Futaymah, Istri Wali Besar yg Menjadi Wali

Futaymah ialah istri Imam Hamdun al-Qassar (w. 271 H), seorang sufi yg masyhur kewaliannya. Imam al-Dzahabi menyebutnya, “syaikul shufiyyah” (guru para sufi) (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, juz 13, h. 51). Menurut Imam Abdurrahman al-Sulami, Imam Hamdun al-Qassar merupakan pendiri atau orang yg menyebarkan thariqah Malamatiyyah di Naisabur. Ia menulis dalam kitabnya:

 

شيخ أهل الملامة بنيسابور، ومنه انتشر مذهب الملامة… وكان عالما فقيها يذهب مذهب الثوري

 

“Guru penganut Malamah (Thariqah Malamatiyyah) di Naisabur. Darinya, madzhab Malamatiyah tersebar… Ia ialah seorang alim (dan) faqih yg bermadzhab kepada Imam (Sufyan) al-Tsauri” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 109).

 

Sebagai istri ulama besar, Futaymah banyak belajar dari suaminya hingga sampai pada derajat spiritual yg tinggi. Imam Abdurrahman al-Sulami mendeskripsikannya sebagai wanita yg telah mencapai derajat spiritual yg luhur dan sangat dihormati (kânat kabîratal hâl, ‘adhîmatal qadr)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 414).

 

Dikisahkan suatu hari Futaymah menjelaskan bagaimana seharusnya seorang sufi berakhlak ketika bergaul dgn orang lain. Penjelasannya ini menggambarkan kedalaman pemahamannya tentang agama dan ketinggian spiritualitasnya. Imam Abdurrahman al-Sulami mencatat riwayat tersebut sebagai berikut:

 

حكي عن فطيمة أنها قالت: من أخلاق الصوفي في المعاشرة: أن من قصده قبله، ومن غاب عنه لا يفتقده، ومن عاشره تَخَلّق معه، ومن كره عشرته لم يجبره صحيبته

 

Terjemah bebas: “Dikisahkan tentang Futaymah bahwa ia berkata: “Sebagian dari akhlak sufi dalam pergaulan ialah, (ketika) seseorang (datang) mengikutinya, ia menerimanya; (ketika) seseorang jauh darinya, ia tak (merasa) kehilangannya; (ketika) seseorang bergaul dgnnya, ia memperlakukannya dgn akhlak (yg baik); (ketika) seseorang tak suka bergaul dgnnya, ia tak memaksanya buat menjadi temannya.” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 414).

 

Baca juga: Mu’adzah al-‘Adawiyyah, Wali Perempuan Guru Para Tabi’in

 

Seorang sufi harus menerima siapapun yg datang kepadanya, terlepas dari latar belakang dan kejahatan yg pernah dilakukannya. Sebab, “kedatangan” mengandung makna yg tak tunggal. Ada “kedatangan” dgn maksud buruk; ada “kedatangan” dgn maksud baik.

 

Seorang sufi tak mau takut dgn kedatangan yg mengandung maksud buruk. Tapi, mereka mau takut bila mereka melewatkan kedatangan dgn maksud baik. Karena dapat berpengaruh terhadap jalan hidup orang yg datang, yaitu kebaikan yg telah diniatkan tak terealisasi sebab kedatangannya tak diterima. Lagipula, kemungkinan berubah manusia selalu ada selama mereka hidup. Misal pun yg datang dgn maksud buruk, dapat jadi sebab bergaul dgn para sufi, perlahan-lahan maksud buruk itu hilang.

 

Sufi juga, menurut Futaymah, tak merasa kehilangan ketika berjauhan dgn orang yg ia kenal. Bukan sebab melupakannya, tapi sebab selalu mengingatnya. Tapi, ingatan ini tak membuatnya gelisah dan resah (kerinduan membabi-buta). Karena sejatinya ia tahu, bahwa kerinduan paling hakiki hanyalah buat Allah. Futaymah melanjutkan, bahwa seorang sufi harus berlaku dgn akhlak yg baik terhadap orang yg mau bergaul dgnnya, dan jangan memaksa dan membenci orang yg enggan bergaul dgnnya.

 

Suatu waktu, Futaymah ditanya seseorang tentang siapa itu orang yg berakal atau bijaksana (‘âqil). Ia menjawab:

 

من يحيا قلبك بمجالسته

 

“(Âqil ialah) orang yg menghidupkan (kembali) hatimu ketika kau duduk dgnnya” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 414).

 

Baca juga: Ketika Tiga Ulama Besar Melamar Rabi’ah al-‘Adawiyah

 

“Menghidupkan hati” tak ubahnya seperti menghidupkan lagi lahan yg telah lama mati. Kita tahu, hati merupakan rumah berbagai watak, baik positif dan negatif. Bergaul dgn orang jahat, dapat mempengaruhi hati, dan membuat suara hati menjadi lirih. Begitu pun bergaul dgn orang baik, apalagi bila ia seorang bijak bestari. Hati mau terpengaruh ke arah kebaikan, yg semula sekarat menjadi sembuh; yg semula statis menjadi naik; yg semula mati menjadi hidup kembali.

 

Futaymah merupakan bukti, bahwa wanita yg menikah dapat mencapai tingkatan spiritual yg tinggi. Menikah tak menghalangi cintanya kepada Tuhannya; tak menghalangi peran sosialnya sebagai ulama wanita yg mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, hingga warisannya masih dapat dipelajari dan diteladani oleh generasi sekarang.

 

Mengenai kapan Futaymah wafat, tak diketahui secara pasti. Imam Abdurrahman al-Sulami tak menyebutkannya dalam kitabnya. Yang pasti, ia hidup sekitar abad ke-3 H sebab suaminya, Hamdun al-Qassar wafat di tahun 271 H.

 

Sebagai penutup, perkataan Futaymah berikut penting buat direnungkan:

 

من أبصر نعم الله عليه شغله القيام بشكرها عن كل شيء

 

Terjemah bebas: “Seseorang yg telah melihat (dgn jelas) nikmat-nikmat Allah kepadanya, ia pasti menyibukkan (diri buat mempertahankan) rasa terima kasihnya (bersyukur) atas nikmat-nikmat itu dibanding segala sesuatu (lainnya).” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 414)

 

Wallahu a’lam bish shawwab

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.