Hak Nasab Anak & Waris pada Suami-Istri

Sebelumnya telah diuraikan dua hak bersama suami-istri, yakni hak pergaulan yg halal nan makruf serta hak mahram. Pada kesempatan ini, mau diuraikan dua hak suami-istri berikutnya, yakni hak nasab dan hak waris.

1. Hak nasab

Hak bersama suami-istri selanjutnya ialah hak nasab atau garis keturunan. Ini artinya, siapa pun yg memiliki seorang anak dari hasil perkawinannya, baik suami maupun istri, maka ia berhak atas nasab anak tersebut.

Bahkan, di samping  menetapkan, syariat juga mengatur hak ini dgn ketat sehingga siapa pun tak boleh menasabkan seorang anak kepada yg bukan haknya. Demikian halnya seorang laki-laki tak boleh mengingkari anak yg lahir dari darah dagingnya. Hal ini berdasarkan hadits:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ، وَلَمْ يُدْخِلْهَا اللَّهُ جَنَّتَهُ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ احْتَجَبَ اللَّهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ فِي الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ

Artinya, “Perempuan mana pun yg menasabkan seorang anak kepada kaum yg bukan dari kaum tersebut, maka ia tak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tak mau memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya. Begitu pula laki-laki mana pun yg mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat kepadanya, maka Allah mau menghalangi diri darinya dan Dia justru mau membuka aibnya di hadapan seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir,” (HR Abu Dawud).

Selanjutnya hak nasab ditetapkan oleh tiga sebab. Pertama, pernikahan yg sah. Para ulama sepakat bahwa anak yg lahir dari seorang perempuan yg dinikah secara sah dinasabkan kepada laki-laki yg menikahinya, berdasarkan hadits, “Seorang anak milik yg empunya alas tidur.” Maksud alas tidur di sini ialah perempuan yg dinikah dan digauli suaminya. Namun, ditetapkannya hak nasab sebab pernikahan yg sah harus memenuhi tiga persyaratan. 

Syarat pertama laki-laki yg menikahi si perempuan harus memungkinkan memberi keturunan, seperti telah baligh dan normal secara seksual, minimal berusia 12 tahun menurut ulama Hanafi atau berusia 10 tahun menurut ulama Hanbali. 

Syarat kedua usia anak yg dilahirkan tak kurang dari masa minimal kehamilan, yakni enam bulan sejak waktu pernikahan atau sejak dimungkinkan berhubungan suami-istri setelah pernikahan menurut jumhur ulama.

Artinya, bila anak yg dilahirkan kurang dari usia minimal atau kurang dari enam bulan, maka tak dapat dinasabkan. Sebab, itu pertanda bahwa kehamilan terjadi sebelum pernikahan. Syarat ketiga ialah memungkinkan ada pertemuan antara suami dan istri.  

إذا تزوج امرأة وهوممن يولد لمثله وأمكن اجتماعهما على الوطء وأتت بولد لمدة يمكن أن يكون الحمل فيها لحقه في الظاهر لقوله صلى الله عليه وسلم: الولد للفراش 

Artinya, “Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, sementara laki-laki itu termasuk yg telah dapat memberi keturunan, kemudian laki-laki dan perempuan itu memungkinkan buat berhubungan badan, sampai akhirnya si perempuan melahirkan anak pada waktu yg memungkinkan buat hamil, maka anak yg dilahirkan dinasabkan kepada si laki-laki berdasarkan zahir hadis Rasulullah saw, ‘Seorang anak milik yg empunya alas tidur.’” (Lihat Syekh Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzab, jilid II, halaman 120).

Adapun anak yg terikat pernikahan enam bulan dapat dinasabkan berdalilkan pendapat Ibnu Abbas. Diriwayatkan, ada seorang laki-laki yg menikah dgn seorang perempuan. Kemudian, perempuan itu melahirkan kurang dari enam bulan sejak waktu pernikahannya. Laki-laki itu lantas mengajukan perkaranya kepada Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan. Sang Khalifah pun bermaksud merajam perempuan tersebut. Namun, Ibnu Abbas memberikan pandangan, “Seandainya perempuan itu mengadukan kalian kepada kitab Allah, niscaya kalian mau terkalahkan. Sebab, Allah berfirman, “Mengandungnya sampai menyapihnya ialah tiga puluh bulan,” (Surat Al-Ahqaf ayat 15); dan Dia juga berfirman, “Menyapihnya dalam dua tahun,” (Surat Luqman ayat 14).

Kedua, pernikahan yg rusak.

Dalam penetapan hak nasab, sebagaimana pernikahan yg sah, pernikahan yg rusak juga harus memenuhi tiga syarat.

Syarat pertama laki-laki yg menikahi si perempuan harus memungkinkan dapat memberi keturunan, seperti telah balig dan normal secara seksual.

Syarat kedua terbukti berhubungan badan atau berduaan dgn si perempuan. Jika tak, maka tak dapat dinasabkan.

Syarat ketiga usia anak yg dilahirkan minimal enam bulan sejak waktu berhubungan badan atau berduaan. Jika tak, maka tak dapat dinasabkan sebab berarti kehamilan berasal dari laki-laki lain.      

Ketiga, senggama syubhat, yaitu senggama yg bukan perzinaan, bukan pula senggama yg bersandar pada pernikahan yg sah atau pernikahan rusak. Contohnya senggama seorang perempuan dgn laki-laki yg dikira suami yg menikahinya. Atau,  senggama seorang laki-laki yg mengira perempuan yg ada di tempat tidurnya sebagai istrinya. Atau, senggama seorang laki-laki dgn istri yg telah dicerainya dgn talak tiga di tengah masa iddah. Namun, si laki-laki berkeyakinan bahwa istrinya masih halal buat dirinya. (Lihat: Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid X, halaman 7251).

2. Hak waris

Syariat mengatur, bila istri meninggal dan tak memiliki anak, maka suami mendapat bagian setengah dari harta warisnya. Sedangkan bila si istri yg meninggal memiliki anak, maka suami mendapat seperempat dari harta warisnya.

Kemudian bila suami meninggal dan tak memiliki anak, maka istri mendapat bagian seperempat dari harta waris. Sedangkan bila suami yg meninggal memiliki anak, maka si istri mendapat seperdelapan dari harta waris berdasarkan ayat: 

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن

Artinya, “Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yg ditinggalkan oleh istri-istrimu, bila mereka tak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yg ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yg mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yg kamu tinggalkan bila kamu tak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yg kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yg kamu buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu,” (Surat An-Nisa’ ayat 12).

Demikian hak-hak bersama suami-istri setelah pernikahan. Adapun hak suami dan hak istri diuraikan secara terpisah pada penjelasan lainnya. (Lihat Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 153).  Wallahu a‘lam.

Ustadz M Tatam Wijaya, Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan (P4) KUA Sukanagara, Cianjur.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.