Naskah khutbah Jumat kali ini menjelaskan tentang hubungan umat Muslim dan non-Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Naskah khutbah ini menegaskan kepada kita semua bahwa perbedaan status agama bukan menjadi hambatan buat terjalinnya keharmonisan dalam interaksi sosial.
Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul ” Khutbah Jumat: Hubungan Muslim dan Non-Muslim”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)
Khutbah I
اَلْØَمْد٠لله٠وَالصَّلَاة٠وَالسَّلَام٠عَلَى سَيÙّدَنَا Ù…ÙØَمَّد٠رَسÙول٠اللَّه٠وَعَلَى آلÙه٠وَصَØْبÙه٠وَمَنْ وَالَاه. أَشْهَد٠أَنْ لَّا Ø¥Ùلهَ Ø¥Ùلَّا الله٠وَØْدَه٠لَا شَرÙيْكَ لَه٠وَأَشْهَد٠أَنَّ سَيÙّدَنَا Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الَّذÙيْ لَانَبÙيّ بعدَهÙ. أَمَّا بَعْد٠ÙَإنÙّي Ø£ÙوْصÙيْكÙمْ ÙˆÙŽÙ†ÙŽÙْسÙÙŠ بÙتَقْوَى الله٠الْقَائÙÙ„Ù ÙÙÙŠ ÙƒÙتَابÙه٠الْقÙرْآنÙ. يَا أَيّÙهَا الَّذÙينَ آمَنÙوا اتَّقÙوا اللَّهَ Øَقَّ تÙقَاتÙه٠وَلَا تَمÙوتÙنَّ Ø¥Ùلَّا وَأَنْتÙمْ Ù…ÙسْلÙÙ…Ùونَ. وَقَالَ اÙذَا جَاءَكَ الْمÙنٰÙÙÙ‚Ùوْنَ قَالÙوْا نَشْهَد٠اÙنَّكَ لَرَسÙوْل٠اللّٰه٠ۘوَاللّٰه٠يَعْلَم٠اÙنَّكَ لَرَسÙوْلÙهٗ ۗوَاللّٰه٠يَشْهَد٠اÙنَّ الْمÙنٰÙÙÙ‚Ùيْنَ لَكٰذÙبÙوْنَۚ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Pada hari yg mulia ini, khatib menyeru kepada jamaah sekalian buat senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dgn semaksimal mungkin, takwa dalam artian menjauhi segala larangan yg ditetapkan Allah subhânahu wa ta’âla dan menjalankan perintah-Nya. Karena dgn ketakwaan, setiap persoalan hidup yg kita alami mau ada jalan keluarnya dan mau ada pula rezeki yg datang kepada kita tanpa disangka-sangka.
Jama’ah shalat Jumat yg dimuliakan Allah
Dalam berinteraksi sosial, pada dasarnya agama Islam tak pilah-pilih dgn siapa kita bergaul, termasuk dgn orang yg berbeda agama atau non-Muslim sekalipun. Islam hadir sebagai agama yg membawa perdamaian, keharmonisan, dan kasih sayg buat semesta alam. Dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 107, Allah swt berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ Ø¥Ùلَّا رَØۡمَةٗ لّÙلۡعَٰلَمÙينَ Â
Artinya: “Dan tiialah Kami mengutus kamu, melainkan buat (menjadi) rahmat bagi semesta alam.â€
Menafsiri ayat di atas, Imam Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, menurut Ibnu ‘Abbas, kasih sayg Nabi Muhammad SAW itu berlaku bagi semua manusia. Baik buat mererka yg telah mengimani ajaran Islam ataupun yg belum. Bagi mereka yg beriman, mau memperoleh rahmat tersebut di dunia dan akhirat. Sementara bagi mereka yg belum beriman, hanya memperoleh rahmat di dunia. Soal urusan balasan mererka yg tak beriman, itu urusan Allah di akhirat.
Mencermati penafsiran ini, jelas bahwa dalam kehidupan bersosial di dunia, kita tak boleh membeda-bedakan orang lain sebab status agamanya. Berbuat baiklah kepada siapa saja. Soal mereka yg berbeda keyakinan, bukan hak kita buat menomorduakan atau bahkan memusuhinya.
Mempertegas ayat di atas, dikisahkan bahwa suatu ketika RasulullahSAW dimintai oleh seseorang supaya beliau mau mandoakan orang-orang Musyrik supaya ditimpa musibah. Merespons permintaan itu, Rasulullah dgn bijak bersabda:
Ø¥ÙنّÙÙŠ لَمْ Ø£Ùبْعَثْ لَعَّانًا ÙˆÙŽØ¥Ùنَّمَا بÙعÙثْت٠رَØْمَةً
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus bukan buat menjadi pelaknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat.†(HR Muslim)
Dalam catatan sejarah dakwah Islam, metode yg digunakan Rasulullah SAW buat mengajak orang-orang yg belum beriman pun tak pernah lepas dari prinsip-prinsip kelembutan. Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159, Allah SWT berfirman,
ÙَبÙمَا رَØۡمَةٖ مّÙÙ†ÙŽ ٱللَّه٠لÙنتَ Ù„ÙŽÙ‡ÙÙ…Û¡Û– ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙˆÛ¡ ÙƒÙنتَ Ùَظًّا غَلÙيظَ ٱلۡقَلۡب٠لَٱنÙَضّÙواْ Ù…ÙÙ†Û¡ ØÙŽÙˆÛ¡Ù„ÙÙƒÙŽÛ– ÙَٱعۡÙ٠عَنۡهÙÙ…Û¡ وَٱسۡتَغۡÙÙرۡ Ù„ÙŽÙ‡ÙÙ…Û¡ وَشَاوÙرۡهÙÙ…Û¡ ÙÙÙŠ ٱلۡأَمۡرÙÛ– ÙÙŽØ¥Ùذَا عَزَمۡتَ Ùَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهÙÛš Ø¥Ùنَّ ٱللَّهَ ÙŠÙØÙبّ٠ٱلۡمÙتَوَكّÙÙ„Ùينَ Â
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dgn mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yg bertawakkal kepada-Nya.â€Â
Secara jelas, ayat di atas berpesan kepada Nabi Muhammad SAW buat selalu bersikap lembut terhadap umatnya. Jika saja tak demikian, bersikap keras dan kasar, dapat jadi justru dijauhi oleh kaumnya. Selevel Nabi saja masih harus mengedepankan rasa belas kasih dalam berinteraksi dgn non-Muslim. Bagaimana dgn kita?
Terkait ayat di atas, Syekh Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaksan, tujuan diutusnya rasul  ialah buat menyampaikan ajaran-ajaran Allah pada sekalian manusia. Misi ini hanya dapat sukses bila manusia itu luluh hatinya dan merasa nyaman. Sementara hal ini dapat dicapai bila rasul itu memiliki kasih sayg yg mulia, mau memaafkan mereka yg bersalah dan menasihati menghadapi memreka dgn cara yg elegan dan penuh kasih sayg.
Â
Hadirin jamaah shalat Jumat yg dimuliakan Allah
Islam sebagai agama penebar kasih sayg, rasanya kontras sekali bila kita masih melakukan tindak aniaya sesama manusia, kendatipun berbeda agama. Dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW, pernah terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah oleh umat Muslim. Persitiwa ini menjadi salah satu cermin sikap lemah lembut kepada non-Muslim. Kendati sebelumnya mereka sering menganiaya umat Islam.
Dikisahkan, saat pasukan Muslim berhasil menduduki kota Makkah, para penduduk Makkah yg masih belum memeluk agama Islam sangat khawatir. Bagaimana tak, saat fase dakwah Rasulullah SAW di Mekah selama 13 tahun, berbagai tindak keji telah mereka lakukan. Bahkan mereka pernah memblokade Rasulullah hingga menderita kelaparan dan memakan tumbuhan yg dapat dimakan.
Mereka juga pernah menganiaya umat Muslim dgn dgn sangat kejam. Bahkan tak sedikit yg sampai meregang nyawa. Rasulullah sendiri beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan.
Mengingat sederet kekejaman mereka tempo dulu, membuat ketakutan dan kecemasan berguncang dalam hatiorang-orang kafir Quraisy Makkah. Jangan-jangan umat Muslim mau menuntut balas dendam. Namun, apa yg Rasulullah perbuat. Beliau membebaskan mereka dan memaafkan begitu saja kesalahan-kesalahan tempo dulu.
Â
Dalam sebuah riwayat juga pernah dikisahkan tentang seorang perempuan Yahudi yg membawa daging kambing beracun buat dihidangkan kepada Rasulullah. Beruntung, Rasulullah mengetahui kandungan racun di dalamnya sebelum sempat beliau makan.
Para sahabat yg melihat peristiwa itu lantas naik pitam dan hampir saja membunuh si perempuan Yahudi. Namun Rasullullah SAW mencegah para sahabat dan memaafkan perempuan tadi.
Secara tegas, al-Qur’an memerintahkan buat tetap berbuat baik tanpa memandang status agama. Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Al-Mumtahanah ayat 8:
لَّا يَنۡهَىٰكÙم٠ٱللَّه٠عَن٠ٱلَّذÙينَ Ù„ÙŽÙ…Û¡ ÙŠÙقَٰتÙÙ„ÙوكÙÙ…Û¡ ÙÙÙŠ ٱلدّÙين٠وَلَمۡ ÙŠÙخۡرÙجÙوكÙÙ… مّÙÙ† دÙيَٰرÙÙƒÙÙ…Û¡ Ø£ÙŽÙ† تَبَرّÙوهÙÙ…Û¡ وَتÙقۡسÙØ·Ùوٓاْ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙŠÛ¡Ù‡ÙÙ…Û¡Ûš Ø¥Ùنَّ ٱللَّهَ ÙŠÙØÙبّ٠ٱلۡمÙقۡسÙØ·Ùينَ Â
Artinya:“Allah tak melarang kamu buat berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yg tiada memerangimu sebab agama dan tak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yg berlaku adil.â€
Menurut Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya menegaskan, ayat ini memerintahkan umat Muslim buat tetap berbuat baik serta berlaku adil pada siapapun, tanpa memandang apa agama mereka. Sekalipun mereka ialah seorang musuh, tetap kita bersikap bijak. Berikut At-Tbahari mengungkapkan:
Ù„ÙÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù…Ùنْ أَخْلَاقÙÙƒÙمْ وَصÙÙَاتÙÙƒÙم٠الْقÙيَام٠لÙلَّهÙ, Ø´Ùهَدَاءَ بÙالْعَدْل٠ÙÙÙŠ أَوْلÙيَائÙÙƒÙمْ وَأَعْدَائÙÙƒÙمْ, وَلَا تَجÙورÙوا ÙÙÙŠ Ø£ÙŽØْكَامÙÙƒÙمْ ÙˆÙŽØ£ÙŽÙْعَالÙÙƒÙمْ, ÙَتÙجَاوÙزÙوا مَا Øَدَّدْت٠لَكÙمْ ÙÙÙŠ أَعْدَائÙÙƒÙمْ Ù„ÙعَدَاوَتÙÙ‡Ùمْ Ù„ÙŽÙƒÙمْ
Artinya: “Sudah seyogyanya akhlak dan budi kalian sesuai dgn batasan yg telah Allah gariskan, yaitu dgn berbuat adil, baik terhadap golongan yg sepaham ataupun tak. Janganlah berbuat lalim dalam mengambil keputusan dan bertindak. Jika demikian, rasa kesal terhadap kelompok yg tak sepaham mau menyebabkan kalian bertindak tak etis.â€
Khutbah II
الْØَمْد٠لÙلَّه٠وَ الْØَمْد٠لÙلَّه٠ ثÙمَّ الْØَمْد٠لÙلَّهÙ. أَشْهَد٠أنْ لآ إلَهَ Ø¥Ùلَّا الله٠وَØْدَه٠لَا شَرÙيكَ Ù„ÙŽÙ‡ÙØŒ وَأَشْهَد٠أنَّ سَيÙّدَنَا Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الَّذÙيْ لَا نَبÙيّ بعدَهÙ. اَللَّهÙÙ…ÙŽÙ‘ صَلÙÙ‘ وَسَلÙّمْ عَلَى نَبÙÙŠÙّنَا Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى Ø£ÙŽÙ„Ùه٠وَأَصْØَابÙه٠وَمَنْ تَبÙعَهÙمْ بÙØ¥ÙØْسَان٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْم٠القÙيَامَةÙ. أَمَّا بَعْد٠ Ùَيَا أَيّÙهَا النَّاس٠أÙوْصÙيْكÙمْ ÙˆÙŽÙ†ÙŽÙْسÙيْ بÙتَقْوَى الله٠Ùَقَدْ Ùَازَ الْمÙتَّقÙوْنَ
Ùَقَالَ الله٠تَعَالَى: Ø¥Ùنَّ اللهَ وَمَلَائÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلَى النَّبÙيّÙØŒ يٰأَ يّÙهَا الَّذÙيْنَ أٰمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَ سَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اَللَّهÙÙ…ÙŽÙ‘ صَلÙÙ‘ عَلَى سَيÙّدَنَا Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى أَل٠سَيÙّدَنَا Ù…ÙØَمَّدÙ. اللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَاتÙØŒ اَلْأَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَاتÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ والقÙرÙوْنَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتَن٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا Ø¥ÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ  اللَّهÙمَّ أَرÙنَا الْØَقَّ Øَقًّا وَارْزÙقْنَا اتّÙبَاعَه٠وَأَرÙنَا الْبَاطÙÙ„ÙŽ بَاطÙلًا وَارْزÙقْنَا اجْتÙنَابَهÙ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ
وَاَلْØَمْد٠لÙلّٰه٠رَبّ٠الْعٰلَمÙيْنَ عÙبَادَاللهÙØŒ Ø¥Ùنَّ اللهَ يَأْمÙر٠بÙاْلعَدْل٠وَاْلإÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙŠ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي٠يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ، وَاذْكÙرÙوا اللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ، وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ، ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠أَكْبَرْ Â
Ustadz Mohammad Abror, pengajar pada Ma’had Ali As-Siddiqiyah