Salah satu isu penting dalam kontestasi politik di berbagai negara, tak terkecuali negeri dgn mayoritas penduduk muslim, ialah mengenai kepemimpinan perempuan. Dalam realitas sehari-hari maupun kondisi politik terkini, telah mulai banyak perempuan dgn jabatan strategis tertentu, baik di komunitas, organisasi, maupun pemerintahan, mulai skala daerah hingga nasional.
Saygnya, polemik soal kepemimpinan perempuan tak sesederhana itu. Meskipun dalam kerangka demokrasi perempuan dapat dan boleh diangkat menjadi pemimpin, nyatanya dalam mengupayakan hal itu banyak sekali hambatan struktural bahkan teologis yg menghambat perempuan menjadi pemimpin. Apa yg disebut pemimpin di sini sangat luas: mulai jabatan pemerintahan atau kedinasan, komunitas agama, sampai organisasi kemasyarakatan.Â
Dalam konteks ajaran Islam, hadits mengenai kepemimpinan perempuan sering disebut dan didiskusikan sebagai salah satu isu yg menghambat perempuan di masyarakat. Salah satu hadits yg sering disebut ialah:
Øَدَّثَنَا عÙثْمَان٠بْن٠الْهَيْثَم٠Øَدَّثَنَا عَوْÙÙŒ عَن٠الْØَسَن٠عَنْ أَبÙÙ‰ بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ Ù†ÙŽÙَعَنÙÙ‰ اللَّه٠بÙÙƒÙŽÙ„Ùمَة٠سَمÙعْتÙهَا Ù…Ùنْ رَسÙول٠اللَّه٠– صلى الله عليه وسلم – أَيَّامَ الْجَمَل٠، بَعْدَ مَا ÙƒÙدْت٠أَنْ أَلْØÙŽÙ‚ÙŽ بÙأَصْØَاب٠الْجَمَل٠ÙÙŽØ£ÙقَاتÙÙ„ÙŽ مَعَهÙمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسÙولَ اللَّه٠– صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ ÙَارÙسَ قَدْ مَلَّكÙوا عَلَيْهÙمْ بÙنْتَ ÙƒÙسْرَى قَالَ « لَنْ ÙŠÙÙْلÙØÙŽ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهÙم٠امْرَأَةً »Â
Artinya, “Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: ‘Allah memberikan manfaat kepadaku dgn sebuah kalimat yg kudengar dari Rasulullah SAW pada hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda ‘Tidak mau beruntung suatu kaum yg menyerahkan urusan mereka kepada wanita.’’†(HR Al-Bukhari).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari salah satunya dalam Kitabul Fitan, bagian pembahasan tentang konflik atau fitnah. Selain diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, hadits ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan At-Tirmidzi, Musnad At-Thabarani, juga Sunan An-Nasai.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dari jalur Utsman bin Haitsam, yg bersambung sampai sahabat Abu Bakrah yg bernama asli Nafi’ bin Al-Harits. Ada juga jalur periwayatan yg dimuat oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Muhammad bin Al-Mutsanna. Untuk redaksi matan hadits seperti di atas, mayoritas merujuk pada Abu Bakrah.
Secara status haditsnya sendiri, para ulama menyepakati bahwa ia berkualitas shahih. Nah, salah satu konsekuensi hadits yg dihukumi shahih ialah ia dapat menjadi dasar hukum atau hujjah dalam syariat. Dari pernyataan Nabi “…Tidak mau beruntung suatu kaum yg menyerahkan urusan mereka kepada wanita…†inilah debat panjang soal kepemimpinan perempuan terjadi.
Kita mulai dgn komentar para ulama, khususnya ahli hadits dan ahli fiqih tentang makna riwayat Abu Bakrah tersebut. Para muhadditsin telah menyepakati keshahihannya, salah satunya sebab telah memenuhi standar Imam Al-Bukhari. Imam At-Tirmidzi juga menyebutnya hadits hasan shahih.
Asbabul wurud atau sebab dituturkannya hadits tersebut oleh Abu Bakrah ialah ketika konflik politik meruncing antara kubu Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib, yg menjadi pemicu Perang Jamal pada tahun 36 H. Posisi politik Abu Bakrah sendiri disebutkan tak berpihak pada kubu Sayyidah Aisyah, dan mendasarkan sikapnya pada pernyataan Nabi di atas.
Para pensyarah hadits menjelaskan peristiwa apa yg menyebabkan Nabi berujar demikian. Alkisah, negeri Kisra-salah satu bagian dari negeri-negeri Persia-memiliki seorang raja yg terbunuh, buah dari konflik internal kerajaan. Rupanya, pembunuh sang raja ialah anak lelakinya sendiri. Intrik demi intrik terjadi dalam kerajaan, dan singkat cerita diputuskan buat mengangkat raja dari anak perempuan sang Kisra.Â
Saygnya, anak perempuan Kisra ini kurang sukses memimpin kerajaan. Banyak diskusi tentang sebabnya, ada yg menyebut inkompetensi, ada juga yg menyebutkan bahwa kemunduran kerajaan itu ialah akibat Kisra menyobek surat dakwah dari Nabi, maka ia kualat dgn terjadinya intrik dalam istana, serta ‘terpaksa’ anak perempuannya yg menjadi raja–dan doa Nabi mengenai kemunduran kerajaan pun terkabulkan. Demikian kurang lebih keterangan dalam Irsyadus Sari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Imam Al-Qasthalani dan Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi karya Imam Al-Mubarakfuri.
Mengenai diskusinya dalam syariat, Syekh Muhammad Al-Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari mengutip pendapat jumhur ulama tentang istinbath hadits tersebut: perempuan tak dapat menjadi sebagai qadli atau hakim, meski ada pendapat minor di kalangan mazhab Malikiyah yg memperbolehkannya. Komentar serupa juga dapat ditemukan dalam syarah Shahih Al-Bukhari lainnya seperti Irsyadus Sari karya Imam Al-Qasthalani maupun Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Tidak hanya tak boleh menjadi qadhi, dalam urusan persaksian dan imamah (kepemimpinan) pun ia juga dilarang.
Mengapa jumhur ulama berpendapat demikian? Salah satu argumen disabilan oleh Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir tentang hadits tersebut. Disebutkan bahwa suatu kaum atau golongan tak mau sejahtera bila dipimpin perempuan sebab lemahnya pemikiran perempuan. Selain itu, berdasarkan keterangan Al-Munawi, perempuan ialah aurat. Merupakan suatu pantangan bagi perempuan buat menjadi pemimpin sebab pemimpin perlu banyak tampak di masyarakat.
Lebih lanjut, dalam Subulus Salam Syarh Bulughul Maram karya Imam As-Shan’ani, disertakan juga komentar bahwa perempuan telah ditetapkan syariat buat menjadi pemimpin di rumahnya. Hal ini meniscayakan bahwa urusan domestik kerumahtanggaan ialah tanggung jawab perempuan, dan di sanalah ia dapat memimpin.
Dengan beragam catatan di atas, sementara dapat kita simpulkan bahwa pandangan ulama klasik yg dominan ialah tak tepatnya mengangkat perempuan sebagai pemimpin, dalam hal ini ialah terkait persaksian, qadhi, serta imamah–kepemimpinan pemerintahan.
Disebabkan muatan hadits ini, ulama kontemporer mulai mengkaji dgn sudut pandang lainnya. Muatan hadits Abu Bakrah tentang perempuan tak layak menjadi pemimpin ini tak sejalan dgn semangat Surat At-Taubah ayat 71:
وَالْمÙؤْمÙÙ†Ùونَ وَالْمÙؤْمÙنَات٠بَعْضÙÙ‡Ùمْ أَوْلÙيَاء٠بَعْض٠ۚ  يَأْمÙرÙونَ بÙالْمَعْرÙÙˆÙ٠وَيَنْهَوْنَ عَن٠الْمÙنْكَر٠وَيÙÙ‚ÙيمÙونَ الصَّلَاةَ ÙˆÙŽÙŠÙؤْتÙونَ الزَّكَاةَ ÙˆÙŽÙŠÙØ·ÙيعÙونَ اللَّهَ وَرَسÙولَه٠ۚ Ø£ÙولَٰئÙÙƒÙŽ سَيَرْØÙŽÙ…ÙÙ‡Ùم٠اللَّه٠ۗ Ø¥Ùنَّ اللَّهَ عَزÙيزٌ ØÙŽÙƒÙيمٌ
Artinya, “Orang-orang yg beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yg lain. Mereka menyuruh (berbuat) yg makruf, dan mencegah perbuatan yg mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka mau diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.†(Surat At-Taubah ayat 71).
Selain bertentangan dgn Al-Quran, sebagian ulama kontemporer meninjau bahwa kasus hadits tersebut bersifat khusus, hanya dalam konteks cerita raja Kisra itu. Dengan demikian di lain masa, perempuan tetap dapat menjadi pemimpin dgn prasyarat tak melakukan hal-hal yg menjadi penyebab kemunduran negeri Kisra, yaitu tak adanya kompetensi dan kecakapan. Pendekatan sesuai konteks cerita yg demikian sesuai kaidah “Al-‘ibrah bi khushusis sabab, la bi umumil lafzhiâ€. Meskipun pernyataan Nabi Muhammad merujuk pada perempuan secara umum, namun ia hanya dimaksudkan buat kisah negeri Kisra itu. Nah, terkait tawaran kaidah pemahaman ini, ulama berbeda pendapat.
Bukti sejarah bahwa banyak raja maupun pemuka agama perempuan, tak terkecuali dalam sejarah peradaban Islam. Dalam Al-Quran sendiri, dikisahkan tentang ratu dari negeri Saba’ yg digambarkan memimpin kerajaan besar dan memiliki kebijaksanaan. Sebagaimana juga asbabul wurud hadits Abu Bakrah tadi, latar belakangnya ialah kepemimpinan Aisyah. Ulama hadits sepakat bahwa Aisyah ialah ulama perempuan yg banyak meriwayatkan hadits dan pendapatnya dirujuk kaum pria. Meski di masa selanjutnya secara jumlah pemimpin atau pemuka agama perempuan sangat minor sekali dibanding penguasa, ulama, atau intelektual pria, sejarah tersebut menunjukkan perempuan boleh dan mampu menjadi perempuan, baik itu dalam hal agama maupun pemerintahan.
Sebagai jalan tengah, ditawarkan pemahaman bahwa kepemimpinan perempuan dapat dilakukan dalam urusan politik, organisasi maupun pemerintahan. Tidak ada pembedaan baik pria maupun wanita. Kelaikan menjadi pemimpin bukan sebab jenis kelamin, namun kompetensi dan kecakapan mereka. Namun dalam kasus perwalian, imam shalat, juga keluarga, perempuan tak dapat memimpin sebab ia ialah sesuatu yg telah ditetapkan syariat.Â
Jalan tengah tersebut tentu tak final bagi sebagian pihak. Bagaimana dgn fungsi perempuan kepala keluarga atau single parent? Benarkah dalam pembahasan tentang kepemimpinan tak ada stigma dan stereotip yg ditimpakan pada lelaki maupun perempuan? Diskusi ini jelas lebih rumit dan panjang dari sekadar diskusi fiqih dan akidah. Kepemimpinan perempuan di ranah publik, kiranya ialah gambaran kondisi sosial dan penerimaan masyarakat terhadap posisi dan peranan perempuan. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi, membidangi ilmu kedokteran dan pegiat kajian hadits.