Assalamualaikum wr.wb
Sebelumya saya sangat berterima kasih kepada Ustadz Muhammad Syamsudin yg telah menjawab pertanyaan saya sebelumnya mengenai persamaan mata uang dgn komoditas. Sejujurnya bisnis ini telah saya jalankan selama hampir 2 tahun dan sempat terhenti selama 2 tahun juga sebab masih ragu dgn hukum forex di pasar derivatif ini.
Â
Yang membuat ragu ada salah satu channel YouTube yg menygkut-pautkan esensi forex sendiri dgn pendapat para ulama seperti Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun, dan lain lain yg berpendapat “uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yg dapat diperjualbelikan”.
Â
Â
Juga ada pendapat bahwa yg diperbolehkan itu investasi mata uang dgn memiliki uangnya secara langsung. Kalaupun dgn rekening ya memiliki rekening dgn nilai dasar mata uangnya langsung. Seperti halnya investasi EUR/USD. Kalau mau buy berarti ya menukarkan uang rupiah dulu dgn USD lalu menjual USD entah di money changer atau bank dgn EUR berupa uang fisik atau berupa rekening mata uang USD dan Euro. Jadi, kalaupun uang itu nilainya turun, kita tetap memilikanya utuh dgn nominal tersebut. Otomatis engak ada istilah uang hangus seperti halnya margin call dan stop out.
Â
Itulah yg membuat kebimbangan saya berjalan di bisnis ini. Mohon jawabannya, Ustadz, apakah sahih pendapat para ulama tersebut. Sekian terima kasih atas jawabannya. Wassalamualaikum wr. wb
Â
Jawaban
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,
Penanya yg budiman. Syukur alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah swt. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Â
Penanya yg budiman, setaknya ada 3 hal yg mau penulis sampaikan seiring dgn pertanyaan Anda di atas. Ketiga hal tersebut ialah sebagai berikut:
Â
Pertama, benarkah Imam al-Ghazali melarang tukar-menukar uang?
Mungkin hadirnya pertanyaan ini ialah sebab Anda mendapati sebuah pernyataan yg disandarkan kepada Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dan tertuang dalam masterpiece beliau, Ihya’ Ulumiddin, juz 4, halaman 99 berikut ini:
Â
وكل من عامل معاملة الربا على الدراهم والدنانير Ùقد ÙƒÙر النعمة وظلم لأنهما خلقا لغيرهما لا لنÙسهما إذ لا غرض ÙÙŠ عينهما Ùإذا اتجر ÙÙŠ عينهما Ùقد اتخذهما مقصودًا على خلا٠وضع الØكمة إذ طلب النقد لغير ما وضع له ظلم
Â
“Setiap orang yg melakukan muamalah riba pada dirham dan dinar maka ia benar-benar telah kufur nikmat dan berlaku zalim, sebab keduanya diciptakan buat ditukar dgn selainnya dan bukan buat sesama jenisnya. Sebab tak ada gharadl (tujuan) penciptaannya buat fisik keduanya. Oleh sebab itu apabila kedua dinar dirham itu diniagakan atas dasar fisik (bahan penyusun) keduanya, maka tindakan itu sama halnya dgn telah menyimpang dari tujuan dasar hikmah ia diciptakan. Oleh sebab itu, menjadikan nuqud (dinar dan dirham) buat tujuan selain ia diciptakan ialah merupakan kezaliman.†(Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz 4, halaman 99).
Â
Penting buat kita pahami dari ungkapan yg disampaikan Hujjatul Islam di atas:
-
Yang dilarang ialah melakukan muamalah riba pada dinar dan dirham (‘amala mu’amalatar riba). Gambaran dari hal ini ialah menukar uang 1 dinar dgn 2 dinar, atau 1 dirham dgn 2 dirham, maka inilah yg dimaksud sebagai riba yg dilarang.
-
Termasuk bagian yg dilarang ialah melebur dinar buat diambil emasnya, atau melebur dirham buat diambil peraknya. Tindakan ini telah barang tentu disebut sebagai menempatkan dinar dan dirham tak sebagaimana tempatnya, disebabkan keduanya ialah medium of exchange, sementara tindakan meleburnya ialah mengubah dinar tak lagi menjadi mata uang. Itulah yg dimaksud dgn ungkapan Imam al-Ghazali lewat لأنهما خلقا لغيرهما لا لنÙسهما (sebab keduanya diciptakan buat selain keduanya [medium pertukaran] dan bukan buat fisik penyusunnya).
Â
Jadi, pernyataan Anda yg menggarisbawahi bahwa “uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange) dan bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yg dapat diperjualbelikan†kiranya merupakan buah dari kesalahan persepsi dgn mengatasnamakan Imam al-Ghazali, tanpa merujuk langsung terhadap karya beliau. Jika memang tukar-menukar uang tak diperbolehkan, maka Anda pun juga tak dapat menukarkan selembar uang 100 ribu sebagai 10 lembar uang pecahan 10 ribuan. Sebab bagaimanapun juga, tukar-menukar ialah bagian dari jual beli (barter).
Â
Pendapat sang imam di atas kiranya juga berlaku atas pendapat Ibnu Taimiyah, al-Maqrizi, dan Ibn Khaldun. Pendapat ketiganya juga banyak disalah persepsikan. Kiranya, saran penulis ialah Anda perlu merujuk langsung ke sumber karya masing-masing secara langsung dan tak lewat media lainnya.
Â
Kedua, benarkah yg diperbolehkan ialah investasi mata uang dgn memiliki uangnya secara langsung?
Penting dipahami bahwa yg dinamakan investasi (istitsmari) itu ialah Anda menjalankan uang dgn jalan meniagakannya (tijarah). Jika uang itu tak Anda jalankan, namun Anda simpan saja dalam buku rekening, maka itu tak disebut sebagai harta / modal investasi, melainkan termasuk jenis harta kanzin (harta mengendap).
Â
إن الاكتتاب أو الاستثمار عقد مشاركة، أما المضاربة Ùهي بيع وشراء، وهناك Ùرق بين المشاركة وبين البيع
Â
“Sesungguhnya iktitab (bergabung dalam saham) dan investasi itu merupakan akad musyarakah. Sementara mudlarabah merupakan gabungan dari akad penjualan dan pembelian. Di sinilah terletak perbedaan antara musyarakah dan jual beli itu sendiri.†(Majmu’at al-Muallifiin, Fatawi wa Istisyarat al-Islam al-Yaum, juz 9, halaman 81).
Â
Saat uang Anda berlaku sebagai harta kanzin memang Anda tak perlu berpikir mengenai perubahan kurs dan sejenisnya. Dan ketika terjadi perubahan kurs pun, saldo rekening Anda mau tetap serta tak terpengaruh.
Â
Namun, bila Anda memutuskan investasi lewat niaga (tijarah/trading), maka telah pasti ada kemungkinan bahwa Anda mau mengalami untung (ribhun) dan rugi (khusran). Keuntungan dan kerugian terjadi sebab uang Anda niscaya digunakkan sebagai modal guna dibelanjakan komoditas di satu waktu dan dijual di waktu yg lain, guna mendapatkan keuntungan (ribhun).
Â
التجارة لغة: التقليب ÙÙŠ المال. وشرعًا: التقليب ÙÙŠ المال المملوك بمعاوضة، لغرض الربØØŒ مع نية التجارة عند كل تصرÙ
Â
“Tijarah secara bahasa bermakna pemutaran harta. Secara syara’, tijarah (trading) ialah usaha memutar harta yg dimiliki dgn jalan melakukan “pertukaran†buat mendapatkan keuntungan sembari disertai niat niaga di tiap-tiap pembelanjaannya.†(Durriyatu al-Aithah, Fiqh al-Ibadat ‘ala al-Madzhab al-Imam al-Syafii, juz 2, 125).
Â
Â
Ketiga, Apakah Anda harus memiliki uangnya secara langsung?
Dalam konteks ini, kita perlu merenungkan bahwa “utang†ialah bagian dari harta yg ada dalam tanggungan (ma fi al-dzimmah). Pertukaran antara utang dgn utang (bai’ dain bi al-dain atau bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah) ialah boleh dgn catatan tak ada praktik riba di dalamnya.
Â
Akad pertukaran utang dgn utang yg tanpa disertai riba ini disebut dgn istilah akad hiwalah. Dan ini merupakan bagian yg legal dalam syariat Islam serta tertuang dalam semua kutub al-turats keislaman. Legalitas praktik hiwalah ialah terletak pada relasi keterjaminan penunaiannya, dan bukan pada rekeningnya.
Â
Ùإذا قلتÙ: بعتك هذا الكتاب بهذا الكتاب Ùهذا بيع معين بمعين، وإذا قلتÙ: بعتÙÙƒ هذا الكتاب بعشرة ريالات Ùهذا بيع معين بما ÙÙŠ الذمة. وهذا يشمل أيضًا: بيع ما ÙÙŠ الذمة بما ÙÙŠ الذمة
Â
“Saat saya berkata: Saya tukar kitab ini dgn kitab itu, maka akad pertukaran ini disebut akad bai’ mu’ayyyan bi mu’ayyan (jual beli fisik dgn fisik). Namun, bila saya katakan: “aku tukar kitab ini dgn 10 real, maka ini artinya akad bai’ muayyan bi ma fi al-dzimmah (jual beli fisik dgn sesuatu yg dijamin / utang). Akad kedua ini juga memuat akad bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah (jual beli barang yg dijamin dgn barang yg dijamin).â€
Â
Di dalam Taisir al-’Allam, juz 2, halaman 6, Kitab al-Buyu’, disebutkan mengenai definisi jual beli secara syara’, yaitu:
Â
واصطلاØًا (شرعًا): اختل٠الÙقهاء ÙÙŠ تعريÙه……ولعل أجمع تعري٠هو: مبادلة مال ولو ÙÙŠ الذمة أو منÙعة مباØØ© –كممر ÙÙŠ دار بمثل Ø£Øدهما– على التأبيد غير ربا وقرض
Â
“Secara istilah syara’: para fuqaha berbeda-beda dalam mendefinisikan jual beli….. Namun, barangkali definisi yg paling mewakili keseluruhan ialah sebagai berikut: “jual beli merupakan pertukaran harta dgn harta baik berupa sesuatu yg dijamin atau berupa manfaat yg mubah – misalnya talang air rumah yg ditukar dgn sejenisnya, atas dasar kepemilikan selamanya dan tanpa disertai adanya relasi riba dan utang.†(Abdullah bin Bassam (w. 1423 H), Taisir al-Allam Syarah ‘Umdat al-Ahkam, juz 2, halaman 6).
Â
Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa pertukaran uang dgn uang tak mensyaratkan adanya rekening, melainkan yg terpenting ialah adanya keterjaminan (fi al-dzimmah) dan tak ada riba. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Â
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jatim.
Â
Â