Makna Hadits ‘Bekerjalah buat Duniamu seolah Kauhidup Selamanya’

Terdapat sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (terlepas dari status atau tingkatannya) yg diriwayatkan dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berbunyi sebagai berikut: 

اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا

Artinya: “Bekerjalah buat duniamu seakan-akan engkau mau hidup selamanya. Dan bekerjalah buat akhiratmu seakan-akan engkau mau mati besok pagi.”

Penggalan pertama dari hadits di atas, yakni: اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا dipahami secara berbeda oleh berbagai orang. Ada sebagian orang yg memahaminya sebagai perintah supaya dalam bekerja buat mencari dunia kita hendaknya melakukannya sebaik dan sekeras mungkin supaya mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya sehingga mencukupi seluruh kebutuhan sebab mau hidup selamanya. 

Pemaknaan seperti itu sesungguhnya tak tepat meskipun dgn dalih sebagai perimbangan terhadap penggalan kedua dari hadits tersebut, yakni: وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا. Di antara kaum Muslimin tak ada perbedaan pendapat tentang makna penggalan kedua ini. Mereka sepakat bahwa bekerja buat kepentingan akhirat harus dilakukan sesegera mungkin dan sebaik-baiknya sebab kita dianjurkan berpikir seolah-olah besok kita mau mati. 

Pemaknaan yg benar terhadap penggalan pertama dari hadits di atas ialah sebagaimana dijelaskan Muhammad Mutawalli asy-Sy’rawi dalam Tafsir asy-Sya’rawi (Akhbarul Yaum, 1991, jilid 3 hal. 1752) terkait dgn tafsir surat Ali Imran ayat 133 sebagai berikut:

 الناس تفهمها فهماً يؤدي مطلوباتهم النفسية بمعنى: اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً: يعني اجمع الكثير من الدنيا كي يَكفيك حتى يوم القيامة، وليس هذا فهماً صحيحاً لكن الصحيح هو أن ما فاتك من أمر الدنيا اليوم فاعتبر أنك ستعيش طويلاً وتأخذه غداً، أمَّا أمر الآخرة فعليك أن تعجل به 

Artinya: “Manusia memahami penggalan hadits yg berbunyi “Bekerjalah buat duniamu seakan-akan engkau mau hidup selamanya” dgn pemahaman yg menuntut terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yg bersifat psikologis, yakni pemahaman supaya mendapatkan sebanyak-banyaknya dari dunia ini buat mencukupi kebutuhan hidup hingga hari kiamat. Pemahaman seperti itu tak benar, mau tetapi yg benar ialah bahwa bila engkau tak dapat meraih sesuatu dari dunia ini pada hari ini, maka berpikirlah sesungguhnya engkau mau hidup lama dan mau dapat meraihnya esok hari. Sedangkan terhadap apa yg terkait dgn akhirat, engkau hendaknya bersegera meraihnya.” 

Jadi berdasarkan penjelasan dari Imam asy-Sy’rawi di atas, pemaknaan yg benar ialah bahwa kita bekerja buat mendapatkan hal-hal duniawi cukup seperlunya saja. Hal ini sebab kita dianjurkan buat berpikir bahwa kita mau hidup selamanya sehingga hari esok masih ada dan masih banyak waktu buat melakukannya. 

Dalam kaitan ini ada pepatah Jawa yg sejalan dgn pemaknaan seperti itu, yakni: “Ana dina ana upa (ada hari ada nasi).” Artinya selama masih ada kehidupan, rejeki selalu tersedia setiap hari sehingga tak perlu bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu buat istirahat. 

Allah subhanu wata’ala telah mengingatkan di dalam Al-Qur’an, surat an-Naba’ bahwa kehidupan ini telah diatur sedemikian rupa; ada siang dan ada malam. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Kedua ayat itu berbunyi sebagai berikut: 

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (١٠) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (١١) ـ

Artinya: ”Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian (10), dan Kami menjadikan siang buat mencari penghidupan.” (11) 

Ibnu Katsir menafsirkan ayat 10 di atas sebagai berikut: 

أي يغشى الناس بظلامه وسواده، كما قال: {والليل إذا يغشاها} 

Artinya: “ Allah menjadikan malam buat menutupi semua manusia dgn kegelapannya. seperti yg disebutkan-Nya dalam ayat lain:

وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها

Artinya: “Dan malam apabila menutupinya.” (Asy-Syams: 4). Selanjutnya beliau menambahkan keterangan dgn mengutip pendapat Qatadah sebagai berikut:

 وقال قتادة: { وجعلنا الليل لباساً} أي سكناً.

Artinya: “Qatadah menjelaskan bahwa yg dimaksud dgn “pakaian” ialah ketenangan.” (lihat Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, Dar Ibn Hazm: Beriut, Cetakan I, 2000, hal. 1952-3). 

Jadi intinya ialah Allah menjadikan malam sebagai saat yg gelap supaya manusia istirahat dgn tenang. 

Mengenai ayat 11 di atas, Ibnu Katsir menafsirkannya pada halaman yg sama sebagai berikut:

أي جعلناه مشرقاً نيراً مضيئاً ليتمكن الناس من التصرف فيه والذهاب والمجيء للمعايش والتكسب والتجارات وغير ذلك

Artinya: “Allah menjadikan siang terang benderang supaya manusia dapat melakukan aktivitasnya buat mencari upaya penghidupan dgn bekerja, berniaga, dan melakukan urusan lainnya.”

 
Memperhatikan kedua ayat di atas, kita diharapkan dapat bekerja buat dunia secara logis. Oleh sebab kita dianjurkan buat berpikir bahwa seolah-olah kita mau hidup selamanya, maka sesungguhnya kita harus pula berpikir bahwa terdapat banyak sekali kesempatan dalam hidup ini buat mendapatkan apa yg kita butuhkan. 

Jika hari ini kita belum mendapatkan apa yg kita butuhkan, esok hari masih ada kesempatan buat mendapatkannya sehingga kita tak perlu bekerja memforsir diri dgn melupakan perlunya istirahat. Cara seperti ini justru dapat merugikan diri sendiri sebab riskan jatuh sakit akibat kelelahan. 

Allah menjadikan malam sebagai saat yg tenang supaya kita semua dapat istirahat dgn tenang sekaligus memulihkan kembali stamina kita supaya esok hari dapat melanjutkan bekerja sebagaimana lazimnya manusia bekerja. Saat malam juga sangat baik buat melakukan qiyamul lail dgn terlebih dahulu tidur secukupnya. 

Mengisi malam dgn berbagai ibadah di malam hari hendaknya tak sengaja kita lewatkan begitu saja sebab justru dalam konteks inilah penggalan kedua dari hadits di atas menemukan relevansinya, yakni pada saat ada kesempatan beramal buat akhirat, maka kesempatan itu tak boleh disia-siakan dan supaya dikerjakan dgn sebaik-baiknya sebab dapat jadi esok hari kita telah mati. 

Kesimpulannya, penggalan hadits “Bekerjalah buat duniamu seolah-olah engkau mau hidup selamanya” mengandung makna bahwa kita tak boleh bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu buat istirahat sebab sesungguhnya selama Allah masih memberi kita kesempatan buat hidup, selama itu pula Allah menjamin ketersediaan rezeki bagi kita. “Ana dina ana upa.” 

Muhammmad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
 


 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.