Ibnu Athaillah as-Smaudari: Sikap Terbaik Saat Harapan Tak Tercapai

Dalam kehidupan, tak setiap harapan manusia dapat tercapai. Kadang berhasil, kadang gagal. Kadang sukses, kadang kurang beruntung. Umumnya orang mau kecewa bila harapan atau kemauannya tak tercapai. Tapi bagi seorang muslim, sebenarnya bagaimana sikap terbaik ketika harapannya tak tercapai?

 

Kalam Hikmah Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari
Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiecenya, al-Hikam, menyatakan:

 

رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ

 

Artinya, “Bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya; dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yg lain.”

 

Menurut Imam Ibnu Athaillah, anugerah yg sebenarnya dan patut disyukuri ialah anugerah memeluk agama Islam sebagai nikmat yg sangat hakiki. Segala pemberian yg Allah berikan tak ada yg dapat menandingi anugerah keislaman seseorang. Orang yg masih memeluk agama Islam berarti masih menikmati anugerah yg sangat besar dari Allah.

 

Dengan kalam hikmah di atas, Imam Ibnu Athaillah seakan hendak menyampaikan, terkadang Allah memberikan sesuatu yg dianggap baik menurut pikiran manusia, namun tanpa disadari pemberian itu sebenarnya menghalangi dirinya dari taufiq dan hidayah buat semakin dekat kepada-Nya. Apalah artinya terpenuhi semua harapan, sementara cahaya Islam dan iman di hati justru padam?

 

Namun, yg sering terjadi ialah manusia sulit memahami hakikat anugerah yg diberikan Allah. Ketika harapannya tak sesuai kenyataan, betapa banyak manusia yg sering menyalahkan takdir, seolah Allah tak adil kepadanya. Padahal, bila mau memahami, semestinya ia mau sadar bahwa semua anugerah yg telah Allah berikan maupun yg Allah halangi darinya merupakan kebaikan yg hakiki baginya.

 

Imam Ibnu Athaillah melanjutkan kalam hikmahnya:

 

مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ

 

Artinya, “Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang pecegahan-Nya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah menjadi anugerah yg sebenarnya.”

 

Penjelasan Ibnu Ajibah
Syekh Ibnu Ajibah dalam kitabnya Îqâdhul Himam mengibaratkan pemberian Allah kepada manusia dgn orang yg diundang ke suatu jamuan makanan di tempat gelap tanpa lampu. Makanan yg tersedia sangat banyak, namun dapatkah saat itu ia mengetahui makanan mana yg mau diambil dan yg mau dimakan? Begitulah pemberian Allah kepada manusia, ketika diberi kecukupan di satu sisi, ia mau selalu merasa kekurangan di sisi lainnya. (Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam Syarhu Matnil Hikam, [Bairut, Darul Ma’rifah: 2000], halaman 97).

 

Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas terkonfirmasi oleh ayat Al-Qur’an:

 

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

 

Artinya, “Boleh jadi kalian tak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian; dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tak mengetahui.” (QS al-Baqarah:216)

 

Karenanya, orang-orang pilihan yg telah mencapai derajat ma’rifat billâh, sering merasa takut ketika ia menerima anugerah Allah. Syekh Ibnu Ajibah mengatakan:

 

اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا

 

Artinya, “Orang-orang ‘ârifbillâh lebih takut ketika diberikan kelapangan ketimbang diberikan kesempitan.” (Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97).

 

Terpenuhinya semua harapan merupakan kebahagiaan dan seakan menjadi nikmat yg sangat besar. Namun, semua itu justru menakutkan bagi orang-orang ‘ârifbillâh. Kenapa demikian? Sebab, bagi mereka dalam keadaan sempit orang yg dekat kepada Allah mau lebih tenang dan lebih tentram menjalankan semua perintah-Nya. Sedangkan dalam keadaan semua kemauan terpenuhi, orang mau berpotensi sombong dan tak bersyukur atas nikmat yg telah diberikan Allah kepadanya. 

 

Dalam menyikapi kelapangan dan kesempitan hidup, Syekh Ibnu Ajibah mengatakan:

 

اَلْبَسْطُ تَأْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهَا بِوُجُوْدِ الْفَرْحِ، وَالْقَبْضُ لَاحَظَّ لِلنَّفْسِ فِيْهِ

 

Artinya, “Dalam kelapangan hidup, nafsu manusia ikut ambil bagian (menikmatinya), sebab adanya rasa gembira; sedangkan dalam kondisi sempit, nafsu manusia tak ikut ambil bagian (merasakannya).” (Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97).

 

Begitulah kelapangan, ia dapat menjadi faktor yg menumbuhkan kecenderungan nafsu buat melupakan Allah yg memberikan anugerah. Orang yg lapang cenderung memanjakan dirinya dgn segala sesuatu yg dimaukan. Sikap memanjakan diri inilah yg terkadang menjadi penyebab orang lalai. Seolah, saat demikian kewajiban agama menjadi beban dan ibadah pun dilakukan dgn hati gundah tak ikhlas.

 

Berbeda ketika dalam kondisi sempit atau kesusahan. Banyak hal yg tertahan dan tak dapat didapatkan. Kondisi penuh keterbatasan menjadikan manusia tak dapat memanjakan dirinya. Karenanya, tak ada godaan buat lalai memanjakan diri dan kewajiban agama pun dapat ditunaikan tanpa beban. Bagaimana mungkin dapat memanjakan diri, sedangkan ia dalam keadaan yg kurang?

 

Dalam kesempatan lain Syekh Ibnu Ajibah mengibaratkan manusia seperti anak kecil yg masih sangat polos dan tak tahu apa-apa, yg mengmaukan manisan atau permen beracun. Ia berkata:

 

فَكُلَّمَا بَطَشَ الصَّبِيُّ لِذَلِكَ الطَّعَامِ رَدَّهُ أَبُوْهُ، فَالصَّبِي يَبْكِي عَلَيْهِ لِعَدَمِ عِلْمِهِ، وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ

 

Artinya, “Ketika Si Anak mengambil makanan beracun, Sang Ayah menolaknya; maka Si Anak menangisinya sebab ketaktahuannya, sedangkan Sang Ayah menolaknya secara paksa sebab tahu ada racunnya.” (Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 100).

 

Begitulah gambaran hubungan manusia dgn Allah swt berkaitan dgn anugerah dan harapan. Manusia tak ubahnya seperti anak kecil yg masih lugu dan sangat polos, sementara Allah menghalangi berbagai harapan dan kemauannya sebab bahaya yg tak diketahuinya.

 

Penilaian akhir yg paling baik dalam hidup ialah ketika sesuai dgn kehendak-Nya. Sangat mungkin, segala anggapan baik yg manusia wacanakan, justru merupakan keburukan yg tak Allah maukan. Tidak ada hal yg lebih baik atas semua kejadian yg menimpa manusia melainkan dgn mempelajari dan menggali hikmah demi meraih keridhaan-Nya. Sebab setiap ketentuan Allah selalu beriringan dgn kebijaksanaan-Nya.

 

Syair Imam al-Bushiri
Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah yg kemudian dijelaskan secara panjang lebar oleh Syekh Ibnu Ajibah di atas selaras dgn syair Imam al-Bushiri dalam al-Burdah:

 

كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً *** مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنَّ السَّمَّ فِى الدَّسَمِ

 

Artinya, “Betapa banyak kenikmatan justru berujung pada kematian, sebab orang tak menyadari bahaya racun yg terkandung di dalamnya.” Wallâhu a’lam.

 

 

Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.