Hikmah Bulan Hanya Bercahaya Sempurna saat Malam Purnama

Bila membahas bulan, maka yg tergambar ialah benda langit yg memancarkan cahaya dan sering menemani manusia di malam hari. Memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi manusia yg menikmati keindahannya, juga menjadi penuntun dan petunjuk supaya tak tersesat dalam gelap malam. Meski cahaya yg ditampakkannya tak seterang matahari, cahaya bulan memberikan kenyamanan bagi manusia. Jika siang ada matahari yg menyinari bumi, maka malam-malam tertentu bulan menggantikan posisinya buat menerangi bumi seisinya.

 

Bulan dan Matahari sebagai Tanda Kebesaran Allah
Namun fungsi matahari dan bulan tak hanya sebatas itu. Keduanya memiliki nilai yg sangat agung, yaitu menjadi salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Allah menjadikannya sebagai bukti kebesaran, keagungan dan kesempurnaan-Nya. Beberapa ayat Al-Qur’an mengafirmasinya:

وَمِن آيَاتِهِ الَّيلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمسُ وَالقَمَرُ (فصلت: 37)

Artinya, “Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah ialah malam, siang, matahari dan bulan.” (QS Fussilat: 37).

Pada ayat di atas Allah swt menegaskan bukti kekuasaan, keesaan, dan kesempurnaan kuasa-Nya ialah menjadikan siang, malam, matahari dan bulan di waktu yg berbeda. Masing-masing selalu menjadi penyempurna bagi yg lain. Mentari siang menjadi penyempurna bagi alam dan isinya ketika bulan tak nampak, dan bulan menjadi pengganti matahari di kala malam. Seolah semua yg ada di bumi tak ada yg benar-benar sempurna, tak ada yg dapat menentukan keadaannya masing-masing. Matahari tak dapat terus-menerus menerangi bumi. Semuanya ada di bawah kekuasaan Allah Yang Mahasempurna dan Mahasegalanya. Karena itu, pada ayat setelahnya Allah melarang manusia buat bersujud dan menyembah kepada semua ciptaan itu. Allah memerintahkan manusia buat hanya bersujud dan menyembah kepada-Nya yg telah menciptakan alam dan isinya.

Dalam ayat lain Allah menegaskan matahari memberikan sinar dan bulan memberikan cahaya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:

هُوَ الَّذِى جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ، مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ، يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ. (يونس: 5)

Artinya, “Allah ialah Dzat yg menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia yg menetapkan tempat-tempat orbitnya, supaya kalian mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tak menciptakan demikian itu melainkan dgn benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yg mengetahui.” (QS Yunus: 5).

Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsîrul Munîr menjelaskan, ayat di atas memiliki empat kandungan sebagai bukti kebesaran dan keesaan Allah swt, yaitu: (1) menciptakan langit dan bumi; (2) menciptakan matahari dan bumi di waktu yg berbeda; (3) manfaat-manfaat yg dapat didapatkan dari perbedaan waktu kedua tanda kebesaran Allah itu; dan (4) dari adanya langit dan bumi, Allah menurunkan hujan, menciptakan, guntur, kilat, gempa, dan beberapa ciptaan lain yg ada di bumi. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsîrul Munîr, [Beirut- Damaskus, Dârul Fikr: 2000], juz XI, halaman 110).

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, matahari dan bulan menempati posisi yg sangat penting. Hal itu dapat dilihat dari manfaat-manfaat dari keduanya. Dengan sinar yg dipancarkan matahari, bumi dan isinya menjadi stabil, tumbuhan dapat hidup dgn adanya sinar, dan manusia dapat mengambil banyak manfaat darinya. Begitu juga dgn bulan, dgn cahaya yg ditampakkannya, manusia menjadi tak tersesat dalam gelap malam, serta manfaat lainnya.

 

Hikmah Bulan Hanya Bercahaya Sempurna saat Malam Purnama
Namun yg perlu direnungkan, cahaya bulan yg hanya tampak sempurna pada malam 15 setiap bulan hijriyah. Lalu cahayanya redup dan hilang secara bertahap. Pada tanggal satu, malam masih sangat pekat, bulan enggan menampakkan cahayanya. Tanggal dua semakin tampak, tanggal tiga pun demikian, sampai tanggal empat belas. Cahaya itu sangat sempurna ketika telah mencapai pertengahan bulan. Sebenarnya kenapa dapat demikian? Apa hikmahnya? Sementara matahari selalu cerah bersinar setiap hari selama satu bulan penuh.

Syekh Ibrahim al-Bajuri (1198-1276 H), ulama kelahiran desa Bajur dari provinsi Manufiya Mesir dalam Hâsyiyyatul Baijuri menjelaskan:

وَالْحِكْمَةُ فِي كَوْنِ الشَّمْسِ لَا تَزِيْدُ وَلَا تَنْقُصُ، وَكَوْنُ الْقَمَرِ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ أَنَّ الشَّمْسَ قَبْلَ طُلُوْعِهَا تُؤْمَرُ بِالسُّجُوْدِ كُلَّ لَيْلَةٍ فَلَا تَزِيْدُ وَلَا يَنْقُصُ، وَالْقَمَرُ يُؤْمَرُ بِالسُّجُوْدِ لَيْلَةَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ فَيَزْدَادُ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ فَرْحًا لِذَلِكَ، ثُمَّ يَنْقُصُ اِلَى أَخِرِ الشَّهْرِ حُزْنًا عَلَى ذَلِكَ

 

Artinya, “Adapun hikmah sinar matahari tak pernah bertambah dan tak pernah berkurang, dan cahaya bulan selalu bertambah dan berkurang, ialah bahwa sebelum matahari terbit, ia diperintah (oleh Allah) buat melakukan sujud kepada-Nya setiap malam. Karenanya, sinar matahari tak pernah bertambah, tak (pula) berkurang; sedangkan bulan diperintah buat melakukan sujud hanya pada malam tanggal 14, sebabnya cahayanya mau selalu bertambah sejak awal bulan, sebab bahagia dgn sujudnya, namun selanjutnya cahayanya berkurang sampai akhir bulan, sebab bersedih dgn (jauhnya dari perintah sujud itu).” (Ibrahim al-Baijuri, Hâsyiyyatul Baijuri alâ Ibni Qâsim al-Ghazi, [Beirut-Syiria, Dârul Fikr: 1997], juz I, halaman 237).

Begitulah makhluk Allah swt selain manusia. Ia sangat bersedih bila tak melakukan sujud kepada-Nya. Kebahagiaan yg benar menurutnya hanyalah ketika dapat beribadah kepada Allah Dzat Mahasempurna dan Mahasegalanya. Seolah, kehidupan makhluk Allah, seperti matahari dan bulan tak mau tenang bila tak melakukan ibadah. Sebaliknya ia sangat bersedih bila tak beribadah. Dampaknya, cahaya bulan mau semakin redup, surut dan semakin hilang dari pandangan setiap malam. Namun, bila waktu ibadah telah dekat, ia sangat bahagia, tenang dan nyaman. Akibatnya, cahayanya semakin terang, sampai pada puncak paling sempurna yaitu malam tanggal 15 saat purnama. Berbeda dgn manusia, ibadah seakan tak memberi dampak apapun. Bagi mereka, ibadah sekadar kegiatan rutinitas biasa yg dilakukan sebab kewajiban belaka, bukan sebab adanya dorongan buat mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa.

Bukti bahwa semua makhluk Allah melakukan sujud kepada-Nya ialah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ (الحج: 18)

Artinya, “Tidakkah Engkau tahu bahwa siapa yg ada di langit dan siapa yg ada di bumi bersujud kepada Allah; juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan melata dan banyak di antara manusia? Tetapi banyak (manusia) yg pantas mendapatkan azab.” (QS Al-Hajj: 18).

Pada ayat di atas Allah menjelaskan bahwa semua yg ada di muka bumi melakukan sujud kepada Allah sesuai cara yg diperintahkan kepadanya. Sujud satu makhluk dgn makhluk lain tak sama. Adapun maksud ‘bersujud’ pada ayat ialah sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Thanthawi, yaitu, ketundukan dan kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya, sebagaimana ketundukan orang yg sedang bersujud. (Sayyid Muhammad Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, [Beirut-Mesir, Dârun Nahdhah: 2005], juz I, halaman 4040).

Manusia yg Taat dan yg Tidak Taat
Selain itu, dalam ayat di atas Allah sama sekali tak membagi makhluk-Nya selain manusia perihal ketaatan dalam bersujud kepada-Nya. Makhluk yg ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, dan hewan, semuanya Allah sebut satu kali, sebagai bukti bahwa mereka langsung patuh atas apa yg diperintahkan kepada mereka. Berbeda dgn manusia, Allah membagi manusia menjadi dua bagian; (1) ada yg disamakan dgn ayat sebelumnya (yg bersujud kepada-Nya, taat), dan (2) ada yg tak melakukan sujud kepada-Nya (tak taat). Ini menunjukkan manusia sangat kalah dalam kepatuhan terhadap perintah dan larangan Allah ketimbang makhluk yg lain.

Karenanya sangat wajar, bila tak beribadah atau tak sujud kepada Allah dapat menyebabkan makhluk Allah selain manusia, seperti bulan dan lainnya, seakan menjadi sangat sedih dan takut tak dapat melakukan sujud kembali. Khusus bulan, rasa takut dan sedihnya berdampak pada cahayanya, sehingga menyebabkan berkurang dan bertambah dalam setiap malamnya. Wallâhu a’lam.

 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.