Kartel & Penyimpangannya dari Syirkah Mufawadlah

Sebagaimana telah kita ketahui, kartel merupakan nota kesepahaman antarbeberapa pelaku usaha terpisah buat melakukan pengaturan harga yg menyebabkan sulitnya pemain baru buat masuk ke pasar. Sekat (barrier) sengaja diciptakan lewat kolusi para pelaku usaha lama supaya mereka terhindar dari kehadiran pesaing usaha baru yg bergerak di penjualan jasa atau produk yg sama.

 

Akibat kartel, tak ada persaingan di pasaran. Padahal, efek dari adanya persaingan ialah masyarakatlah yg mau diuntungkan sebab banyak pilihan produk dan jasa yg dapat mereka dapatkan. Dengan kata lain, ketiadaan persaingan berujung merugikan masyarakat (dlarar). Dan, setiap potensi bagi terbitnya dlarar (kerugian) harus berusaha dihindarkan (al-dlararu yuzal). Lantas apa masalahnya dgn kartel?

 

Baca juga: Cuan Pelaku Kartel Digital dan Nasib Konsumen

 

Islam telah mengajarkan adanya akad kemitraan (syirkah) dan mendorong umatnya supaya melakukan kerja sama (kemitraan). Sementara kartel di atas merupakan bagian dari kemitraan. Namun, mengapa kartel itu dicela, sementara di satu sisi ada anjuran melakukan akad kerja sama? Nah, ini yg mau kita bahas, khususnya dari sudut pandang syirkah mufawadlah (kesepakatan tunggal manajemen dalam beda profesi).

 

Beda Syirkah Abdan dan Syirkah Mufawadlah

Pada kesempatan tulisan sebelumnya, penulis telah menyampaikan batalnya nota kesepahaman ala kartel ini dari sudut pandang syirkah abdan (kemitraan tunggal profesi dalam satu manajemen). Beberapa unsur pembatalnya di antaranya ialah:

  1. Setiap pelaku usaha yg terlibat dalam kartel terbukti tak melakukan pengumpulan hasil dalam wadah satu manajemen. Apa yg dicapai oleh mereka dari kinerja yg mereka lakukan, ialah mereka sendiri yg menerimanya dan memilikinya yg dihitung sebagai keuntungan dan pendapatan (income).
  2. Karena tak ada pengumpulan menjadi satu maka tak ada pula nisbah bagi hasil. Alhasil, kesepakatan itu hanya nota di atas kertas sebagai permufakatan di luar kerja syirkah.

 

Baca juga: Kartel dan Penyimpangannya dari Syirkah Abdan

 

Berdasar dua pertimbangan dasar itu, lantas bagaimana bila kartel dipandang dari sudut syirkah mufawadlah?

 

Secara nash, syirkah yg dibolehkan dalam Islam hanyalah syirkah ‘inan, yaitu bentuk kerja sama permodalan dalam manajemen tunggal. Di dalam konteks syirkah ‘inan ini, setiap syarik (mitra) harus mengeluarkan modalnya buat digabung menjadi satu dan dikelola di bawah satu manajemen yg sama buat mendapatkan keuntungan bersama. Baik syirkah abdan (kemitraan tunggal profesi dan tunggal manajemen), maupun syirkah wujuh (kemitraan berbasis kepercayaan) dan syirkah mufawadlah (kemitraan beda profesi namun tunggal manajemen), semuanya ialah bagian dari cabang dari syirkah ‘inan (kemitraan permodalan dalam tunggal manajemen).

 

Dengan demikian, kunci utama sebuah syirkah atau ikatan kerja sama itu dapat terjalin dan masuk dalam ranah sah secara syara’, ialah apabila ada manajemen tunggal pengelolaan yg bertugas mengumpulkan semua hasil kinerja dan selanjutnya membagi capaian tersebut sesuai dgn nisbah yg disepakati. Tanpanya, maka nota kesepahaman itu tak dapat dikaategorikan sebagai akad kemitraan sesuai syara’.

 

Contoh praktis, Pak Anton tukang penjahit, bekerja sama mendirikan sebuah usaha konveksi dgn Pak Jarwo. Baik upah hasil menjahitnya Pak Anton dan Pak Jarwo, harus dikumpulkan dalam wadah satu manajemen pengelolaan. Hasilnya kemudian dibagi sesuai dgn nisbah yg telah ditetapkan. Misalnya, sebab Pak Anton merupakan yg telah senior, maka ia berhak mendapatkan 60% dari pendapatan hasil kerja sama. Sementara Pak Jarwo mendapatkan 40% dari hasil pendapatan. Alasannya, sebab Pak Jarwo masih pemula dan masih butuh banyak bimbingan buat menjadi terampil seperti Pak Anton. Nah, akad semacam ini disebut dgn syirkah abdan. Syaratnya, ada satu manajemen pengumpul hasil, sehingga ada nisbah bagi hasil.

 

Lantas, bagaimana dgn syirkah mufawadlah?

Pada dasarnya syirkah mufawadlah juga merupakan turunan dari syirkah ‘inan. Syarat utamanya juga tetap sama, yaitu ada satu wadah manajemen yg mengumpulkan semua hasil kinerja yg dilakukan (ittihad al-hirfah). Al-Thurthusi, salah seorang ulama dari kalangan Malikiyah, telah mendefinisikan bahwa syirkah mufawadlah, ialah:

 

أن يفوض كل واحد التصرف للآخر في البيع والشراء، والضمان، والكفالة، والتوكيل، والقراض، وما فعله لزم الآخر إن كان عائدًا إلى تجارتهما، ولا يكونان شريكين إلا فيما يعقدان عليه الشركة متفاضلًا أم لا، إذا كان الربح والعمل على قدر ذلك

 

“Jika setiap pihak yg terlibat pasrah sepenuhnya kepada pihak lain baik dalam urusan penjualan, pembelian, penjaminan, keamanan, perwakilan, dan menunaikan tugas pengelolaan guna mendapat keuntungan yg dapat dinikmati bersama (qiradl). Apa yg dilakukan oleh pihak satu, maka pihak lainnya juga turut menjadi bagian penanggung jawab, dgn catatan bila pekerjaan tersebut kembali pada manajemen niaga. Pekerjaan kedua belah pihak tak dihitung sebagai bagian dari syirkah, apabila yg dilakukan keduanya menyimpang dari kesepakatan yg telah dibangun dalam syirkah, baik sebab adanya unsur kerelaan atau tak, khususnya bila keuntungan dan amal itu diberikan berdasar kadar pekerjaan yg telah dilakukan.” (al-Dakhirah li al-Qarafi, juz 8, h. 53).

 

Jadi, berdasarkan konteks Malikiyah ini, adanya akad itu batal dipandang sebagai syirkah mufawadlah, ialah disinyalir sebab adanya 2 alasan, yaitu:

  1. Pekerjaan pihak yg dilakukan oleh syarik, tak sesuai dgn tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yg telah diberikan kepadanya
  2. Pekerjaan itu digaji berdasar ujrah mitsil, dan tak berdasar nisbah bagi hasil keuntungan dan laba.

 

Alhasil, menurut catatan ini, syirkah mufawadlah memiliki syarat yg hampir sama dgn syirkah abdan. Bedanya hanya tipis, yaitu:

  1. Dalam syirkah mufawadlah, Tupoksi antara masing-masing pihak mitra meniscayakan adanya perbedaan. Misalnya, ada yg bertugas menjahit, ada yg bertugas menyediakan kain, dan ada yg bertugas membuat modif, dan sejenisnya. Sementara itu dalam syirkah abdan, maka Tupoksi seluruh mitra ialah sama, sehingga condong ditengarai oleh keprofesian yg sama. Misalnya, sama-sama advokat.
  2. Karena tupoksinya berbeda-beda, maka dalam syirkah mufawadlah, tergabung beragam profesi, namun mereka semua dikendalikan di bawah satu manajemen. Selanjutnya, pembagian hasil ditetapkan berdasarkan nisbah kesepakatan dari kinerja yg telah dilakukan. Kecuali Madzhab Hanafi, menyatakan bahwa nisbah bagi hasilnya harus sama rata (tasawy).

 

Meski berbeda dari sisi profesi pihak yg terlibat, namun kata kunci keduanya ada pada kesamaan keharusan 1 manajemen dan adanya nisbah bagi hasil. Karena di bawah 1 manajemen tersebut, maka tak ada kesempatan atau peluang guna mempermainkan harga, sebab manajemennya sama. Alhasil, produk yg dihasilkan ialah seolah-olah merupakan produk bersama.

 

Lantas bagaimana dgn kartel dipandang dari sisi syirkah mufawadlah?

Di dalam kartel, perbedaan profesi bukan diwadahi dalam satu manajemen. Misalnya, satu terdiri dari perusahaan maskapai, dan lainnya terdiri dari perusahaan penyedia bahan bakar pesawat. Dari keduanya, dijalin kesepakatan buat melakukan pengaturan harga dan pihak yg dapat mengaksesnya. Contoh, pihak maskapai meminta supaya harga bahan bakar buat pemain baru supaya dinaikkan sebesar Rp. 7.665 per liter dari harga sebelumnya Rp 7500 per liter.

 

Sudah barang tentu kenaikan semacam ini mau berpengaruh terhadap harga tiket pesawat. Bagi pemain baru, yg modalnya pas-pasan, mereka mau berfikir ulang buat masuk sebab terjadi pembengkakan modal. Jadi, kolusi penaikan bahan bakar semacam inilah yg disebut sebagai bagian tindakan kartel. Dan secara tak langsung, pengaturan ini menjadi sekat bagi kehadiran pemain baru yg menawarkan jasa layanan yg lebih murah dgn manfaat dan jasa yg sama.

 

Demi melihat celah semacam ini, maka kesepakatan antara pengusaha maskapai lama dgn pengusaha bahan bakar tersebut, ialah tak dapat dikategorikan sebagai syirkah mufawadlah, meskipun didahului oleh adanya nota kesepahaman. Sasaran utama dari lahirnya kesepakatan ini pada dasarnya ialah memonopoli industri layanan jasa penerbangan supaya pihak lain tak dapat masuk merebut pangsa pasar yg telah dikuasai pemain lama. Dan fakta-fakta semacam ini telah banyak terjadi, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Tentu saja berbeda-beda polanya. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.