Kisah Mereka yg Berbaik Sangka kepada Allah

Bila masih menduga bahwa nasib ukhrawi kita; entah surga atau neraka, tergantung pada amal perbuatan, berarti kita masih terjebak dalam kepercayaan pada amal. Itu juga bermakna bahwa kita berada di tingkat spiritual yg tak tinggi. Porsi amal dan ibadah lahir kita semasa hidup, tak ubahnya bagai puluhan anak tangga yg dijalani setapak demi setapak. 

Adapun buat mencapai taman akhirat (surga) dibutuhkan melewati sekian puluh ribu anak tangga lagi, dan di situlah hak prerogatif Tuhan. Lalu, masihkah percaya bahwa surga dan neraka tergantung amal? Seharusnya tak lagi. Bahkan, baginda nabi sang insan paripurna pun dgn tegas mengatakan bahwa amalnya tak mampu menjamin keselamatan dirinya.

Hal itu, bukan sebab amal nabi hanya selebar daun kelor, tak begitu. Melainkan sedang mengajarkan umatnya bahwa seorang hamba tak boleh mengandalkan amalnya. Selain juga, supaya umatnya tak lancang mengambil alih hak prerogatif Tuhan dgn mengklaim surga-neraka berdasarkan amal mereka. Jelas kacau-balau kehidupan makhluk bumi bila kedua tempat abadi ini dapat diklaim sendiri.

Kemudian, bila ada yg heran dan bertanya, bukankah husnuzhzhan kepada Allah merupakan sebentuk ibadah? Lalu, mengapa bertebaran kisah-kisah orang selamat hanya dgn mengandalkan baik sangkanya kepada Allah? Apa gerangan di balik itu semua?    Jawabannya sederhana, sebab husnuzhzhan kepada-Nya sejatinya ialah lantunan doa, secuil permohonan sang hamba kepada Tuhannya. Dan, adakah yg salah dari mengandalkan doa? Alhasil, Allah menyelamatkan hamba tersebut tentu bukan sebab amalnya. Tetapi, sebab Dzat sang pengabul doa sedang mengabulkan doa hambanya. Dalam teori linguistik Arab, ini dikenal dgn khabariyah lafzh(an) wa insyaiyyah ma’n(an) (sebuah kalam yg menggunakan redaksi informatif, namun menyimpan makna tanya, perintah atau doa).

Syekh Ibnu Abid Dunya, dalam kitab Husnuzhzhan Billah banyak mengutip kisah-kisah orang yg baik nasib ukhrawinya lantaran berbaik sangka kepada Allah swt. Imam Muhammad Ibnu Sirin, salah satunya. Ia termasuk ulama yg difasilitasi dgn mewah di taman firdaus sana, sebab husnuzhzhan-nya yg teramat tinggi kepada Allah. Sampai-sampai, Ibnu ‘Aun menyampaikan pujian yg indah tentang Ibnu Sirin. Ia berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَأَعْظَمَ رَجَاءً لِهَذِهِ الأُمَّةِ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِرِيْن وَأَشَدَّ خَوْفًا عَلى نَفْسِهِ مِنْهُ

Artinya, “Saya tak pernah menjumpai seseorang yg teramat besar harapnya,sekaligus juga rasa takutnya ketimbang Muhammad Ibnu Sirin.” (Husnuzhzhan Billah karya Ibnu Abi ad-Dunya [hal. 31, poin ke-99])

Semukabalah dgn Ibnu Sirin, ialah Malik bin Dinar, seorang ulama abad kedua Hijriah-yg wafat bertepatan dgn tahun 748 M-yg gigih bertolak dari tanah kelahirannya di kota Kufah, menuju negeri India demi menyebarkan agama baginda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Konon, sepeninggal Imam Malik bin Dinar, seorang bernama Suhail-saudaranya Hazam al-Qith’i-bercerita bahwa ia pernah bertemu Malik bin Dinar dalam mimpinya. Di alam bawah sadarnya itu ia bertanya:

يَا أَبَا يَحْيَى لَيْتَ شِعْرِيْ مَاذَا قَدِمْتَ بِهِ عَلى عَزَّ وَجَلَّ؟ 

Artinya, “Wahai Abu Yahya (nama kunyah Malik bin Dinar), aku takjub luar biasa melihatmu dalam kondisi demikian berseri indah, apa yg telah kaupersiapkan menghadap Allah?”

Tanya Suhail dalam kondisi terpaku bengong keheranan. Lalu, imam Malik bin Dinar menjawab:

قَدِمْتُ بِذُنُوْبٍ كَثِيْرَةٍ مَحَاهَا عَنِّي حُسْنُ الظَّنِّ بِاللهِ

Artinya, “Aku datang membawa gelimang dosa yg tak sedikit. Namun, itu semua habis terbayar kontan oleh baik sangkaku kepada Allah.”(Husnuzhzhan Billah karya Ibnu Abi ad-Dunya [hal. 8, poin ke-7])

Tak habis pikir, bagaimana bila ganjaran berbaik sangka kepada Allah itu diperlihatkan, tak perlu lama, cukup sedetik saja atau bahkan kurang. Barang kali, sedetik pun bibir ini tak mau pernah berhenti semringah, atau mungkin mata ini mau terus menangis bahagia tanpa henti. Lantaran sebegitu tegas anjuran husnuzhzhan billah tersebut. Melalui sebuah Hadist riwayat sahabat Jabir, mungkin kita dapat rasakan sendiri bagaimana kegetolan nabi saat menganjurkan umatnya supaya berbaik sangka kepada Allah. Di sana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَمُوْتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ قَوْمًا قَدْ أَرْدَاهُمْ سُوْءُ ظِنِّهِمْ بِاللهِ. فَقَالَ لَهُمْ: وَذَالِكُمْ ظَنَّكُمْ الَّذِيْ ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

Artinya, “Jangan pernah rela maut meregang nyawamu kecuali kau telah berbaik sangka kepada Allah ‘azza wa jalla, mengingat, ada satu kaum yg telah diluluhlantakkan-Nya sebab prasangka buruk mereka kepada Tuhannya. Kemudian, nabi membacakan surah Fusshilat ayat 23 berikut-yg artinya-‘Dan, itulah dugaanmu yg telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu, dugaan itu telah membinasakanmu, sehingga jadilah kamu termasuk orang yg rugi’.” (kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal [juz 32, hal. 373 dalam hadist ke-15197]).

Jelas ‘bukan main’, kala Allah mengancam hamba-Nya yg berprasangka buruk terhadap-Nya dgn ancaman-ancaman yg tak sepele.

Dahulu, ada seorang bernama Zaid. Suatu ketika, ia berkisah bahwa dirinya pernah bermimpi bertemu Hausyab, sahabatnya yg telah lebih dahulu bertemu Mungkar-Nakir itu di saat ia hanya sebatas mengenal namanya. Dalam mimpi tersebut, si Zaid sempat bertanya bagaimana nian kabar sahabatnya selama ini. ‘Hidupku kini penuh kesuksesan dan keberuntungan’, jawab Hausyab singkat diikuti senyumnya yg lebar. Karena terkesima dgn keberuntungan Abu Bisyr-nama kunyah Hausyab-ia pun sepontan meminta nasehat supaya dapat mendapatkan keberuntungan serupa. Kemudian, Hausyab berpesan:

عَلَيْكَ بِمَجَالِسِ الذِّكْرِ وَحُسْنِ الظَّنِّ بِمَوْلَاكَ فَكَفَى بِهِمَا خَيْرًا

Artinya, “Kamu tak boleh lepas dari majelis zikir (baik zikir hati maupun pengetahuan) dan berbaik sangka kepada Allah, cukuplah dua hal itu buat keberuntungan juga kesuksesanmu.”(Husnuzhzhan Billah karya Ibnu Abi ad-Dunya [hal. 8, poin ke-8])

Lalu, Abu Bisyr pun berlalu, hilang ditelan cahaya.

Terakhir, saya mau menutup tulisan ini dgn gubahan syair Abu ‘Imran as-Sulami yg dikutip Ibnu Abi ad-Dunya dalam Husnuzhzhan Billah-nya (hal. 34, poin ke-114). Waktu itu, kebetulan sedang mendendangkannya kepada Abu Ali al-Husein bin Abdirrahman. Berikut liriknya:

وَإِنِّي لَآتِي الذَّنْبَ أَعْرِفُ قَدْرَهُ # وَأَعْلَمُ أَنَّ اللهَ يَعْفُوْ وَيَغْفِرُ

لَئِنْ عَظَّمَ النَّاسُ الذُّنُوْبَ فَإِنَّهَا # وَإِنْ عَظُمَتْ فِي رَحْمَةِ اللهِ تَصْغُرُ

Artinya, “Sungguh, diriku kian kemari selalu mengukir dosa yg terus kuhitung banyaknya # Tetapi, aku sangat yakin, sebanyak apapun itu Allah pasti maafkan dan ampuni.”

“Bahkan, bila pun manusia terus menambah durhakanya detik demi detik, tanpa henti # tetaplah hanya secuil di hadapan kasih sayg-Nya yg hangat bagai mentari.” Semoga bermanfaat.

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.