Marak Order Fiktif, Bagaimana Jaminan Perlindungan terhadap Ojol?

Sudah kesekian kalinya, terjadi kasus order fiktif (pesanan fiktif) oleh pihak yg mengaku sebagai konsumen layanan ojek daring atau ojek online (ojol).

 

Seperti diberitakan oleh DetikFood, awal September yg lalu, ada driver Shopeefood yg mendapatkan order fiktif pembelian Steak senilai Rp490 ribu. Namun, saat order itu ditunaikan dan selanjutnya dikirim ke alamat pemesan, ternyata pihak pemesan membatalkan secara sepihak dan tak dapat dihubungi.

 

Dalam pemberitaan tersebut juga sempat menyinggung kasus serupa sebelumnya yg pernah dialami oleh driver ojol yg lain di Balikpapan, Kalimantan Timur.

 

Setaknya, persoalan order fiktif ini memantik tanda tanya, telah sejauh manakah perlindungan terhadap driver ojol diberikaan oleh pihak penyelenggara jasa layanan?

 

Larangan Melakukan Bisnis yg Tak Berjamin Hukum

Baginda Nabi saw telah melarang melakukan transaksi bisnis yg tak berjamin hukum (naha rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘an ribhi ma lam yudlman).

 

Ruang lingkup jaminan (dlaman) di dalam Islam itu mencakup 4 hal, yaitu terhadap utang (dain), barang (ain), pekerjaan (fi’lin), dan hak (haqqu al-adamy).

 

Dalam kasus ojol sebagaimana kasus di atas, terjadi tak hanya pada barang dan utang, melainkan juga pada pekerjaan dan hak keselamatan harta bendanya.

 

Baca juga: Adakah Unsur Riba pada Aplikasi GoPay, OVO dan GoFood?

 

Yang Wajib Menanggung Ganti Rugi akibat Order Fiktif

Order dikenal sebagai akad salam atau biasa disebut juga sebagai akad bai’ syaiin maushufin fi al-dzimmah (jual beli sesuatu yg karakteristiknya jelas dan dijamin). Akad ini pada dasarnya juga merupakan akad utang (ma fi al-dzimmah).

 

Di saat pihak jasa layanan berani mengadakan sebuah sarana akad pemesanan barang melalui peran akad utang, maka risiko yg harus diambil oleh pihak penyelenggara jasa layanan tersebut ialah harus siap menanggung klaim kerugian dari pihak driver ojol apabila terjadi kasus order fiktif. Mengapa?

 

Di dalam Islam, pihak yg menjadi sebab langsung (mubasyir) terjadinya kerugian (dlarar), merupakan yg bertanggung jawab atas kasus kerugian itu. Alhasil, pihak pertama yg wajib membayar kompensasi ganti rugi ialah pihak perusahaan ojol.

 

Selanjutnya, bagaimana bila pihak jasa layanan ojol tak mau menanggung ganti kerugian akibat order fiktif?

 

Apabila pihak penyelenggara jasa layanan tak mau menanggung ganti rugi, maka itu artinya bisnis jasa layanan tersebut berlaku sebagai yg tak berpenjamin.

 

Secara tak langsung hal ini mau berpengaruh terhadap jenis akad yg terjadi pada jasa layanan tersebut. Akad salam atau bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah ini menjadi akad yg rusak dan terlarang sebab adanya unsur spekulasi (maisir) dan ketakpastian (gharar) pada pihak driver.

 

Perlu diketahui bahwa akad salam merupakan akad yg dibolehkan dalam Islam sebab adanya hajat kebutuhan. Di dalamnya telah ada satu ketakpastian sebab salah satu harga dan barang tak dapat diserahkan di awal transaksi.

 

Apabila tak ada harga yg diserahkan di muka, maka harga tersebut berlaku sebagai utang (ma fi al-dzimmah). Jika utang itu tak dapat dipastikan penunaiannya (luzumah fi al-dzimmah), maka di sinilah timbul ketakpastian yg kedua (gharar tsani). Islam melarang terjadinya praktik multi-gharar dalam satu akad (irtikabu al-dlararain). Alhasil, hukumnya menjadi haram.

 

Lantas bagaimana solusinya supaya tetap berlaku halal? Maka, jawabannya telah dapat ditebak, yaitu berikan jaminan perlindungan terhadap driver ojol dari order fiktif!

 

Baca juga: Halal-Haram Unsur Spekulasi dalam Jual Beli Sistem COD

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Pakar Bidang Ekonomi Syariah Asnuter PWNU Jawa Timur


 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.