Salah kaprah, bila masih memahami bahwa ikhlas selalu bertali kelindan dgn menolak kompensasi. Sungguh salah besar. Itu seperti pengertian orang bahwa makan harus selalu dgn tangan telanjang, padahal tak demikian, dapat menggunakan sarung tangan latex, sendok, sumpit, dan lain-lain. Maknanya, mendapatkan kompensasi dari hal baik yg kita lakukan tak menjadi konsekuensi dari ketidakikhlasan kita. Karena itu dua hal yg jauh berbeda.
Masyarakat awam kita tak sedikit yg gagal paham terkait ini. Misalnya, seusai melakukan aktivitas sosial, membantu tetangga, teman atau yg lain, ada beberapa orang yg enggan menerima kompensasi; entah dalam bentuk uang ataupun natura. Padahal, dapat saja ketika itu mereka membutuhkannya. Tapi sayg, sahabat-sahabat kita ini terkungkung budaya ‘malu’, khawatir diduga tak tulus membantu. Mau atau tidak, mereka harus menolak sedapat mungkin. Satu sisi, ini adab yg baik, setidaknya belajar buat tak mengharap apa-apa dari orang lain. Sialnya, bila motif penolakan tersebut tak demikian, tapi sebab malu dan takut diduga tak tulus. Rugi dua kali, telah jatuh malah tertimpa tangga.
Imam Abdullah bin Dhaifillah ar-Rohili dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20-25) menulis panjang ihwal dua contoh yg legal dalam syariat dan masuk pada kajian ini, bahwa ikhlas tak mesti menolak imbalan.
Harta Ghanimah: Imbalan Materi buat para Mujahid
Benar memang, harta ghanimah itu urusan duniawi, tentang harta kekayaan. Tapi juga tak tepat bila menolak harta ghanimah atas nama keikhlasan berperang. Karena khawatir merusak niat tulusnya menegakkan agama Allah. Sahabat Abu Musa radhiyallahu ’anhu pernah berkisah tentang seorang sahabat yg mengadu kepada baginda Nabi terkait ragam motif para mujahid yg turut serta berperang, memperjuangkan Islam. Seperti motif buat dapat ghanimah, ketenaran, dan seterusnya.
Berikut redaksinya dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20):
عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقال: الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ؛ فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قال: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Artinya, “Abu Musa berkisah, suatu hari seorang laki-laki menghadap Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Ia bermaksud melapor ihwal motif para pejuang medan perang menghadapi musuh-musuh Allah. Ia berkata, ‘Dari sekian pejuang, ada yg berperang buat mendapat ghanimah, memperoleh popularitas, dan supaya orang melihat kecakapannya mengayun pedang. Siapakah di antara mereka yg berjuang di jalan Allah?,” tanyanya serius. Nabi menjawab, “Semuanya di jalan Allah selama mengibarkan panji Allah sebagai tujuan utamanya’,” jawab Nabi tak kalah serius.
Di sana, ar-Rohili mengutip seorang mufasir besar abad keempat Hijriah, Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) yg berbunyi:
وبذلك صَرّح الطبري فقال: إذا كان أصل الباعث هو الأول لا يضره ما عَرَض له بعد ذلك
Artinya, “At-Thabari berkata, ‘Kalau memang motif utamanya ialah yg pertama (mengibarkan panji Allah), maka tak jadi soal ada niat lain atau tidak’.”
Dalam kajian fiqh, ini yg disebut dgn tasyrik an-niyyah (satu kerja banyak niat). Namun, dalam persoalan ini masih ada silang pendapat. Kendati, pendapat imam at-Thabari ialah pendapat ‘centang biru’, paling banyak diikuti. Silang pendapat ini ditengarai oleh riwayat Abu Umamah—yg berbeda dgn hadits di atas—perihal seorang sahabat yg bertanya pada Nabi:
يا رسول الله؛ أرأيت رجلاً غزا يلتمس الأجر والذكر، ما له؟
Artinya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang seseorang yg berperang tak hanya mengharap apresiasi ukhrawi, tapi juga popularitas?”
Rasulullah menjawab:
لا شيء له، فأعادها ثلاثاً، كلُّ ذلك يقول: لا شيء له، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصاً، وابتُغي به وجهه
Artinya, “‘Nihil. Tak dapat apa-apa’, kata Nabi. Sampai si penanya tadi mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun jawaban Nabi tetap juga sama. Lalu, lanjut bersabda, ‘Sungguh Allah hanya menerima amal yg dilakukan dgn ikhlas, dan mengharap rida-Nya’.” (Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 22-23)
Anjuran Saling Membalas Kebaikan
Normalnya, dalam hidup bersosial, kebaikan harus dibalas dgn kebaikan. Satu tingkat di atasnya, dibalas dgn imbalan yg lebih baik. Dan, yg tertinggi yaitu ketika kezaliman dibalas dgn senyuman. Tapi tak berarti boleh membiarkan kemungkaran, tak sama sekali. Kemungkaran harus segera diselesaikan dan dicegah. Karena yg disenyumi ialah empunya, bukan kezalimannya. Pertanyaannya, apakah menerima balasan kebaikan itu berarti ketidakikhlasan? Tentu tidak, seperti keterangan sebelumnya. Allah berfirman:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
Artinya, “Dan, apabila kamu dihormati dgn suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dgn yg lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yg sepadan) dgnnya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’[4]:86)
Imam Ar-Rohili berkata:
فِعْل المعروف المتبادَل بين المسلم وأخيه المسلم فهو أمرٌ مباح، بل هو مما أمر الله به المسلمين
Artinya, “Saling balas jasa antar sesama dalam kebaikan itu boleh-boleh saja, bahkan diperintahkan agama.” (Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 24).
Alhasil, tak setiap kompensasi atau imbalan dari kebaikan yg kita lakukan merupakan warna ketidakikhlasan. Jangan pernah ragu mengambil kompensasi, selain sebab itu rezeki, secara tak langsung kita sedang membantu menyalurkan kebaikan saudara-saudara kita.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur
Ikhlas Beramal Tak Mesti Berarti Menolak Kompensasi
Salah kaprah, bila masih memahami bahwa ikhlas selalu bertali kelindan dgn menolak kompensasi. Sungguh salah besar. Itu seperti pengertian orang bahwa makan harus selalu dgn tangan telanjang, padahal tak demikian, dapat menggunakan sarung tangan latex, sendok, sumpit, dan lain-lain. Maknanya, mendapatkan kompensasi dari hal baik yg kita lakukan tak menjadi konsekuensi dari ketakikhlasan kita. Karena itu dua hal yg jauh berbeda.
Â
Masyarakat awam kita tak sedikit yg gagal paham terkait ini. Misalnya, seusai melakukan aktivitas sosial, membantu tetangga, teman atau yg lain, ada beberapa orang yg enggan menerima kompensasi; entah dalam bentuk uang ataupun natura. Padahal, dapat saja saat itu mereka membutuhkannya. Tapi sayg, sahabat-sahabat kita ini terkungkung budaya ‘malu’, khawatir diduga tak tulus membantu. Mau atau tak, mereka harus menolak sedapat mungkin. Satu sisi, ini adab yg baik, setaknya belajar buat tak mengharap apa-apa dari orang lain. Sialnya, bila motif penolakan tersebut tak demikian, tapi sebab malu dan takut diduga tak tulus. Rugi dua kali, telah jatuh malah tertimpa tangga.
Â
Imam Abdullah bin Dhaifillah ar-Rohili dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20-25) menulis panjang ihwal dua contoh yg legal dalam syariat dan masuk pada kajian ini, bahwa ikhlas tak mesti menolak imbalan.
Â
Harta Ghanimah: Imbalan Materi buat para Mujahid
Benar memang, harta ghanimah itu urusan duniawi, tentang harta kekayaan. Tapi juga tak tepat bila menolak harta ghanimah atas nama keikhlasan berperang. Karena khawatir merusak niat tulusnya menegakkan agama Allah. Sahabat Abu Musa radhiyallahu ’anhu pernah berkisah tentang seorang sahabat yg mengadu kepada baginda Nabi terkait ragam motif para mujahid yg turut serta berperang, memperjuangkan Islam.  Seperti motif buat dapat ghanimah, ketenaran, dan seterusnya.
Â
Berikut redaksinya dalam Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din (hal. 20):
Â
عَنْ أَبÙÙŠ Ù…Ùوسَى رضي الله عنه قال: جَاءَ رَجÙÙ„ÙŒ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ النَّبÙيّ٠صلى الله عليه وسلم Ùَقال: الرَّجÙÙ„Ù ÙŠÙقَاتÙÙ„Ù Ù„ÙلْمَغْنَمÙØŒ وَالرَّجÙÙ„Ù ÙŠÙقَاتÙÙ„Ù Ù„ÙلذّÙكْرÙØŒ وَالرَّجÙÙ„Ù ÙŠÙقَاتÙÙ„Ù Ù„ÙÙŠÙرَى مَكَانÙÙ‡ÙØ› Ùَمَنْ ÙÙÙŠ سَبÙيل٠اللهÙØŸ قال: مَنْ قَاتَلَ Ù„ÙتَكÙونَ ÙƒÙŽÙ„Ùمَة٠الله٠هÙÙŠÙŽ الْعÙلْيَا ÙÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ ÙÙÙŠ سَبÙيل٠اللهÙ
Â
Artinya, “Abu Musa berkisah, suatu hari seorang laki-laki menghadap Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Ia bermaksud melapor ihwal motif para pejuang medan perang menghadapi musuh-musuh Allah. Ia berkata, ‘Dari sekian pejuang, ada yg berperang buat mendapat ghanimah, memperoleh popularitas, dan supaya orang melihat kecakapannya mengayun pedang. Siapakah di antara mereka yg berjuang di jalan Allah?,†tanyanya serius. Nabi menjawab, “Semuanya di jalan Allah selama mengibarkan panji Allah sebagai tujuan utamanya’,†jawab Nabi tak kalah serius.
Â
Di sana, ar-Rohili mengutip seorang mufasir besar abad keempat Hijriah, Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) yg berbunyi:
Â
وبذلك ØµÙŽØ±Ù‘Ø Ø§Ù„Ø·Ø¨Ø±ÙŠ Ùقال: إذا كان أصل الباعث هو الأول لا يضره ما عَرَض له بعد ذلك
Â
Artinya, “At-Thabari berkata, ‘Kalau memang motif utamanya ialah yg pertama (mengibarkan panji Allah), maka tak jadi soal ada niat lain atau tak’.â€
Â
Dalam kajian fiqh, ini yg disebut dgn tasyrik an-niyyah (satu kerja banyak niat). Namun, dalam persoalan ini masih ada silang pendapat. Kendati, pendapat imam at-Thabari ialah pendapat ‘centang biru’, paling banyak diikuti.  Silang pendapat ini ditengarai oleh riwayat Abu Umamah—yg berbeda dgn hadits di atas—perihal seorang sahabat yg bertanya pada Nabi:
Â
يا رسول الله؛ أرأيت رجلاً غزا يلتمس الأجر والذكر، ما له؟
Â
Artinya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang seseorang yg berperang tak hanya mengharap apresiasi ukhrawi, tapi juga popularitas?â€
Â
Rasulullah menjawab:
Â
لا شيء له، Ùأعادها ثلاثاً، كلّ٠ذلك يقول: لا شيء له، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصاً، وابتÙغي به وجهه
Â
Artinya, “‘Nihil. Tak dapat apa-apa’, kata Nabi. Sampai si penanya tadi mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun jawaban Nabi tetap juga sama. Lalu, lanjut bersabda, ‘Sungguh Allah hanya menerima amal yg dilakukan dgn ikhlas, dan mengharap rida-Nya’.†(Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 22-23)
Â
Anjuran Saling Membalas Kebaikan
Normalnya, dalam hidup bersosial, kebaikan harus dibalas dgn kebaikan. Satu tingkat di atasnya, dibalas dgn imbalan yg lebih baik. Dan, yg tertinggi yaitu ketika kezaliman dibalas dgn senyuman. Tapi tak berarti boleh membiarkan kemungkaran, tak sama sekali. Kemungkaran harus segera diselesaikan dan dicegah. Karena yg disenyumi ialah empunya, bukan kezalimannya. Pertanyaannya, apakah menerima balasan kebaikan itu berarti ketakikhlasan? Tentu tak, seperti keterangan sebelumnya. Allah berfirman:
Â
وَاÙذَا ØÙيّÙيْتÙمْ بÙتَØÙيَّة٠ÙÙŽØَيّÙوْا بÙاَØْسَنَ Ù…Ùنْهَآ اَوْ رÙدّÙوْهَا ۗ اÙنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى ÙƒÙلّ٠شَيْء٠ØَسÙيْبًا
Â
Artinya, “Dan, apabila kamu dihormati dgn suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dgn yg lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yg sepadan) dgnnya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.†(QS. An-Nisa’[4]:86)
Â
Imam Ar-Rohili berkata:
Â
ÙÙعْل المعرو٠المتبادَل بين المسلم وأخيه المسلم Ùهو أمرٌ مباØØŒ بل هو مما أمر الله به المسلمين
Â
Artinya, “Saling balas jasa antar sesama dalam kebaikan itu boleh-boleh saja, bahkan diperintahkan agama.†(Thariquka ila al-Ikhlas wa al-Fiqh fi ad-Din, hal. 24).
Â
Â
Alhasil, tak setiap kompensasi atau imbalan dari kebaikan yg kita lakukan merupakan warna ketakikhlasan. Jangan pernah ragu mengambil kompensasi, selain sebab itu rezeki, secara tak langsung kita sedang membantu menyalurkan kebaikan saudara-saudara kita.
Â
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.
Â
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur
Â
Uncategorized