Indonesia Bisa Menjadi Pengekspor Ulama Ke Seluruh Dunia, Jika Lakukan Hal Ini

– Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Suriah bekerjasama dgn KBRI Damaskus menggelar talkshow dan khataman serta ijazahan kitab Arba’in an-Nawawiyah denga Syekh Abdurrazaq al-Najm al-Hasani di Aula KBRI Damaskus, Ahad (4/2).

Acara yg diselenggarakannbuat memperingati harlah NU ke-92 tersebut, mengambil tema Pesantren di Mata Dunia. Dan dihadiri oleh Kuasa Usaha KBRI, Priyanto Mawardi; staf KBRI Damaskus; mahasiswa, dan Nahdliyin yg berdomisili di Damaskus ini berlangsung dgn khidmat.

Acara dimulai dgn pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian dilanjutkan dgn pembacaan Maulid Diba’i bersama, dan dilanjutkan dgn acara inti yaitu, talkshow menghadirkan Syeikh Abdurrazaq al-Najm yg baru saja selesai melakukan lawatan ilmiah di Indonesia sekitar sebulan yg lalu.

Talkshow ini sengaja digelar buat melihat bagaimana pandangan ulama dunia terhadap pondok pesantren yg merupakan ciri khas pendidikan Islam di Indonesia. Diharapkan dari talkshow ini, para mahasiswa yg mayoritas merupakan jebolan berbagai pesantren di tanah air dapat lebih menyempurnakan sistem pendidikan di pondok pesantren yg selama ini terbukti mampu menciptakan kader-kader ulama yg mumpuni, moderat dan mampu mengiringi perjalanan bangsa ketika kembali ke tanah air nanti.

Pemilihan Syekh Abdurrazaq al-Najm al-Hasani bukanlah hal yg tanpa sebab. Pada pertengahan Desember sampai pertengahan Januari kemarin, atas prakarsa wakil Mustasyar dan Rais Syuriyah PCINU Suriah, ulama kelahiran 1979 ini menjadi pengisi program diklat di Pondok Pesantren Mamba’us Sholihin, Gresik, Jawa Timur, yg berada di bawah asuhan KH Masbuhin Faqih.

Baca Juga:  Terlibat Jaringan Teroris, Seorang Karyawan PT Krakatau Steel Dibekuk Densus 88

Syekh Abdur Razaq menyampaikan kekaguman atas antusiasme para santri dalam menuntut ilmu agama. Pondok pesantren cukup mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari jumlah santri di banyak pondok pesantren dapat mencapai puluhan ribu orang.

Di samping itu, ia juga kagum atas upaya santri dalam mempelajari bahasa Arab dan tetap manjadikan kitab Alfiyah Ibnu Malik sebagai kitab pegangan dalam nahwu dan sharaf. Padahal kitab tersebut telah jarang dipakai para akademisi di dunia Arab, bahkan di jurusan Sastra Arab sekalipun.

“Saya sampai melongo mendengar para santri melantunkan bait-bait Alfiyah Ibnu Malik dalam halaqah-halaqah kecil dgn nada yg tak pernah saya dengar selama hidup saya,” katanya dgn nada takjub.

Tetapi di sisi lain, ia menyampaikan beberapa catatan penting yg harus segera dilaksanakan supaya sistem pengajaran pondok pesantren yg telah sangat baik ini menjadi lebih sempurna.

“Ada 5 disiplin ilmu yg harus digenjot di dunia pesantren, yaitu Mushtalah Hadits, Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Aqidah dan Ilmu qira’ah (Al-Qur’an) yg bersanad,” ujarnya.

“Ilmu Mushthalah Hadits saya kira menduduki posisi pertama sebab kemarin saya melihat banyak hadits maudhu’ dikutip bukan hanya oleh para santri tetapi juga oleh sebagian para ustadz pondok pesantren. Ini hal yag sangat berbahaya. Disusul dgn ilmu Ushul Fiqh supaya Fiqh yg kita pelajari tak mati dan terus dapat menjawab segala tuntutan zaman. Kemudian Ilmu Ushul Aqa’id dan Ilmu Kalam,” paparnya.

Baca Juga:  Selama PSBB Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah Ditiadakan

Ia mengapresiasi, kitab Jawhar al-Tawhid masih menjadi kitab pegangan di Indonesia. Hanya saja pemahaman harus diperdalam dan diperluas dgn merujuk berbagai syarah kitab tersebut.

“Kemudian ilmu Manthiq juga harus diperdalam lagi supaya setiap santri mampu berfikir logis dan mampu menyampaikan ilmu yg dia pelajari kepada umat secara rasional. Yang terakhir ialah ilmu qira’at. Saya melihat banyak pondok pesantren salaf kurang memperhatikan hal ini. Padahal hal ini sangat penting sebab kita bukan hanya diperintahkan buat mempelajari kandungannya tapi juga bagaimana cara membacanya supaya sesuai dgn bacaan ketika Alquran itu turun kepada Rasulullah SAW,” tegasnya.

Menurutnya solusi yg paling tepat ialah mengadakan diklat-diklat khusus buat kelima disiplin ilmu di atas seperti yg dilakukan di masjid-masjid Damaskus. Dan hal ini harus di dukung oleh semua pihak baik dari kepemerintahan, lembaga-lembaga keagamaan dan masyarakat pada umumnya.

Ia optimis bila kelima disiplin ilmu tersebut terus digenjot, dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang Indonesia telah tak butuh lagi ulama-ulama dari luar. Bahkan Indonesia telah menjadi pengekspor ulama ke seluruh dunia.

Baca Juga:  Soal Yel-yel “Islam Yes Kafir No” di Yogyakarta, Gus Mus: Merendahkan Keberagaman

“Orang indonesia itu sangat fanatik sekali terhadap Madzhab Syafii. Mereka mempelajari dan mengamalkan hampir semua kitab-kitab fiqh dalam madzhab syafii, bahkan detil-detil madzhab Syafi’I pun mereka tahu. Ini juga yg membuat saya kagum dgn ulama-ulama Indonesia,” ujarnya sambil tersenyum.

Seperti diketahui, Syeikh Abdur Razaq al-Najm sendiri pengikut mazhab Hanafi. Walaupun demikian, ia banyak berguru kepada ulama-ulama mazhab Syafi’I. Bahkan banyak mentahqiq kitab-kitab fiqh mazhab Syaf’I seperti Mughni al-Muhtaj, I’anah al-Thalibin dan lainnya. Tidak heran bila ia cukup mumpuni dalam dalam mazhab Syafi’i. Hal demikian bukanlah sesuatu yg aneh dalam dunia keilmuan di negeri bilad syam (Suriah).

Dan Acara talkshow ini ditutup dgn pembacaan kitab Arbain an-Anawiyah, sekaligus ijazah mata rantai sanad para ulama mazhab Syafi’I di Damaskus yg bersambung dgn Imam Nawawi.

Sumber: NU Online





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.