Dzulhijah merupakan bulan yg dimuliakan dalam Islam. Pada bulan tersebut banyak amaliah yg dianjurkan, di antaranya seperti memperbanyak puasa, sedekah, dan lainnya. Tidak hanya itu, pada bulan Dzulhijah, Allah mewajibkan umat Islam buat melaksanakan ibadah haji bagi yg telah mampu. Tentunya, Allah juga melarang segala perbuatan-perbuatan yg dapat merusak kesakralan ibadah. Semuanya sangat jelas dalam Al-Qur’an:
Â
اَلْØَجّ٠أَشْهÙرٌ مَعْلÙومَاتٌ، Ùَمَنْ Ùَرَضَ ÙÙيهÙنَّ الْØَجَّ Ùَلَا رَÙÙŽØ«ÙŽ وَلَا ÙÙسÙوقَ وَلَا جÙدَالَ ÙÙÙŠ الْØَجّÙØŒ وَمَا تَÙْعَلÙوا Ù…Ùنْ خَيْر٠يَعْلَمْه٠اللهÙØŒ وَتَزَوَّدÙوا ÙÙŽØ¥Ùنَّ خَيْرَ الزَّاد٠التَّقْوَى، وَاتَّقÙون٠يَا Ø£ÙولÙÙŠ الْأَلْبَاب٠(البقرة: 197)
Â
Artinya, “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yg telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat dan bertengkar di tengah melakukan haji. Segala yg baik yg kalian kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, sebab sesungguhnya sebaik-baik bekal ialah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yg mempunyai akal sehat.†(QS Al-Baqarah: 197).
Â
Pada ayat di atas Allah menegaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji bertepatan dgn bulan yg telah dimaklumi. Bulan apa saja yg dimaklumi pada ayat di atas? Syekh Thanthawi menjelaskan, yg dimaksud ialah bulan-bulan mulia dalam Islam, yaitu Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah. Pada bulan tersebut, masyarakat Arab mengenal atau memakluminya sebagai bulan haji sejak sebelum Islam datang melalui Nabi Muhammad saw, tepatnya pada masa kenabian Nabi Ibrahim as. Atau dapat juga diartikan bahwa haji dilaksanakan pada bulan yg telah ditentukan. Kata ‘ditentukan’ di sini maksudnya telah menjadi kebiasaan sejak sebelumnya. Tentunya, tak diperbolehkan selain waktu tersebut. Karenanya, syariat-syariat sebelumnya yg diterima dalam syariat Nabi Muhammad saw, seperti disyariatkannya ibadah haji, mau menjadi bagi syariat bagi umat Nabi Muhammad saw. (Sayyid Muhammad Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, [Bairut, Dârul Fikr: 2014], halaman 338).
Â
Namun yg perlu diketahui, mengapa puncak ibadah haji dilakukan pada Dzulhijah? Apa keistimewaannya? Apa hikmah yg terkandung di dalamnya?Â
Â
Syekh Ali Ahmad Al-Jirjawi dalam kitab Hikmatut Tasyrî’ wa Falsafatuh menjelaskan:
Â
اÙعْلَمْ أَنَّ Ù„ÙلْبَارÙÙŠ جَلَّ شَأْنÙه٠أَنْ ÙŠÙخَصّÙصَ أَيَّ زَمَان٠كاَنَ Ù„ÙÙ†ÙزÙوْل٠الرَّØْمَات٠ÙÙيْه٠عَلىَ عÙبَادÙه٠الْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ
Â
Artinya, “Ketahuilah bahwa bagi Allah swt terdapat kebiasaan mengistimewakan zaman apapun buat menjadi waktu turunnya berbagai rahmat kepada semua hamba-Nya yg iman.†(Ali Ahmad al-Jirjawi, Hikmatut Tasyrî’ wa Falsafatuh, [Bairut, Dârul Fikr: 1997], juz I, halaman 176).
Â
Pengistimewaan itu hanya Allah berikan di waktu-waktu tertentu, misalnya hari Jum’at, Lailatul Qadar, atau waktu-waktu mustajâbah. Semuanya tak lain merupakan gambaran Islam sebagai agama yg sangat mudah bagi pemeluknya. Begitupun dgn ibadah haji, Allah mewajibkannya di bulan yg sangat mulia dan agung. Kemuliaan itu tampak dgn dilipatgandakannya pahala setiap ibadah dan diterimanya doa pada bulan itu. Syekh Al-Jirjawi melanjutkan:
Â
وَلَمَّا كَانَ زَمَان٠الْØَجّ٠مÙÙ†ÙŽ الْأَشْهÙر٠الْØÙرÙم٠الَّتÙÙŠ تÙنَزَّل٠ÙÙيْه٠الرَّØْمَات٠ÙÙرÙضَتْ ÙÙيْه٠ÙَرÙيْضَة٠الْØَجّ٠لÙÙŠÙŽÙƒÙوْنَ الثَّوَاب٠أَعَمّ٠وَالنَّÙْع٠أَتَمّÙ
Â
Artinya, “Dan ketika waktu pelaksanaan haji termasuk bulan-bulan mulia yg di dalamnya diturunkan berbagai rahmat, maka pada bulan itu diwajibkan haji supaya pahalanya lebih banyak dan manfaatnya lebih sempurna.†(Al-Jirjawi, Hikmatut Tasyri’, juz I, halaman 177).
Â
Begitulah wajah Islam sesungguhnya. Agama paripurna yg diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan agama yg dibangun dgn pilar kemudahan. Bahkan Allah memberikan waktu-waktu tertentu buat melakukan ibadah. Tujuannya, tak lain supaya umat Islam dapat mendapatkan pahala melebihi waktu biasa.
Â
Dengan demikian diketahui puncak ibadah haji dilakukan pada Dzulhijah sebab keistemewaannya sebagai salah satu bulan-bulan mulia, dimana pahala ibadah dilipatgandakan. Sementara hikmahnya tampaknya kemudahan ajaran Islam bagi para pemeluknya.
Â
Dalam riwayat hadits disebutkan:
Â
كَانَ رَسÙوْل٠الله٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø¥Ùذا بَعَثَ Ø£ÙŽØَدًا Ù…ÙÙ† أَصْØَابÙÙ‡Ù ÙÙŠ بَعض٠أَمْرÙÙ‡ÙØŒ قَالَ: بَشّÙرÙوا وَلَا تÙÙ†ÙŽÙÙ‘ÙرÙوا، ويَسّÙرÙوا وَلَا تÙعَسّÙرÙوْا (رواه أبو داود)
Â
Artinya, “Ketika Rasulullah saw mengutus salah satu sahabatnya dalam suatu urusan, beliau berpesan: ‘Berilah kabar gembira dan jangan menakuti; mudahkanlah jangan sampai menyusahkan’.†(HR Abu Dawud).
Â
Islam sangat meringankan, tak memberikan beban bagi pemeluknya ketika tak mampu melaksanakan ajarannya. Wallâhu a’lam.
Â
Â
Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan.
Â