E-Money, Cara Perusahaan Dapatkan Utang ‘Cuma-cuma’ dari Pengguna

E-money merupakan kependekan dari electronic money atau mata uang elektronik. Contoh produk e-money ialah OVO, Gopay, Link, Dana, kartu e-toll Brizzi, dan masih banyak lagi contoh produk lainnya.

 

Perlu diketahui bahwa data terbaru dari Bank Indonesia sebagaimana dilansir dari harian Kompas Ekonomi per Maret 2021, jumlah dana mengendap dari transaksi dgn menggunakan uang elektronik ialah mencapai Rp 21,4 trilun, tumbuh sebesar 42,6% year on year (YoY). Itu artinya, di tahun sebelumnya (2020), dana mengendap itu ada di kisaran Rp11 trilyun rupiah. Sebuah angka pertumbuhan yg sangat jauh dibanding tahun 2018 yg berkisar Rp2,4 triliun, dan di pertengahan tahun mencapai Rp4 triliun rupiah. Sangat jauh sekali, bukan? Kenaikan yg begitu pesat itu barangkali dipengaruhi oleh kebijakan pemberlakuan Gerbang Nasional Pembayaran oleh pemerintah yg berimbas ke kebutuhan kartu elektronik e-toll serta semakin masifnya smartphone di kalangan masyarakat.

 

Penting dicatat bahwa semua produk uang elektronik dipastikan hadir melalui mekanisme top up dgn aset yg dijadikan landasan terdiri dari utilitas tertentu. Misalnya, buat kartu e-Tol, maka aset yg mendasari ialah berupa akses jalan tol. Akibat langsung dari top up ialah adanya saldo mengendap, sebagaimana diberitakan di atas.

 

Apa akad top up tersebut? Jawabnya ialah jelas, yaitu akad qurudl atau memberi utang (duyun). Itu sebabnya, kartu e-toll atau e-money juga disebut sebagai maal duyun (harta kategori utang). Jika mau diperhalus bahasanya, maka boleh saja disebut sebagai ma fi al-dzimmah yg artinya harta berjamin.

 

Baca: Awas Money Game: Beda Top Up yg Boleh dan yg Haram

 

Pola pikir semacam ini ialah pola pikir orang yg butuh izin bolehnya mengakses fasilitas/utilitas yg dijadikan jaminan utang (marhun bih). Mengapa? Sebab tanpa adanya izin dalam mengakses, maka pihak nasabah e-money dapat jatuh selaku pihak murbi (orang yg memungut riba), atau bahkan sebagai gashib (memakai barang tanpa izin).

 

Selaku pemakai utilitas marhun bih, maka pihak konsumen berhak dimintai biaya sewa pemanfaatan (ijarah) yg dipotong dari saldo deposit miliknya dan terekam dalam teknologi chip di kartu e-toll atau teknologi QR code.

 

Dengan kata lain, sebelum menggunakan utilitas tol, pihak konsumen telah diiminta buat inden terlebih dulu atas nama saldo deposit. Masalah ia benar-benar mau menggunakan atau tak saldo itu, tak jadi soal bagi penerbit. Namun, bagi konsumen, keberadaan deposit itu memiliki arti bahwa sebagian dari jatah konsumsinya harus mogok atas nama uang elektronik yg sejatinya berkedudukan sebagai lisensi izin lewat saja, tanpa dapat digunakan buat kebutuhan belanja lainnya.

 

Ingat bahwa sehari-hari yg dibutuhkan konsumen ialah keberadaan bahan pokok sandang, pangan, dan papan. Itu artinya, ia butuh fisik uang atau alat pembayaran yg universal. Jika e-money ternyata tak mampu menjawab 3 kebutuhan dasar itu, pertanda e-money tak ubahnya hanya fisik lisensi saja, bukan?

 

Ketakadilan di Balik e-Money

Untuk dapat menganalisis praktik yg terjadi di balik e-money, kita dapat meminjam kacamata pengusaha. Ada beberapa kelompok tipe pengusaha di balik e-money.

 

Pertama, pengusaha pemilik langsung fasilitas yg dijadikan jaminan utang. Bagi pengusaha, akad top up ialah dana yg dapat dipastikan mau mengalirkan pundi-pundi keuangan baginya. Mereka tak takut uang itu keluar. Paling banter, uang keluar hanya buat kebutuhan perbaikan jalan, menggaji teknisi dan karyawan. Ia tak takut mau terjadinya kerugian, sebab stok pendapatan potensial telah melimpah dan masih tertimbun di bank-bank. Tinggal menunggu kapan pihak yg memiliki e-money menggunakan e-money yg dimilikinya.

 

Kedua, pengusaha penerbit e-money. Bagi pelaku usaha ini, adanya masyarakat yg membeli produk e-money menandakan datangnya kucuran modal bagi mereka. Modal datang, tanpa kewajiban bagi hasil kepada pemilik e-money. Demikian pula, mereka juga tak takut mau masa jatuh tempo. Sebab, e-money tak memiliki batas kadaluarsa dan jatuh tempo.

 

Itu artinya, utang yg disalurkan oleh konsumen kepada penerbit kartu ialah masuk kategori qardlu hasan (pinjaman tanpa imbalan), meski ada jaminan utilitas. Bagaimana tak dimasukkan dalam kelompok qardlu hasan, sementara jatuh tempo pelunasan utang saja tak ada dalam klausul? Klausul utang dalam ranah e-money ialah kesiapan pihak yg diutangi buat menunaikan kewajiban pihak yg mengutangi, saat terbit perintah penunaian lewat sistem yg dibangun.

 

Sementara itu, ditilik dari literatur hukum Islam, qardlu hasan masuk kategori akad ta’awun (tolong-menolong) terhadap seorang insan yg kesusahan (tanfis al-kurbah). Alhasil, utang yg dikucurkan konsumen kepada pengusaha telah barang tentu jauh dari hikmah tersebut. Tidak cocok dgn situasi dan kondisi yg berlaku sebab pihak yg berutang (debitur) ialah pengusaha.

 

إن الحكمة من تشريع القرض واضحة جليّة، وهي تحقيق ما أراده الله تعالى من التعاون على البرّ والتقوى بين المسلمين، وتمتين روابط الأخوّة بينهم بالتنادي إلى مدّ يد العون إلى مَن ألمّت به فاقه أو وقع في شدة، والمسارعة إلى تفريج بعضهم كربة بعض، فلربما تلكأ الناس عن دفع المال على وجه الهبة أو الصدقة، فيكون القرض هو الوسيلة الناجحة في تحقيق التعاون وفعل الخير، والله تبارك وتعالى يقول: ﴿يا أيُّها الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا واسْجُدُوا واعْبُدُوا رَبَّكُمْ وافْعَلُوا الخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ الحج٧٧

 

“Sesungguhnya hikmah dari disyariatkannya akad utang (qardl) sangat jelas dan nyata. Hikmah itu ialah kepastian apa yg disyariatkan Allah ta’ala, yakni terbitnya sikap tolong-menolong dalam kebabilan dan takwa di kalangan Muslimin, serta menguatkan jalinan persaudaraan terhadap sesama melalui seruan kesediaan mengulurkan tangan dalam menolong pihak yg tersakiti atau kesusahan atau jatuh dalam kesulitan, serta bersegera dalam mengentaskan kemiskinan sesama mereka. Karenanya, penyerahan dana masyarakat kepada pihak lain ini diwadahi dalam akad hibah dan shadaqah. Karenanya pula, akad qardl (yg merupakan bagian dari penyerahan dana kepada pihak lain) ialah juga merupakan salah satu wasilah penting guna memastikan terjalinnya sikap tolong menolong tersebut dan perbuatan kebaikan. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yg beriman, ruku’ dan sujudlah kalian, serta sembahlah Tuhan kalian, dan kerjakan kebaikan supaya kalian menjadi orang-orang yg beruntung.” (Q.S. Al-Hajj: 77). (Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, juz 6, h. 102).

 

Ketaksesuaian hikmah qardlu hasan bagi pengusaha ini merupakan bagian dari ketakadilan atau ketimpangan. Coba kita bandingkan dgn kondisi saat konsumen berutang ke bank. Mereka dikenai tuntutan bagi hasil yg harus dibayarkan setiap bulannya, atau dalam durasi tempo pelunasan. Bahkan dalam ketentuan Bank Indonesia, Suku Bunga Dasar Kredit ialah 4%.

 

Hal yg kontras justru berlaku sebaliknya ketika utang itu dilakukan oleh bank atau pengusaha penerbit e-money terhadap konsumen. Tidak ada sedikit pun bagi hasil yg diberikan kepada konsumen, bukan? Padahal, perbedaannya hanya ada pada wasilah (instrumen) berupa kartu atau produk e-money saja. Akan tetapi, maksud utamanya tetap sama, yaitu mendapat kucuran modal. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim


 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.