Judul ini terinspirasi dari definisi komoditi dalam UU Nomor 10 Tahun 2011. Undang-undang itu menyatakan, bahwa “komoditi ialah semua barang, jasa, hak dan kepentingan lainnya dan setiap derivatif dari komoditi yg dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka , kontrak derivatif syariah, dan atau kontrak derivatif lainnya.â€
Â
Tidak dipungkiri bahwa hak merupakan yg diakui sebagai bagian dari harta. Secara fiqih, right ini merupakan cabang dari harta berjamin (syaiun mausuf fi al-dzimmah) dgn jenis jaminan berupa fi’lin (pekerjaan). Aset yg berjamin pekerjaan ini ada 2, yaitu aset berjamin jasa (khadamat) dan aset berjamin hak.
Â
Sudah barang tentu, hak yg dimaksud di sini ialah hak yg dapat diakui sebagai harta (haqqun maliyyun). Contoh dari aset dgn jaminan hak ini misalnya ialah sertifikat profesi yg merupakan hak bagi pemegangnya buat menjalankan profesi tertentu sesuai yg dituangkan dalam sertifikat. Ada pekerjaan berupa menjalankan profesi yg dapat dinilai (ditaqwim) sebagai harta.
Â
Â
Hak bagi penyewa rumah ialah tinggal di rumah yg disewanya dalam batas waktu yg telah ditentukan. Hak tinggal merupakan bagian dari haqqun maliyyun yg apabila ada pihak lain menghilangkan atau merusakkan hak tersebut, maka wajib bagi pihak tersebut buat menggaanti rugi. Besaran ganti rugi itu ditetapkan berdasarkan harga sewa selama waktu yg tersisa. Artinya, manfaat sewa itu dapat ditetapkan nilai hartawinya (taqwim).
Â
Di dalam pasar berjangka, hak ini diperdagangkan sebagai bagian dari aset derivatif, bersama-sama dgn giro, warant, saham, obligasi, dan aset derivatif lainnya. Wujud praktik dari right (hak) ini di antaranya ialah hak melakukan opsi (khiyarat).
Â
Suatu contoh, ada perusahaan melelang sahamnya. Di sisi lain, ada investor yg memegang saham mayoritas di perusahaan tersebut. Itu sebabnya, pihak investor ini memiliki hak, yg disebut Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Untuk itu, supaya haknya tak hilang, maka dia harus memberikan uang muka (urbun) buat kepastian ia menggunakaan haknya. Batas waktu terakhir pelunasan telah ditetapkan, misalnya 1 bulan ke depan.
Â
Selang 1 bulan, ternyata pihak investor ini tak memiliki cukup dana buat menebus efek secara keseluruhan. Untuk itu, dia punya 2 opsi, antara merelakan uang mukanya, atau mengusahakan keuangan buat mengakuisisi saham yg dilelang dan telah dikontraknya. Namun, seandainya dipaksakan buat menebusnya, dia tetap tak punya cukup modal. Satu-satunya pilihan ialah ia merelakan uang mukanya hangus ketimbang ia memaksakan diri menebus. Atau, ia mengoperkan hak pembelian tersebut kepada investor lain, dgn syarat pihak lain tersebut menggantikan uang muka yg telah diserahkan.
Â
Inilah bagian dari penerapan right issue (haqqun maliyyun) pada pasar berjangka dan umumnya berlaku pada pasar derivatif dgn aset-aset derivatif pula.
Â
Bagaimana dgn Kripto?
Sebagian pihak menygkutkan mata uang kripto (cryptocurrency) sebagai harta berjamin hak (right), termasuk di dalamnya ialah Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Pertanyaannya ialah kripto ini termasuk aset berjamin hak apa?
Â
Sebenarnya keputusan Bappebti dalam memasukkan kripto sebagai bagian dari aset ini juga bermasalah. Sebab, kripto tak punya aset fisik apa pun, sehingga tak masuk dalam bagian komoditas barang atau jasa. Karena tak masuk keduanya, lantas kripto dipaksakan buat masuk ke dalam bagian aset berjamin hak. Pertanyaan mendasarnya ialah ada hak apa di balik aset kripto tersebut?
Â
Jawabnya ialah tak ada hak apa pun di balik kripto tersebut. Ia tak ubahnya sekadar catatan-catatan saja dan catatan itu dapat dilakukan oleh semua orang.
Â
Beberapa pihak menyebut bahwa kripto (cryptocurrency) merupakan bagian dari haq ibtikari (hak inovasi) dan haq istihlaki (hak konsesi). Persoalannya ialah kripto tak memilikii fisik materi.
Â
Semua aset derivatif sebagaimana yg telah disebutkan di atas, memiliki ushul tsabitah (aset landasan yg berlaku) berupa materi fisik dan jasa. Dan kripto tak memiliki keduanya. Mana mungkin hendak dikelompokkan ke dalam bagian haq ibtikari dan haq istihlaki? Lagi pula hak merupakan cabang dari aset berjamin, dgn jenis jaminan berupa fi’lin (pekerjaan). Jadi, hak yg ada seharusnya juga wajib memenuhi kategori pekerjaan atau fungsi pekerjaan sehingga dapat ditetapkan nominal harganya. Kripto tak menyatakan kedua kategori pekerjaan dan fungsi pekerjaan tersebut. Jadi, tak ada hak di balik kripto yg dapat dinominalkan harganya.
Â
Â
Alhasil, memasukkan kripto ke dalam bagian aset berjamin hak ialah termasuk kekeliruan yg mendasar. Di dalam Islam, semua harta, wajib memiliki ushul tsabitah (aset landasan yg berlaku). Sebagaimana hal ini merupakan ta’rif harta yg disepakati dalam konsepsi fiqih, yaitu:
Â
ÙƒÙلّ٠مَا يَقـْتَضÙÙ‰ ÙˆÙŽÙŠÙŽØÙوْزÙه٠الْإÙنْسَان٠بÙالْÙÙعْل٠سَوَاءٌ أَكاَنَ عَيْنًا أَوْ مَنْÙَعَةً كَذَهَب٠أَوْ ÙÙضَّة٠أَوْ Øَيَوَان٠أَوْ نَبَات٠أَوْ مَنَاÙÙع٠الشَّيْء٠كَاَلرّÙÙƒÙوْب٠وَاللّÙبْس٠وَالسّÙكْنَى
Â
“Segala sesuatu yg dibutuhkan dan dapat diperoleh oleh manusia dgn suatu usaha baik berupa benda yg tampak (materi) seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun berupa fungsi dari suatu aset, misalnya dikendarai, dikenakan, dan ditinggali.â€
Â
Kripto bukanlah aset materi, dan tak memiliki fungsi material apa pun. Oleh sebab itu, ia juga tak punya fungsi haqqun maliyyun (hak hartawi di baliknya). Karena bukan materi dan tak memiliki fungsi material apa pun maka kripto ialah aset fiktif digital, yg keberadaannya tak lebih dari sekadar catatan tak bermanfaat. Coba tanya pada diri Anda, mau Anda manfaatkan buat apa catatan itu? Tidak ada manfaatnya selain hanya sebagai sarana bagi para spekulan buat memakan harta orang lain secara batil dgn dalih perdagangan. Wallahu a’lam bish shawab.
Â
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Uncategorized