Setelah Nabi Muhammad wafat, ajaran beliau ditulis dan dikumpulkan oleh generasi selanjutnya dalam shahifah para sahabat dan tabi’in. Pencatatan hadits Nabi telah dimulai sejak masa para sahabat.
Pada generasi tabi’in maupun tabi’it tabi’in mulai juga disusun jenis kitab mushannaf berdasarkan topik-topik tertentu. Himpunan-himpunan hadits tersebut kerap menyertakan catatan dari para penulisnya sesuai dgn kebutuhan topik atau situasi saat ditulis.
Karena masa yg tak terlampau jauh dgn hidup Nabi, jenis kitab hadits shahifah atau mushannaf biasa tak mencantumkan sanad secara lengkap, dan jumlah hadits yg dimuat juga terbatas sesuai domisili para penyusunnya. Hal ini menjadikan hadits yg disusun tak banyak, serta sanadnya ditulis tak lengkap.
Ajaran Islam menyebar ke berbagai negeri, kebutuhan masyarakat kian beragam, membuat para ulama yg mulanya menyusun kitab atau himpunan hadits dalam skup lokal, perlu menelusuri hadits-hadits yg lebih banyak sebagai dasar berislam.
Hadits-hadits dalam kitab generasi awal yg ditulis tanpa sanad atau tak terlalu lengkap sanadnya–misalnya, melompat dari perawi tingkat tabi’it tabi’in langsung ke sahabat, menjadi masalah. Pasalnya, tak semua pelajar hadits mengenal sanad secara lengkap. Hal ini menjadi perhatian serius utamanya kalangan ahlul hadits.
Akibat dorongan memperkuat sistem sanad dalam hukum Islam ini, mendesak dibutuhkan kitab hadits yg menyertakan sanad lengkap. Dari latar belakang demikian kitab musnad lahir guna meneguhkan posisi hadits berikut sanadnya sebagai sumber hukum Islam. Melalui pencantuman sanad, ajaran Islam dapat dilacak otentisitasnya hingga Nabi Muhammad SAW.Â
Kitab hadits musnad ialah kitab hadits yg menghimpun hadits beserta sanadnya dari tingkat sahabat. Selain menjauhkan peluang pemalsuan hadits, pencantuman sanad juga digunakan buat melacak periwayatan hadits.Â
Salah satu pendorong usaha penulisan kitab hadits disertai sanad yg lengkap ialah Imam As-Syafi’i, imam mazhab yg nantinya disebut sebagai nashirus sunnah (penyelamat sunnah) berkat kontribusi beliau atas perkembangan ilmu hadits.
Salah satu kitab musnad paling awal ialah musnad yg dihimpun Imam Abu Dawud At-Thayalisi (wafat 204 H), yg semasa dgn Imam As-Syafi’i.Â
Banyak sekali kitab-kitab musnad yg disusun oleh para ulama. Beberapa dapat kita sebut seperti Kitab Musnad Al-Humaidi, Musnad Al-Bazzar, atau dari kalangan murid Imam Abu Hanifah, ada Musnad Abu Ya’la Al-Mawshili, dan masih banyak lainnya.
Di kalangan masyarakat muslim, kitab musnad yg paling populer ialah Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, yg disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal, salah seorang imam mazhab yg juga merupakan salah satu murid Imam As-Syafii.
Ada beberapa variasi penyusunan musnad. Namun yg paling menonjol dari musnad ialah pencatatan riwayat hadits dgn menggunakan bab berdasarkan sanad dari salah satu sahabat. Demikian berlanjut dalam setiap bab. Dalam musnad, pengulangan hadits dari sanad lain kerap terjadi. Menurut ulama ahlul hadits, banyaknya hadits dari sanad lain mau saling menguatkan kualitasnya. Pembahasan soal itu dapat diperdalam dalam kajian syawahid dan mutaba’at dalam hadits.
Beberapa kritik yg muncul terhadap musnad ialah ada hadits-hadits yg dianggap memiliki kekurangan yg umumnya berupa cacat (‘illat) baik dalam sanad maupun matan yg sama, diriwayatkan oleh perawi yg berbeda. Polemik semacam ini nanti ditelusuri dalam bahasan ikhtilaful hadits atau hadits-hadits yg bertentangan.Â
Namun dgn meninjau latar belakang sejarah kemunculan jenis kitab musnad di atas, pencantuman hadits dgn sanad salah satunya buat mengurangi arus pemalsuan hadits serta menguatkan kualitas hadits yg dihimpun, meskipun nanti mau disempurnakan oleh jenis kitab shahih atau sunan.
Berkat model kitab musnad inilah, model periwayatan hadits dgn sanadnya menjadi sebuah tren dan model periwayatan hadits buat memastikan sebuah hadits benar dari Nabi atau tak. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi, pegiat kajian hadits dan alumnus Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah