Etika Khutbah & Ceramah Agama saat Terjadi Musibah atau Bencana

Khutbah Jumat tak dapat dipisahkan dari ibadah per pekan umat Islam. Sementara ceramah agama dalam pengajian dan berbagai peringatan hari besar Islam telah lazim di tengah masyarakat. Tetapi dalam situasi musibah atau bencana para khatib, penceramah, dan dai perlu menjaga etika dakwah.

Etika dakwah ini perlu diingat dan dijaga mengingat sebagian khotib, penceramah, dan dai memvonis begitu saja masyarakat terdampak bencana sebagai pelaku maksiat dan menilai bencana atau musibah sebagai azab bagi individu atau masyarakat tersebut.

Khotib, penceramah, dan dai tak etis menghakimi dan menuding masyarakat (juga individu) terdampak musibah atau bencana sebagai pelaku maksiat. Mereka harus menghindari vonis dan tudingan bahwa bencana atau musibah itu merupakan azab Allah buat masyarakat (juga individu) yg bersangkutan.

Etika ini perlu diingat khotib, penceramah, dan dai sebab menimbang perasaan masyarakat (dan individu) yg mengalami musibah atau menderita sebagai korban bencana dan menimbang perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jangan sampai masyarakat (dan individu) yg sedang menderita mengalami dua kali derita akibat tudingan khotib, penceramah, dan dai yg tak etis.

Buku Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU yg dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jatim dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Jatim menyebutkan bahwa ulama memang berbeda pendapat perihal musibah dan bencana yg menimpa suatu masyarakat atau individu tertentu.

Sebagian ulama menyatakan, musibah atau bencana merupakan azab dari Allah. Sedangkan ulama lainnya menyatakan, musibah atau bencana bukan merupakan azab dari Allah. Dalil yg digunakan ulama pertama ialah Surat As-Syura ayat 30.

 
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Artinya, “Musibah yg menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan kalian, dan Allah telah memaafkan banyak kesalahan.” (As-Syura: 30).

Adapun ulama kedua antara lain diwakili oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam karya tafsirnya, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Fikr: tth], halaman 173-174. Dalil yg diajukan oleh Imam Ar-Razi ialah sebagai berikut:

1. Balasan suatu dosa hanya mau terjadi pada hari kiamat sebagaimana Surat ghafir ayat 17.

الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ

Artinya, “Pada hari itu (kiamat) setiap orang dibalas sebab apa yg dilakukannya,” (Surat Ghafir ayat 17).

2. Bencana menimpa pada siapa saja, saleh atau tak, beriman atau tak. Semua orang tertimpa bencana.

3. Dunia ialah tempat beramal, bukan tempat pembalasan.

4. Bencana sebagai suatu musibah diturunkan sebab menjadi proses yg terbaik bagi manusia.

Buku Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU menganjurkan masyarakat dan individu yg terdampak bencana buat melakukan delapan hal berikut ini:

1.Menyelamatkan diri.

2.Bersabar.

3.Membaca istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi raji’un).

4.Merendahkan diri kepada Allah dgn berdoa.

5.Melakukan shalat sunnah.

6.Introspeksi diri, tak menyalahkan orang lain.

7.Bertobat.

8.Membantu korban terdampak bencana.

Para khatib, penceramah, dan dai juga seharusnya mengajak masyarakat buat berempati dan saling membantu dalam mengatasi bencana atau musibah yg sedang dialami oleh sebagian masyarakat atau individu tertentu.

Buku Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU menyebut pendapat Atha As-Salami, salah seorang tabi’in, yg dikutip oleh Abdul Wahhab As-Sya’rani berikut ini:

وكان إذا أصاب أهل بلده بلاء يقول هذا بذنوب عطاء لو أنه خرج من بلادهم لما نزل عليهم بلاء

Artinya, “Syekh Atha’ As-Salami (tabi’in junior Kota Bashrah) saat penduduk negerinya tertimpa bencana berkata, ‘Ini disebabkan dosa Atha’. Andai ia (Atha) keluar dari negerinya, niscaya bencana tak mau menimpa mereka.’” (Abdul Wahhab As-Sya’rani, Tanbihul Mughtarrin, [Kairo, Maktabahat Taufiqiyyah: tanpa tahun], halaman 87).

Delapan hal ini seharusnya juga patut menjadi perhatian bagi para khatib, penceramah, dan dai dalam menyampaikan materi-materi dakwahnya. Meski demikian, etika ini tak menafikan catatan, kritik, introspeksi, evaluasi masyarakat, akademisi, pengamat terkait penanggulangan bencana, tata kota, pembalakan liar, dan sikap sewenang-wenang individu, masyarakat, dan salah kelola pemerintah atas lingkungan. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.