya. Maha suci Allah, sebaik-baik pencipta,” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in pada hamisy I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 246). Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.