Kartel & Penyimpangannya dari Syirkah Abdan

Kartel sering didefinisikan sebagai sebuah kontrak kesepakatan antara beberapa perusahaan yg terpisah dan berdiri sendiri-sendiri (separated firms) buat bersama-sama melakukan siasat harga pasar lewat pengaturan distribusi produk dgn meniadakan persaingan usaha di dalamnya. Alasan dilangsungkannya kesepakatan, biasanya ialah menghindari terjadinya persaingan tak sehat. Namun, justru di sinilah muncul wajah baru penindasan, yaitu terjadinya monopoli harga, produk, dan jasa yg merugikan masyarakat selaku pengguna atau pembeli yg membutuhkan itu.

 

Jadi, kata kunci dari praktik kartel ialah ketiadaan persaingan usaha secara sehat. Ketiadaan ini merupakan akibat langsung dari adanya pengaturan dan permufakatan antarpelaku usaha. Permufakatan ini bertujuan buat menguasai pasar dan mengais keuntungan yg sebesar-besarnya. Efek kerugian yg ditimbulkan dari adanya kartel, ialah masyarakat dipaksa buat menerima harga yg telah dipatok oleh pihak perusahaan-perusahaan yg terhubung dan menjalin kesepakatan atas dasar nota kesepahaman (MoU).

 

Secara fiqih mazhab, permufakatan kartel semacam ini dikenal dgn istilah idz’an. Imam al-Bujairami (w. 1221 H) menjelaskan bahwa:

 

والإذْعانُ هُوَ قَبُولُ قَوْلِ الغَيْرِ مِن غَيْرِ مُعارِضٍ مَعَ العَمَلِ بِمُقْتَضاهُ

 

“Idz’an itu ialah menerima perkataan pihak lain tanpa adanya upaya banding yg disertai tindakan semestinya.” (al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, juz 4, h. 246).

 

Perlu diketahui bahwa pola yg semestinya terjadi di pasar ialah adanya persaingan sempurna. Akibat langsung dari persaingan secara alamiah, ialah kondisi harga dan barang/prooduk jasa menjadi cenderug fluktuatif dan bervariasi. Masyarakat pada akhirnya bebas memilih produk yg dibutuhkan menyesuaikan dgn kondisi finansial yg dimilikinya. Peniadaan persaingan, menjadikan masyarakat berlaku sebagai pihak yg dipaksa (mustakrih) menerima harga sesuai dgn yg telah dimufakati para pengusaha. Mahu beralih ke produk lain, harganya tetap sama.

 

Memang kecenderungan yg berlaku ialah pelaku usaha dapat melakukan variasi produknya dan menawarkan manfaat-manfaat yg berbeda. Namun, efek yg dirasakan oleh masyarakat tetap sama, yaitu harganya cenderung seragam. Padahal kebutuhan masyarakat ialah mereka dapat menikmati harga murah sebagai imbas iklim persaingan yg memungkinkan terjadinya peningkatan layanan atau penurunan harga dari perusahaan.

 

Baca juga: Pandangan Syariat terhadap Praktik Kartel

 

Misalnya, yg terjadi pada beberapa pelaku jasa transportasi. Masyarakat sebenarnya hanya butuh lancarnya transportasi dan keamanannya. Namun, dgn adanya kartel, masyarakat dibelokkan dgn promo-promo lain yg tak berkaitan langsung dgn kebutuhan dasar tersebut. Sementara itu, biaya telah ditetapkan secara paksa (idz’an) oleh pelaku jasa transportasi, kendati perusahaan penyedia jasa transportasi berasal dari industri yg berbeda. Di sisi lain, tarif dasar transportasi yg diterima oleh masyarakat cenderung sama.

 

Alhasil, kartel terjadi akibat permufakatan harga tersebut, sementara promo ialah bagian dari pengelabuan (taghrir) supaya masyarakat pengguna tak mempersoalkan tarif yg telah ditetapkan. Jadi, ujung-ujungnya ialah para pelaku kartel berusaha buat menguasai pasar dan menahan masuknya produk lain ke dalam pasar sebagai pesaing. Ciri dasar kartel ialah ketiadaan persaingan.

 

Termasuk Akad Apakah Pola Kartel Semacam?

Dilihat dari bagaimana munculnya kartel, yg diawali adanya permufakatan beberapa pihak yg bergerak dalam penjualan jasa dan produk yg seragam, namun berasal dari perusahaan berbeda, maka kartel merupakan bagian dari penyimpangan akad syirkah abdan dan syirkah mufawadlah. Untuk lebih jelasnya, mari kita kupas salah satu dari akad permufakatan ini!

 

Syekh Zakaria al-Anshary mendefinisikan Syirkah Abdan, sebagai berikut:

 

(شَرِكَةُ أبْدانٍ بِأنْ يَشْتَرِكا) أيْ اثْنانِ (لِيَكُونَ بَيْنَهُما كَسْبُهُما) بِبَدَنِهِما مُتَساوِيًا كانَ أوْ مُتَفاوِتًا مَعَ اتِّفاقِ الحِرْفَةِ كَخَيّاطَيْنِ أوْ اخْتِلافِها كَخَيّاطٍ ورَفّاءٍ

 

Artinya: “Syirkah abdan ialah bilamana terdapat dua pihak yg saling bersekutu buat menjalankan roda usaha dgn perjanjian hasil pekerjaan dibagi berdua, baik dgn nisbah pembagian yg sama atau berbeda, beserta adanya kesepakatan pembagian kerja/pengepul/pengelolaan/manajemen. Contoh: kerja sama antara dua orang yg berprofesi sama-sama penjahit, atau kerja sama antara dua pihak dgn profesi yg berbeda, seperti: antara penjahit dgn tukang pintal.” (Syarh al-Minhaj, juz 3, h. 40).

 

Selanjutnya, Imam al-Bujairami dalam Hasyiyah al-Bujairami menjelaskan:

 

(قَوْلُهُ: شَرِكَةُ أبْدانٍ) جَوَّزَها أبُو حَنِيفَةَ مُطْلَقًا ومالِكٌ وأحْمَدُ مَعَ اتِّحادِ الحِرْفَةِ ثُمَّ عَلى البُطْلانِ فَمَن انْفَرَدَ بِشَيْءٍ، فَهُوَ لَهُ وما اشْتَرَكا فِيهِ يُوَزَّعُ عَلَيْهِما بِنِسْبَةِ أُجْرَةِ المِثْلِ بِحَسَبِ الكَسْبِ

 

“Penjelasan penulis tentang “syirkah abdan”: Imam Abu Hanifah menyatakan hukum kebolehannya secara mutlak. Adapun menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, hukumnya boleh apabila tunggal profesi/pengelolaan/pengepul/manajemen. Selanjutnya dalam hal batalnya syirkah ini, ialah apabila ada pihak syarik yg mendapat job ekstra sendiri kemudian hasilnya dimiliki olehnya sendiri. Atau, bila mendapat job bersama maka hasilnya dibagi berdua, sementara upah bagi pihak yg mengerjakan dihitung sebagai upah standar sesuai kerja” (Hasyiyah Bujairamy ‘ala Syarhi al-Minhaj, juz 3, h. 40).

 

Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik dari syirkah abdan tak menyerupai kartel, meskipun syirkah ini diakui sebagai batal dalam konteks ulama Syafi’iyah. Sebab, ulama Syafi’iyah hanya memperkenankan syirkah ‘inan (persekutuan modal). Meski demikian, 3 mazhab lainnya mengakui sebagai sah, dgn catatan:

 

  1. Apabila hasil dari pekerjaan dikumpulkan secara bersama-sama, kemudian untung rugi dibagi bersama. Jadi, apabila ada 2 maskapai melakukan syirkah abdan, maka hasil dari penjualan jasa meniscayakan adanya pengepul. Selanjutnya untung rugi dibagi berdua, dgn nisbah yg disepakati bersama. Nisbah tersebut dapat sama, dapat juga berbeda, tergantung kesepakatan.
     
  2. Yang umum berlaku di tengah masyarakat, ialah hasil dari pekerjaan masing-masing pihak yg terlibat dalam syirkah, ternyata dikuasai oleh pihak yg mengerjakan itu sendiri. Adapun yg dikumpulkan ke pengepul, umumnya bukan hasil dari penjualan tiket, melainkan keuntungan ekstra dari jasa lainnya, seperti biaya admin, atau biaya administrasi. Hasil ini kemudian dibagi antar anggota syirkah. Nah, inilah yg menjadii pembatal dari kartel tersebut, menurut penjelasan dari ulama 3 madzhab sebab ketiadaan pengumpulan hasil kinerja.

 

Wajah kartel yg mengaku sebagai syirkah abdan semacam ini pada hakikatnya ialah tindakan buat mewujudkan imperialisme bisnis melalui penguasaan lapangan dan konsumen. Mereka berusaha lari dari persaingan usaha yg sehat dgn jalan penciptaan sekat atau barrier bagi masuknya pihak lain yg menguntungkan konsumen penggunanya. Itulah bagian dari efek negatif kartel. Sepertinya sepele, namun efeknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat konsumen, sebab tak ada pilihan lain.

 

Bagaimana bila kartel tersebut kita lihat dari sudut pandang syirkah mufawadlah? Insyaallah diulas dalam tulisan berikutnya! Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.