Hikmah di Balik Penamaan Ilmu Tasawuf

Beragama Islam dgn paripurna ialah mengikuti semua yg dibawa oleh Nabi Muhammad saw dari Allah swt, mengimanainya dgn cara mematuhi semua perintah dan larangannya. Semua itu telah tergambar sejak masa awal Nabi Muhammad mengajarkan cara beragama yg benar kepada para sahabatnya, kemudian dari sahabat Nabi saw berlanjut pada generasi selanjutnya, yg dikenal dgn tâbi’în, yaitu orang-orang yg hidup bersama orang-orang yg hidup bersama Rasulullah saw. Dari tiga generasi emas ini, kemudian banyak ulama bermunculan mendakwahkan Islam.

Ulama masa tâbi’în dan tâbi’ut tâbi’în kala itu menuliskan semua ajaran Islam yg mereka pelajari, sampai akhirnya ulama terbagi menjadi beberapa bagian. Ada yg hanya fokus mendalami ilmu hadits kemudian menyebarkannya. Mereka dikenal dgn istilah muhaddits. Ada yg fokus pada ilmu nahwu yg dikenal dgn nama nahwiyyun. Ada yg fokus mendalami tafsir Al-Qur’an, yg dikenal dgn istilah mufassir. Ada yg fokus mendalami ilmu fiqih, yg dikenal dgn istilah faqîh. Ada yg hanya fokus dgn pendidikan rohani dan hanya menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah swt, yaitu melalui cara zuhud terhadap dunia dan isinya. Ulama yg disebut terakhir ini dikenal dgn istilah ulama tasawuf atau sufi.

Syekh Yusuf Khatthar Muhammad dalam kitab al-Mausû’atul Yusûfiyyah menjelaskan, penamaan ulama dalam bidang-bidang khusus tersebut tak pernah ditemukan pada masa Rasulullah saw. Penamaan itu hanyalah merupakan istilah dari ilmu-ilmu syariat yg menjadi bidang kajian para ulama. Penamaan ini bukan berarti keluar dari penamaan Islam dan mau membagi Islam dgn berbagai macam. Sebab syariat Islam memberikan legalitas terhadapnya, sebagaimana dijelaskan:

وَلَيْسَ كُلُّ اسْمٍ لَمْ يَأْتِ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ أَوِ السُّنَّةِ الشَّرِيْفَةِ يَحْرُمُ التَّسَمِّي بِهِ بَلْ جَائِزٌ شَرْعًا

Artinya, “Tidak semua nama yg tak ditemukan dalam Al-Qur’anul Karim, atau sunnah syarîfah hukumnya haram menamai dgn nama tersebut, bahkan diperbolehkan secara syariat.” (Yusuf Khatthar Muhammad, al-Mausû’atul Yusûfiyyah fî Bayâni Adillatis Shûfiyyah, [Damaskus, Maktabah Dârul Albâb: 1999], halaman 9).

Menurut Syekh Yusuf Khattar, legalitas tersebut bukan tanpa alasan. Terbukti Allah swt memberikan nama yg berbeda kepada umat Islam, di antaranya: (1) as-Sâbiqûn, yaitu orang-orang dahulu dan yg pertama masuk Islam dari kalangan sahabat Anshar dan Muhajir; (2) al-Muqarrabûn, yaitu orang-orang yg mendekatkan diri kepada Allah; (3) ash-Shâdiqûn, yaitu orang-orang yg langsung mempercayai Nabi Muhammad saw dan risalah yg dibawanya, serta mempercayai mukjizat-mukjizat yg terjadi kepadanya; dan (4) asy-Syuhadâ’, yaitu orang-orang yg wafat ketika perang, dan yg lainnya.

Jika Allah sendiri menggunakan penamaan di atas sebagai istilah yg diberikan kepada orang-orang yg sedang mengalami atau sedang menjalani kondisi tertentu, maka hal itu menjadi dalil kebolehan membuat nama baru yg disandingkan kepada para ulama dan orang saleh, sesuai ilmu yg sedang ditekuninya, atau diberi nama sesuai dgn tarekat yg sedang diikuti olehnya.

كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سُمِيَ بِذَلِكَ نِسْبَةً لِعِلْمِهِ وَكَذَلِكَ نِسْبَةٌ اِلَى الْقَبَائِلِ وَالْأَوْطَانِ

Artinya, “Semua penamaan dari salah satu mereka disebabkan penisbatan kepada ilmunya. Begitu juga dgn penisbatan kepada suku bangsa, dan tanah air.” (Muhammad, al-Mausû’atul Yusûfiyyah, halaman 10).

Contoh penisbatan nama pada tanah air ialah Nabi Muhammad saw al-Quraisy al-Makki, sahabat Abu Dzarrin al-Ghifâri al-Makki, Bilal bin Rabah al-Habsy, dan Salman al-Fârisi. Semuanya berafiliasi pada tanah air mereka masing-masing. Begitu juga dgn penamaan ilmu tasawuf. Banyak pendapat yg berbeda dalam mendefinisikan salah satu cabang ilmu yg sangat populer ini, utamanya bagi orang-orang yg sedang mencari jalan menuju Allah swt. Syekh Ibnu Ajibah mengatakan:

تَنَازَعَ النَّاسُ فِي الصُّوْفِي وَاخْتَلَفُوْا * وَظَنَّهُ الْبَعْضُ مُشْتَقًّا مِنَ الصُّوْفِ

Artinya, “Ulama berselisih pendapat perihal ilmu tasawuf sampai terjadi perbedaan, dan ada sebagian yg menganggap bahwa tasawuf diambil dari kata shûf.” (Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah al-Hasani, Îqâdhul Himam fî Syarhil Hikam, halaman 3).

Yang menarik, banyak sekali pendapat ulama dalam menjawab alasan di balik penamaan ilmu tasawuf. Di antaranya Imam Junaid al-Baghdadi (220-298 H), ulama yg dikenal sebagai pemimpin sufi sekaligus ahli fiqih yg handal keturunan Persia mengatakan:

هُوَ أَنْ يُمِيْتَكَ الْحَقُّ عَنْكَ وَيُحْيِيْكَ بِهِ. وَقَالَ أَيْضًا: أَنْ يَكُوْنَ مَعَ اللهِ بِلَا عَلَاقَةٍ

Artinya, “Tasawuf ialah ilmu yg menjadikan (nafsumu) dimatikan oleh Allah (dari memenuhi kemauanmu), dan Allah menghidupkan (hatimu) dgn selalu ingat terhadap-Nya. Ia juga berkata: tasawuf ialah harus bersama dgn Allah tanpa disertai ikatan (dgn yg lain).” (Ibnu ‘Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 3).

Syekh Abdul Qadir al-Jilani (470-561 H) sosok figur ulama kharismatik bergelar Shultânul Auliyâ’ al-Qutbur Rabbâni wal Ghautsur Rahmâni pendiri tarekat Qadiriyah mendefinisikan ilmu tasawuf dgn mengatakan:

التَصَوُّفُ لَيْسَ مَا أُخِذَ عَنِ الْقِيْلِ وَالْقَالِ، وَلَكِنْ أُخِذَ مِنَ الْجُوْعِ وَقَطْعِ الْمَأْلُوْفَاتِ وَالْمُسْتَحْسِنَاتِ

Artinya, “Tasawuf bukanlah ilmu yg diambil dari perkataan-perkataan kosong, mau tetapi ilmu yg didapatkan sebab (menahan) rasa lapar, melepas semua kesenangan dan keindahan (dunia).” (Abdul Qadir al-Jilani, Adâbus Sulûk, halaman 56).

Sementara Imam Al-Ghazali mengatakan:

التَصَوُّفُ هُوَ تَجْرِيْدُ الْقَلْبِ لِلهِ تَعَالَى وَاعْتِقَادُ مَا سِوَاهُ اِعْتِقَادًا أَنَّهُ لَايَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ

Artinya, “Tasawuf ialah melepaskan hati (dari segala ketergantungan) sebab Allah ta’ala, dan meyakini dgn seyakin-yakinnya bahwa setiap sesuatu selain Allah tak dapat memberikan bahaya dan manfaat.” (Muhammad Abul Yusr Abidin, Hikâyatush Shûfiyyah, [Maktabah Dârul Basyair: 2010], halaman 25).

Tiga definisi di atas mencerminkan bahwa ilmu tasawuf merupakan cabang ilmu yg menempati posisi sangat strategis dalam menuntun manusia menuju jalan yg benar. Karenanya, cabang ilmu yg satu ini sangat penting buat dipelajari. Tasawuf juga bukan sekedar teori, namun lebih pada aksi. Orang tak dikatakan sebagai ahli tasawuf bila hatinya masih mati, lupa Allah Dzat yg menghidupkan manusia, dan lebih cenderung berpikir selain-Nya. Bukan pula dikatakan ahli tasawuf, bila seseorang masih menikmati keindahan dan kenyamanan dunia serta isinya. Juga tak dikatakan sebagai ahli tasawuf, bila hatinya masih dipenuhi dunia namun lupa pada pemilik dunia. Demikian pula bila masih meyakini bahwa selain Allah dapat memberikan bahaya dan manfaat.

Syekh Abul ‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa Zarruq al-Fasi, (wafat, 899 H) seorang ulama shufi menganut akidah Imam Asy’ari dari Maroko mengatakan:

التَصَوُّفُ عِلْمٌ قُصِدَ لِإِصْلَاحِ الْقُلُوْبِ وَهُوَ كَالْفِقْهِ لِإِصْلَاحِ الْعَمَلِ وَحِفْظِ النِّظَامِ

Artinya, “Ilmu Tasawuf ialah ilmu yg dimaksudkan buat memperbaiki hati. Ia bagaikan ilmu fiqih, yaitu buat memperbaiki amal perbuatan, dan menjaga aturan agama.” (Ahmad Zarruq al-Fasi, Qawâ’idut Tashawwuf, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2005], halaman 25).
    

Dari definisi di atas dapat kita pahami, diri seseorang tersusun dari anggota lahir (tubuh) dan batin (hati). Hati ialah anggota yg terdapat dalam tubuh, dan tubuh merupakan bungkus dari hati. Jika tubuh tak ada, maka meniscayakan hati juga tak dapat ditemukan. Begitu juga bila dalam tubuh tak ada hati, maka tubuh mau mati. Seolah, keduanya memiliki keterikatan yg tak dapat dipisahkan.

Jika dalam hidup hanya mengedepankan anggota batin dan sama sekali tak menjaga anggota lahirnya dari perbuatan maksiat dan perbuatan durhaka lainnya, maka sama sekali tak ada manfaat yg dapat diraih dari adanya anggota batin, selaku anggota yg berperan penting dalam menentukan tujuan seseorang, seperti niat. Begitu juga sebaliknya, bila hanya mengedepankan anggota lahir dgn memperbanyak melakukan shalat, sedekah, puasa dan ibadah lainnya, mau tetapi hatinya masih saja dipenuhui sifat-sifat tercela (madzmûmah), seperti riya’, sombong, merasa paling baik, dan lainnya, maka sama sekali tak ada manfaat dari ibadah-ibadah yg dilakukan anggota lahir. Dalam hal ini Imam Malik ra berkata:

مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهَ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ

Artinya, “Barangsiapa bertasawuf, namun tak berfiqih, maka mau menjadi zindiq. Barangsiapa berfiqih tanpa bertasawuf, maka mau menjadi orang fasik. Barangsiapa yg mengamalkan keduanya, maka dialah ahli hakikat yg sesungguhnya.” (Ibnu ‘Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 2). Wallâhu a’lam.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.