Ketika Raja Harun ar-Rasyid Kalah dari Rakyatnya

Sebuah pelajaran penting dialami Raja Harun ar-Rasyid ketika ia menunaikan ibadah haji. Salah satu pemimpin Abbasyiyah pada abad ketujuh ini sempat dibuat jengkel oleh tingkah seorang pemuda kampung (A’rabi atau Badui). Pemuda berpenampilan sederhana dan lebih mirip dgn budak sahaya itu selalu mendahului Raja Harun ar-Rasyid. Padahal, sebelumnya sang raja telah memberikan peringatan bahwa selama ia melakukan ibadah haji, tak boleh ada seorang pun yg mendahuluinya.

 

Pengawal raja dgn sigap langsung melarang orang yg berpakaian sederhana itu, namun dgn tenang ia menjawab, bahwa Allah tak membedakan derajat seorang raja dan rakyat di tempat ini. Kemudian ia membacakan ayat Al-Qur’an yg berbunyi,

 

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلْنٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاۤءً ۨالْعَاكِفُ فِيْهِ وَالْبَادِۗ وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ

 

Artinya: “Sungguh, orang-orang kafir dan yg menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan dari Masjidil Haram yg telah Kami jadikan terbuka buat semua manusia, baik yg bermukim di sana maupun yg datang dari luar dan siapa saja yg bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya mau Kami rasakan kepadanya siksa yg pedih” (QS Al-Hajj [22]: 25).

 

Mendengar jawaban A’rabi, Raja Harun langsung melarang pengawalnya buat menghalanginya melakukan ibadah. Sang raja menyuruh pengawal buat membiarkannya beribadah sesuai dgn kemauannya sendiri, baik mendahului atau tidak.

 

Selanjutnya, Raja Harun hendak mengusap dan menyentuh Hajar Aswad, namun orang A’rabi yg tak dikenal itu mendahuluinya lagi. Sang raja hendak melakukan shalat di Hijir Ismail, namun lagi-lagi ia mendahului Raja. Dan benar saja, semua ibadah yg hendak dilakukan Raja Harun di dalam Ka’bah didahului olehnya.

 

Setelah Raja selesai melakukan shalat, ia menyuruh pengawalnya memanggil A’rabi buat menjawab beberapa pertanyaan yg mau diajukan oleh Raja. Sejatinya, Raja Harun penasaran mau sosok lelaki dgn pakaian sederhana itu. Akan tetapi, ketika pengawal memanggilnya, ia justru tak mau memenuhi panggilan raja, bahkan ia menyuruh pengawalnya buat memanggil rajanya. Sebab, analogi sang A’rabi, orang yg butuh seharusnya mendatangi bukan malah didatangi.

 

Lagi-lagi Raja Harun harus tunduk di bawah aturan rakyatnya sendiri. Setelah raja mendatanginya, ia mengatakan, “Wahai A’rabi, saya hendak menanyakan perihal kefardhuan kepadamu. Jika engkau dapat menjawab maka engkau orang yg hebat. Namun bila tidak, engkau orang yg lemah mau pengetahuan.”

 

Sebelum A’rabi menjawab, ia justru menanyakan kepadanya, “Engkau bertanya perihal fardhu yg mana? Fardhu satu, lima, tujuh belas, tiga puluh empat, sembilan puluh empat, atau satu fardhu seumur hidup, atau satu fardhu dari dua belas, satu fardhu dari empat puluh atau lima fardhu dari dua ratus?”

 

Mendengar pertanyaan A’rabi, Raja Harun dan semua pengawal ketika itu justru tertawa berbahak-bahak. Menurutnya, ia hanyalah omong kosong sebab tak dapat menjawab pertanyaannya. Setelah itu, Raja mengancamnya apabila tak dapat mempertanggungjawabkan pertanyaan yg ia ajukan.

 

Dengan tenang A’rabi menjawab, “Wahai Harun (tanpa menyebutkan raja), yg dimaksud pertanyaan saya di atas, yg saya kehendaki dgn satu fardhu ialah agama Islam, lima fardhu ialah shalat lima waktu, tujuh belas ialah rakaat shalat fardhu, tiga puluh empat ialah sujud dalam shalat fardhu, sembilan puluh empat ialah takbir, tahmid, tasmi’, tasbih, permohonan ampunan dalam shalat (mengikuti pendapat ulama yg mengatakan bahwa takbir bagian dari rukun, seperti Imam Ahmad), yg dimaksud satu fardhu seumur hidup ialah haji, satu dari dua belas ialah bulan Ramadhan, satu dari empat puluh ialah zakat emas dan perak dari empat puluh dinar, lima dari dua ratus ialah lima dirham emas dari dua ratus dirham.”

 

Mendengar jawabannya yg begitu detail dan terperinci, Raja Harun bersimpuh malu di hadapannya, kemudian mempersilakan A’rabi buat bertanya kepadanya.

 

A’rabi kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu perihal laki-laki yg haram melihat wanita di waktu Dhuhur, ketika waktu Ashar halal melihatnya, dan haram kembali ketika waktu Maghrib, halal ketika waktu Isya’, namun haram ketika waktu Subuh dan kembali halal di waktu Dhuhur?”

 

Pertanyaan yg disampaikan A’rabi kepada Raja Harun ternyata membuatnya sadar, bahwa ia tak memiliki pengetahuan sedikit pun di hadapannya. Dan benar saja, sang raja sama sekali tak mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut.

 

Sang A’rabi kemudian menasihati Raja Harun disebabkan ketidaktahuan jawaban atas pertanyaan yg disampaikannya, “Engkau ialah seorang raja, tak sepatutnya tak dapat menjawab suatu permasalahan, apalagi pertanyaan orang desa yg tak memiliki kuasa apa pun, dan pertanyaannya sangat gampang.”

 

Raja Harun kemudian mengatakan, “Semoga Allah meninggikan derajatmu dalam ilmu pengetahuan. Saya memohon buat berkenan menjelaskan pertanyaan tersebut.”

 

Sebelum A’rabi menjawab dan menjelaskan pertanyaan yg disampaikan pada raja, terlebih dahulu ia bersedia dgn syarat Raja Harun mau bersikap penyayg kepada fakir miskin, tak menghina mereka, dan mengasihi orang tua. Alhasil, Raja Harun bersedia dgn syarat tersebut. Kemudian sang A’rabi menjelaskan,

 

“Lelaki tersebut haram melihat wanita yg bukan mahram pada waktu Dhuhur. Ketika waktu Ashar masuk, ia menikahinya sehingga halal buat melihatnya. Namun, ketika memasuki waktu Maghrib, ia manalaknya sehingga haram buat melihatnya. Memasuki waktu Maghrib ia merujuknya, tentu halal kembali baginya, ketika waktu Subuh masuk ia melakukan talak dhihar kepadanya, dan haram kembali, namun ketika memasuki waktu Dzuhur, lelaki tersebut membayar kafarat (denda) talak dhihar, sehingga kembali halal buat melihatnya.”

 

 

Mendengar penjelasannya yg sangat jelas dan memahamkan, Raja Harun tentu merasa berguru dan sangat berutang budi kepada A’rabi. Sebagai ungkapan terima kasih, ia hendak memberikan pembantu yg mau melayaninya seumur hidup, ditambah dgn harta yg sangat banyak. Akan tetapi dgn kezuhudan dan ketakwaannya, ia menolak semua pemberian tersebut, dan menyuruh buat memberikan kepada fakir miskin saja.

 

Melihat kealiman dan ketakwaannya yg sangat tinggi, tentu membuat Raja Harun penasaran perihal siapa sosok yg dia ajak bicara sebenarnya, dgn penuh hormat sang raja menanyakan keluarga A’rabi dan tanah kelahirannya.

 

Ternyata, lelaki yg berpenampilan seperti budak sahaya, jauh dari kata sempurna itu, ialah Sayyid Musa ar-Radhi bin Sayyid Ja’far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali suami Sayyidah Fatimah Az-Zahrah binti Rasulillah saw.

 

Spontan Raja Harun langsung memeluk dan mencium tangannya. Ia tak sadar bahwa di hadapannya merupakan cucu Rasulullah yg berpenampilan layaknya budak sahaya sebab tak terlena dgn gemerlapnya dunia.

 

Kisah ini dicatat oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani dalam salah satu kitab karangannya yg berjudul, “Bahjatul Wasa-il bi Syarhil Masa-il alar Risalah al-Jami’ah” halaman 4-5.

 

Kisah ini memberikan sebuah pelajaran bahwa tak ada salahnya seorang rakyat mematahkan argumentasi rajanya, sepanjang argumentasi yg disampaikan sesuai dgn undang-undang, tak anarkis, dan sesuai dgn aturan. Sebab, kebenaran bukanlah monopoli orang-orang atas dan kesalahan bukan monopoli orang bawah.

 

 

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.


 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Ketika Raja Harun ar-Rasyid Kalah dari Rakyatnya

Sebuah pelajaran penting dialami Raja Harun ar-Rasyid ketika ia menunaikan ibadah haji. Salah satu pemimpin Abbasyiyah pada abad ketujuh ini sempat dibuat jengkel oleh tingkah seorang pemuda kampung (A’rabi atau Badui). Pemuda berpenampilan sederhana dan lebih mirip dgn budak sahaya itu selalu mendahului Raja Harun ar-Rasyid. Padahal, sebelumnya sang raja telah memberikan peringatan bahwa selama ia melakukan ibadah haji, tak boleh ada seorang pun yg mendahuluinya.

 

Pengawal raja dgn sigap langsung melarang orang yg berpakaian sederhana itu, namun dgn tenang ia menjawab, bahwa Allah tak membedakan derajat seorang raja dan rakyat di tempat ini. Kemudian ia membacakan ayat Al-Qur’an yg berbunyi,

 

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلْنٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاۤءً ۨالْعَاكِفُ فِيْهِ وَالْبَادِۗ وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ

 

Artinya: “Sungguh, orang-orang kafir dan yg menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan dari Masjidil Haram yg telah Kami jadikan terbuka buat semua manusia, baik yg bermukim di sana maupun yg datang dari luar dan siapa saja yg bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya mau Kami rasakan kepadanya siksa yg pedih” (QS Al-Hajj [22]: 25).

 

Mendengar jawaban A’rabi, Raja Harun langsung melarang pengawalnya buat menghalanginya melakukan ibadah. Sang raja menyuruh pengawal buat membiarkannya beribadah sesuai dgn kemauannya sendiri, baik mendahului atau tak.

 

Selanjutnya, Raja Harun hendak mengusap dan menyentuh Hajar Aswad, namun orang A’rabi yg tak dikenal itu mendahuluinya lagi. Sang raja hendak melakukan shalat di Hijir Ismail, namun lagi-lagi ia mendahului Raja. Dan benar saja, semua ibadah yg hendak dilakukan Raja Harun di dalam Ka’bah didahului olehnya.

 

Setelah Raja selesai melakukan shalat, ia menyuruh pengawalnya memanggil A’rabi buat menjawab beberapa pertanyaan yg mau diajukan oleh Raja. Sejatinya, Raja Harun penasaran mau sosok lelaki dgn pakaian sederhana itu. Akan tetapi, ketika pengawal memanggilnya, ia justru tak mau memenuhi panggilan raja, bahkan ia menyuruh pengawalnya buat memanggil rajanya. Sebab, analogi sang A’rabi, orang yg butuh seharusnya mendatangi bukan malah didatangi.

 

Lagi-lagi Raja Harun harus tunduk di bawah aturan rakyatnya sendiri. Setelah raja mendatanginya, ia mengatakan, “Wahai A’rabi, saya hendak menanyakan perihal kefardhuan kepadamu. Jika engkau dapat menjawab maka engkau orang yg hebat. Namun bila tak, engkau orang yg lemah mau pengetahuan.”

 

Sebelum A’rabi menjawab, ia justru menanyakan kepadanya, “Engkau bertanya perihal fardhu yg mana? Fardhu satu, lima, tujuh belas, tiga puluh empat, sembilan puluh empat, atau satu fardhu seumur hidup, atau satu fardhu dari dua belas, satu fardhu dari empat puluh atau lima fardhu dari dua ratus?”

 

Mendengar pertanyaan A’rabi, Raja Harun dan semua pengawal saat itu justru tertawa berbahak-bahak. Menurutnya, ia hanyalah omong kosong sebab tak dapat menjawab pertanyaannya. Setelah itu, Raja mengancamnya apabila tak dapat mempertanggungjawabkan pertanyaan yg ia ajukan.

 

Dengan tenang A’rabi menjawab, “Wahai Harun (tanpa menyebutkan raja), yg dimaksud pertanyaan saya di atas, yg saya kehendaki dgn satu fardhu ialah agama Islam, lima fardhu ialah shalat lima waktu, tujuh belas ialah rakaat shalat fardhu, tiga puluh empat ialah sujud dalam shalat fardhu, sembilan puluh empat ialah takbir, tahmid, tasmi’, tasbih, permohonan ampunan dalam shalat (mengikuti pendapat ulama yg mengatakan bahwa takbir bagian dari rukun, seperti Imam Ahmad), yg dimaksud satu fardhu seumur hidup ialah haji, satu dari dua belas ialah bulan Ramadhan, satu dari empat puluh ialah zakat emas dan perak dari empat puluh dinar, lima dari dua ratus ialah lima dirham emas dari dua ratus dirham.”

 

Mendengar jawabannya yg begitu detail dan terperinci, Raja Harun bersimpuh malu di hadapannya, kemudian mempersilakan A’rabi buat bertanya kepadanya.

 

A’rabi kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu perihal laki-laki yg haram melihat wanita di waktu Dhuhur, ketika waktu Ashar halal melihatnya, dan haram kembali ketika waktu Maghrib, halal ketika waktu Isya’, namun haram ketika waktu Subuh dan kembali halal di waktu Dhuhur?”

 

Pertanyaan yg disampaikan A’rabi kepada Raja Harun ternyata membuatnya sadar, bahwa ia tak memiliki pengetahuan sedikit pun di hadapannya. Dan benar saja, sang raja sama sekali tak mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut.

 

Sang A’rabi kemudian menasihati Raja Harun disebabkan ketaktahuan jawaban atas pertanyaan yg disampaikannya, “Engkau ialah seorang raja, tak sepatutnya tak dapat menjawab suatu permasalahan, apalagi pertanyaan orang desa yg tak memiliki kuasa apa pun, dan pertanyaannya sangat gampang.”

 

Raja Harun kemudian mengatakan, “Semoga Allah meninggikan derajatmu dalam ilmu pengetahuan. Saya memohon buat berkenan menjelaskan pertanyaan tersebut.”

 

Sebelum A’rabi menjawab dan menjelaskan pertanyaan yg disampaikan pada raja, terlebih dahulu ia bersedia dgn syarat Raja Harun mau bersikap penyayg kepada fakir miskin, tak menghina mereka, dan mengasihi orang tua. Alhasil, Raja Harun bersedia dgn syarat tersebut. Kemudian sang A’rabi menjelaskan,

 

“Lelaki tersebut haram melihat wanita yg bukan mahram pada waktu Dhuhur. Ketika waktu Ashar masuk, ia menikahinya sehingga halal buat melihatnya. Namun, ketika memasuki waktu Maghrib, ia manalaknya sehingga haram buat melihatnya. Memasuki waktu Maghrib ia merujuknya, tentu halal kembali baginya, ketika waktu Subuh masuk ia melakukan talak dhihar kepadanya, dan haram kembali, namun ketika memasuki waktu Dzuhur, lelaki tersebut membayar kafarat (denda) talak dhihar, sehingga kembali halal buat melihatnya.”

 

Baca juga: 
• Penjelasan Umum tentang Kafarat, Fidyah, dan Dam (1) ​​​​​​​
•​​​​​​​ Penjelasan Umum tentang Kafarat, Fidyah, dan Dam (2)

 

Mendengar penjelasannya yg sangat jelas dan memahamkan, Raja Harun tentu merasa berguru dan sangat berutang budi kepada A’rabi. Sebagai ungkapan terima kasih, ia hendak memberikan pembantu yg mau melayaninya seumur hidup, ditambah dgn harta yg sangat banyak. Akan tetapi dgn kezuhudan dan ketakwaannya, ia menolak semua pemberian tersebut, dan menyuruh buat memberikan kepada fakir miskin saja.

 

Melihat kealiman dan ketakwaannya yg sangat tinggi, tentu membuat Raja Harun penasaran perihal siapa sosok yg dia ajak bicara sebenarnya, dgn penuh hormat sang raja menanyakan keluarga A’rabi dan tanah kelahirannya.

 

Ternyata, lelaki yg berpenampilan seperti budak sahaya, jauh dari kata sempurna itu, ialah Sayyid Musa ar-Radhi bin Sayyid Ja’far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali suami Sayyidah Fatimah Az-Zahrah binti Rasulillah saw.

 

Spontan Raja Harun langsung memeluk dan mencium tangannya. Ia tak sadar bahwa di hadapannya merupakan cucu Rasulullah yg berpenampilan layaknya budak sahaya sebab tak terlena dgn gemerlapnya dunia.

 

Kisah ini dicatat oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani dalam salah satu kitab karangannya yg berjudul, “Bahjatul Wasa-il bi Syarhil Masa-il alar Risalah al-Jami’ah” halaman 4-5.

 

Kisah ini memberikan sebuah pelajaran bahwa tak ada salahnya seorang rakyat mematahkan argumentasi rajanya, sepanjang argumentasi yg disampaikan sesuai dgn undang-undang, tak anarkis, dan sesuai dgn aturan. Sebab, kebenaran bukanlah monopoli orang-orang atas dan kesalahan bukan monopoli orang bawah.

 

 

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.


 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.