Hikmah di Balik Kemaksuman Nabi

Sebagai manusia, Nabi Muhammad saw memiliki kecenderungan yg tak jauh berbeda dangan manusia umumnya. Saat masih kecil di perkampungan Bani Sa’ad, beliau bermain dgn anak-anak kecil seusianya. 

Bukan hanya saat masa kanak-kanak. Menginjak usia muda pun, beliau juga seperti anak muda pada umumnya. Beliau melakukan dan menyukai apa yg dilakukan dan disukai pemuda seusianya. Bedanya, bila pemuda biasa tak mendapat jaminan terhindar dari berbuat maksiat, Muhammad muda dijamin dan dilindungi oleh Allah terhindar dari maksiat atau maksum.

Dikisahkan, saat beliau menggembala kambing bersama temannya. Waktu telah menunjukkan malam hari. Kepada teman sepenggembalaannya itu, beliau menitipkan kawanan domba yg miliknya, “Bagaimana bila kau menjaga dombaku, supaya aku dapat memasuki kota Makkah buat mengobrol sebagaimana yg dilakukan pemuda lainnya di sana?”

Teman itu kemudian bersedia membantu buat menjaga sementara kawanan dombanya, lantas beliau berangkat masuk ke kota Makkah. Baru melewati rumah pertama di Makkah, beliau mendengar suara riuh. Kepada orang yg ditemui beliau menanyakan, “Ada apa gerangan?” tanyanya penasaran.

“Ada pesta pernikahan,” jawab orang-orang.

Beliau pun duduk, mendengarkan lantunan suara pesta orang-orang Jahiliyah itu. Beliau tertarik mendengarnya dan berniat buat berkunjung ke lokasi pesta berlangsung. Tentu, itu ialah pesta pernikahan yg dilakukan pada zaman Jahiliyah. Hal-hal tak baik yg biasa dilakukan masyarakat Jahiliayah pada waktu itu dapat saja terjadi dalam pesta. Seperti meminum khamr, memakan hidangan yg tak halal, ataupun lainnya.

Belum sempat beliau melangkah, tiba-tiba Allah menutup telinga Muhammad. Tidak lagi terdengar suara pesta itu. Tidak hanya itu, Allah memberikan rasa kantuk pada diri Muhammad dan baru terbangun ketika hari telah pagi. Suara pesta yg semalam riuh, telah tak terdengar sedikitpun. Pesta telah berakhir. Subhânallâh. (Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sîrah an-Nabawiyyah, halaman 76).

Sejak saat itu, Muhammad muda berjanji buat tak melakukannya lagi. Cukup dua kali itu saja. Di kemudian hari Rasulullah saw berkata:

ما هممتُ بشيءٍ مما كانوا في الجاهليةِ يعملونه غيرَ مرتَينِ، كلُّ ذلك يحُول اللهُ بيني وبينَه، ثم ما هممتُ به حتى أكرمَني اللهُ بالرِّسالةِ

Artinya:“Aku tak pernah berniat melakukan sesuatu yg biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa jahiliyah, kecuali hanya dua kali. Akan tetapi, pada kedua kesempatan itu pula Allah swt menghalangi antara diriku dan hal-hal buruk itu. Selanjutnya, aku tak pernah berniat melakukannya lagi sampai Allah memuliakan diriku dgn kerasulan.” (HR Ibnul Atsir)

Terkait kemaksuman Nabi Muhammad saw, baik sebelum atau setelah diutus menjadi Rasul, para ulama mencatat secara detail dalam kitab-kitab mereka. Bahkan, dibuatkan bab khusus dalam beberapa kitab. Seperti Abu Nu’aim al-Asfihani (wafat 430 H) dalam kitabnya Dalâilun Nubuwah, Imam as-Suyuti (wafat 911 H) dalam kitabnya al-Khashâishul Kubrâ. 

 

Lebih dari itu, ada satu kitab secara spesial membahas kemaksuman Nabi Saw, yaitu Raddu Syubuhâti Haula ‘Ishmatinnabi (Membantah Syubhat Seputar Kemaksuman Nabi saw) karya Syekh ‘Imad as-Syirbini.

Hikmah Kemaksuman Nabi
Setaknya ada dua hikmah kemaksuman Nabi sebagaimana berikut. Hikmah pertama, kemaksuman menjadi bukti kenabian. Sebagai nabi, sebagaimana nabi pada umumnya, Nabi Muhammad saw dijaga oleh Allah dari perbuatan-perbuatan buruk. Nabi saw dijaga dari perbuatan maksiat, bahkan sejak sebelum diangkat menjadi seorang nabi. Kemaksuman yg tak dimiliki manusia pada umumnya ini merupakan bukti bahwa beliau ialah seorang nabi. Dalam Al-Qur’ana Allah berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)  (النجم: 3-4)

Artinya: “Dan tiialah yg diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yg diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm: 3-4)

Berkaitan ayat di atas, Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 1210 M) menjelaskan: 

 
“Bisa dikatakan, ayat وَما يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى menjadi bukti Nabi saw tak pernah tersesat dan melenceng. Sehingga perkiraan makna yg tepat buat ayat tersebut ialah, ‘Bagaimana mungkin Nabi saw tersesat  atau melenceng, sedangkan ucapannya bukan atas dasar hawa nafsu. Hanya orang yg mengikuti hawa nafsu yg mau tersesat’.” (Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, juz XXVIII, halaman 280).

Sementara itu Dr. Musthafa as-Shiba’i menjelaskan, pada masa muda, Nabi Muhammad saw tak pernah terlibat melakukan senda gurau dan hal-hal yg tak patut bersama teman sebayanya. Allah telah menjaganya dari perbuatan semacam itu. (As-Shiba’i, Sîratun Nabawiyyah Durûsun wa ‘Ibar, halaman 20).

Demikian pula Syekh Said Ramadhan al-Buthi menegaskan, semua ini merupakan bukti bahwa Nabi saw langsung dibimbing oleh Allah swt tanpa melalui perantara apapun. (Al-Buthi, Fiqhus Sîrah, halaman 79).

Hikmah kedua, track record atau rekam jejak seorang dai sangat berpengaruh dalam dakwahnya. Dr. Musthafa as-Shiba’i menegaskan, banyak orang berdakwah dan mengajak umat buat memiliki budi pekerti baik, tetapi sebab memiliki masa lalu kelam, akhirnya masyarakat berpaling dari ajakannya. Bahkan masa kelam yg pernah dilalui olehnya menimbulkan keraguan bagi masyarakat buat menerima dakwahnya. (As-Shiba’i, Sîratun Nabawiyyah, halaman 23).

Maksud as-Shiba’i, seorang dai yg mengajak pada kebaikan bila memiliki masa lalu kelam, dapat jadi ada saja orang yg tak senang dgn dakwahnya, lalu mengungkit-ungkit masa lalunya. Sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat. Masa lalunya saja suram, bagaimana dapat mengajak orang lain pada kebaikan.

Nabi Muhammad saw langsung dididik oleh Allah swt. Artinya, sebelum kelak terjun menyampaikan risalah mengajak pada kebaikan dan mencegah dari keburukan, Allah telah siapkan segala hal yg mau mendukungnya. Termasuk supaya kelak ketika berdakwah, beliau tak dicela kafir sebab punya masa lalu kelam. Bisa jadi, kalau Nabi saw tak maksum, orang mau melakukan konspirasi menjatuhkan Nabi saw dgn menyebarkan aib masa lalunya kelam, sehingga menimbulkan keraguan terhadap khalayak umum atas misi dakwah yg diembannya. Tapi, sungguh tak ada celah buat itu dalam diri Nabi saw. Wallâhu a’lam.

 

Ustadz Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.