Hikmah Uzlah Rasulullah saw di Gua Hira

Rasulullah saw sebagai rasul penutup dan penyempurna bagi para rasul lainnya mempunyai tantangan lebih berat dan ujian yg lebih dahsyat. Meski demikian, ujian dari kaumnya yg begitu luar biasa, pembangkangan mereka yg tak pernah mengikutinya, serta tak adanya empati dan dukungan dari masyarakat saat itu, merupakan sesuatu yg wajar baginya. Semuanya dihadapi dgn penuh kesabaran dan ketabahan. 

Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya mengatakan, sebelum Rasulullah saw menerima wahyu, Allah menjadikannya lebih suka menyendiri. Ketika menjelang usia 40 tahun, Nabi saw Muhammad kerap melakukan uzlah (menyendiri). Allah membuatnya suka uzlah di Gua Hira di bukit yg terletak di arah barat daya Makkah. Nabi Muhammad saw uzlah dan beribadah di sana selama beberapa malam. Terkadang Rasulullah saw uzlah di sana selama 10 malam dan tak sesekali lebih lama lagi hingga sebulan penuh. Uzlah yg kerap dilakukan Rasulullah saw ini terjadi menjelang masa kenabiannya. Ini merupakan pertanda yg sangat agung dan memiliki nilai penting bagi kehidupan kaum muslim secara umum dan para dai secara khusus.

Menurut al-Buthi, aktivitas Rasulullah saw ini memberi petunjuk bahwa seorang muslim tak sempurna keislamannya meskipun telah menghiasi diri dgn berbagai ibadah, banyak melakukan ketaatan dan kebaikan, sebelum melakukan uzlah selama beberapa lama dgn tujuan buat mengintrospeksi diri dan merasakan pengawasan Allah swt. Al-Buthi mengatakan:

فَهِيَ تَوْضِيحٌ أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَكْمُلُ إِسْلَامُهُ مَهْمَا كَانَ مُتَحَلِّيًا بِالْفَضَائِلِ، قَائِمًا بِأَلْوَانِ الْعِبَادَاتِ، حَتَّى يَجْمَعَ إِلَى ذَلِكَ سَاعَاتٌ مِنَ الْعُزْلَةِ وَالْخَلْوَةِ يُحَاسِبُ فِيْهَا النَّفْسَ، وَيُرَاقِبُ اللهَ، وَيُفَكِّرُ فِي مَظَاهِرِ الْكَوْنِ، وَدَلَائِلِ ذَلِكَ عَلَى عَظْمَةِ اللهِ

Artinya, “Hal itu menjadi pengingat, bahwa seorang muslim tak dikatakan sempurna keislamannya, meski telah menghiasi diri dgn berbagai ibadah, banyak melakukan ketaatan dan kebaikan, sebelum menyendiri selama beberapa lama, dgn tujuan buat mengintrospeksi diri, merasakan pengawasan Allah swt, memikirkan fenomena alam dan petunjuk-petujuk hal tersebut atas keagungan Allah.” (Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sîratin Nabawiyyah, [Beirut, Dârul Fikr, cetakan keempat: 2019], halaman 75).

Syekh al-Buthi seolah hendak mengatakan, sekali pun ibadah seseorang sangat banyak, amal kebaikannya banyak, dan ketaatannya banyak, bila belum menyendiri buat melakukan introspeksi, maka dapat jadi amal kebaikan yg dilakukannya tak sempurna. Sebab, dapat jadi saat melakukan ketaatan ia masih memiliki motif mau dipuji, dan merasa dirinya lebih baik dari yg lain. Tentu sifat-sifat tersebut menjadi penghalangan diterimanya ibadah.

Sifat-sifat tercela tersebut tak mau dapat hilang dari semua manuisa pada umumnya, sebelum ia melakukan introspeksi buat berpikir tentang kejelekan dan kehinaan sifat tersebut. Semua ini dapat terjadi pada siapa pun. Karenanya, tak heran bila sebelum risalah kenabian diterima oleh Rasulullah saw, ia lebih suka menyendiri buat mengintrospeksi dirinya dan berpikir lebih luas tentang kekuasaan Allah.

Hikmah Uzlah Rasulullah saw
Menurut Syekh al-Buthi, peristiwa uzlah Rasulullah saw memiliki hikmah dan pelajaran yg sangat penting buat diketahui. Hikmah tersebut dapat disimpulkan menjadi dua, yaitu:

Pertama, menjadi media introspeksi diri. Introspeksi menjadi sesuatu yg sangat penting buat dilakukan manusia sebelum melakukan dakwah. Sebab, dalam jiwa setiap manusia pasti memiliki sebuah kerusakan dan sifat-sifat tercela yg tak dapat dihilangkan kecuali dgn cara menyendiri, menghindar dari keramaian, kemudian mengevaluasi diri dalam suasana yg hening dari hiruk-pikuk dunia. Al-Buthi mengatakan:

 

وَحِكْمَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِلنَّفْسِ أَفَاتٌ لَايُقْطَعُ شَرَّتُهَا اِلَّا دَوَاءَ الْعُزْلَةِ عَنِ النَّاسِ، وَمُحَاسَبَتِهَا فَي نَجْوَةٍ مِنْ ضَجِيْجِ الدُّنْيَا وَمَظَاهِرِهَا

 

Artinya, “Adapun hikmahnya, yaitu sesungguhnya dalam jiwa manusia ada kerusakan yg hanya dapat diobati dgn cara menyendiri, menjauh dari keramaian, lalu mengevaluasi diri dalam suasana yg hening dari hiruk-pikuk dunia.” (Al-Buthi, Fiqhus Sîrah, halaman 75).

Dengan cara itu orang dapat mengurangi bahkan menghilangkan sikap sombong, ujub (mengagumi diri sendiri), dengki, riya’, dan cinta dunia. Semuanya merupakan penyakit hati yg mau merusak jiwa, menodai kesucian hati, dan menghancurkan batinnya, meskipun dia banyak melakukan amal saleh dan ibadah yg baik. Semua hal itu tetap mau merusak, meskipun seseorang sibuk berdakwah, menasehati, mengarahkan, dan membimbing banyak orang.

Hidup bersosial dan berbaur dgn masyarakat bukan kemudian tak diperbolehkan, namun tak dapat dipastikan selamat dan terlepas dari sifat-sifat tercela (mazmûmah). Sebab, selama masih berkumpul dgn orang lain, sifat-sifat tersebut masih saja timbul dalam diri manusia. Akibatnya, tanpa disadari, semua amal kebaikan yg dilakukannya dan berbagai nasihat disampaikannya sama sekali tak dapat memberikan dampak baik bagi dirinya sendiri.

Karenanya, menurut Syekh al-Buthi berbagai kerusakan batin tak dapat diobati kecuali bila orang pergi menyendiri buat mengevaluasi dan merenungi hakikat dirinya, penciptanya, serta memahami dan merenungkan lebih dalam bebagai tanda kekuasaan Allah dan kebesaran-Nya. Demikian juga sejauh mana kebutuhannya pada pemeliharaan dan taufik Allah swt. Tidak hanya itu, menyendiri juga dilakukan buat merenungkan manusia dan ketakberdayaannya di hadapan Allah swt. Jadi, tak ada gunanya menyanjung atau mencela manusia. Kesendirian juga diperlukan buat memikirkan fenomena keagungan Allah, hari akhir, hisab dgn segala fenomena yg mengirmauya, serta merenungkan betapa besar kasih sayg Allah dan betapa berat hukuman-Nya.

Setelah semua itu dilakukan oleh manusia, sedikit demi sedikit mau terkikis berbagai penyakit dan sifat-sifat tercela yg ada dalam diri dan merusak jiwanya. Kemudian hiduplah hatinya dgn cahaya makrifat dan bersih dari segala penyakit-penyakit dunia.

Kedua, menjadi media buat lebih mencintai Allah. Selain menjadi media introspeksi, menyendiri juga menjadi salah satu jalan buat mencintai Allah. Sebab, salah satu cara buat meningkatkan spiritualitas kepada Allah setelah beriman kepada-Nya ialah selalu merenungkan limpahan nikmat-Nya, memikirkan betapa besar keagungan-Nya, serta merenungkan ciptaan-Nya, kemudian memperbanyak dzikir kepada-Nya dalam hati dan dgn lisan. Semuanya hanya terwujud melalui kegiatan menyendiri dan menjauhi segala kesibukan dan hiruk-pikuk dunia.

Merenungkan kebesaran Allah dan ciptaan-Nya bukanlah pekerjaan sia-sia tanpa guna. Sebab, Allah memerintahkan umat manusia supaya selalu berpikir tentang ciptaan-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw:

  (رواه أبو الشيخ ابن حبان) تَفَكَّرُوْا فِي خَلْقِ اللهِ، وَلَا تَتَفَكَّرُوْا فِي اللهِ فَتَهْلَكُوْا

Artinya, “Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah, dan janganlah kalian berpikir tentang Allah, maka kalian mau celaka.” (HR Abusy Syaikh Ibnu Hibban). (Al-Munawi, at-Taisîr fî Syarhil Jâmi’is Shagîr, [Maktabah ar-Riyadl: 1988], juz I, halaman 923).

Syekh ‘Abdur Rauf al-Munawi (wafat 1031 H) memberikan penjelasan hadist di atas, bahwa Dzat Allah tak dapat dinalar oleh akal manusia. Kecerdasan seperti apa pun tak mau mampu berpikir tentang Dzat-Nya. Karena itu, Rasulullah saw melarang manusia buat berpikir tentang Dzat-Nya. Rasulullah saw menganjurkan manusia buat berpikir tentang ciptaan dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Sebab, dgn cara tersebut ia mau semakin takut kepada Allah, semakin malu bila melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, sebab telah manyadari betul atas eksistensi kekuasaan Allah dgn segala otoritas-Nya. (Al-Munawi, Faidhul Qadîr, [Mesir, Maktabatut Tijâriyyatil Kubrâ: 2001], juz III, halaman 347).

Imam Junaid al-Baghdadi (220-298 H), tokoh sufi sangat masyhur dan ahli fiqih handal keturunan Persia yg lahir dan besar di kota Baghdad, mengatakan: 

أَشْرَفُ الْمَجَالِسِ وَأَعْلَاهَا، الْجُلُوْسُ مَعَ الفِكْرَةِ فِي مِيْدَانِ التَّوْحِيْدِ

Artinya, “Majelis paling mulia dan paling luhur ialah majelis tafakur tentang keesaan Allah.” (Al-Munawi, Faidhul Qadîr, juz III, halaman 347).

Walhasil, kegiatan uzlah yg dipraktikkan Nabi Muhammad saw menjelang kenabiannya merupakan salah satu sarana buat mewujudkan berbagai kebaikan dalam jiwanya. Kegiatan itu tak boleh diartikan uzlah dalam arti sepenuhnya berpaling dari manusia lalu menjadikan gua-gua dan gunung-gunung sebagai tempat tinggal, atau buat mengagungkan diri sendiri. Karena pemahaman seperti itu bertentangan dgn petunjuk Nabi Muhammad saw dan contoh yg ditampilkan para sahabatnya. Uzlah yg dianjurkan ialah yg bertujuan buat memperbaiki diri, dan menjadi obat atas segala penyakit yg ada dalam diri manusia, berupa segala sifat-sifat tercela. Karena kedudukannya sebagai obat, uzlah harus sesuai ukuran dan waktunya. Jika berlebihan, obat mau berubah menjadi penyakit yg patut dihindari.

 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.