Maulid Diba’: Penyusun, Keutamaan, & Cara Bacanya

Islam sebagai agama yg dianut oleh mayoritas umat manusia di belahan dunia, tak lepas dari cara penyebarannya yg sangat banyak. Dari cara-cara tersebut akhirnya Islam tak hanya dikenal di Negara kelahirannya, Arab. Namun juga dikenal seantero dunia. Salah satu bentuk penyebaran itu ialah melalui peringatan hari lahir pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad saw.

Sebagai ungkapan syukur perayaan maulid yg dikemas dgn pembacaan shalawat mengalami perkembangan yg sangat pesat ke berbagai wilayah, khususnya Indonesia. Dengan peringatan itu, pembacaan shalawat menjadi tak hanya menjadi bacaan tahunan, melainkan bulanan, mingguan atau acara-acara tertentu yg diadakan oleh masyarakat. Salah satu bacaan maulid yg sering itu baca ialah Maulid ad-Diba’i yg populer disebut Maulid Diba’. Keindahan syiir di dalamnya mampu menarik perhatian pembaca buat semakin menambah rasa cinta kepada baginda Nabi Muhammad saw serta menjadi sebuah media buat mempelajari bagaimana sifat dan karakter Rasulullah yg sebenarnya.

Biografi Penyusun
Nama lengkapnya ialah Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Yusuf bin Ahmad bin Umar asy-Syaibani az-Zabidi asy-Syafi’i. Ia memiliki gelar Abul Faraj dan masyhur dgn sebutan Ibnud Diba’. Ia merupakan salah satu ulama yg sangat luas dan dalam pengetahuannya. 

Imam Abdurrahman ad-Diba’i merupakan salah satu ulama kelahiran kota Zabid, Yaman. Beliau lahir bertepatan pada Muharram 866 H dan wafat pada Jumat 12 Rajab 944 H. Pada masa pertumbuhannya, Imam Abdurrahman tak merasakan kasih sayg seorang ayah. Ia harus besar dan tumbuh bersama kakeknya, Syekh Syarafuddin Abil Ma’ruf Ismail bin Muhammad asy-Syafi’i, sebab ayahnya wafat bertepatan dgn hari-hari menjelang kelahirannya. (Habib Abdul Qadir bin Habib Abdullah al-‘Idrus al-Husaini al-Hadrami, an-Nurûs Safîr ‘alâ Akhbâril Qurûnil Âsyir, [Bairut, Dârush Shadr: 2001], halaman 286).

Hidup di bawah asuhan kakenya yg juga sangat alim dan dikenal sebagai orang saleh, Abdurrahman kecil selalu diajari ilmu. Kehidupannya saat kecil tak seperti anak muda umumnya, ia lebih fokus pada ilmu. Sejak kecil ia belajar Al-Qur’an pada Syekh Nuruddin bin Abi Bakar. Di sela-selanya ia juga mempelajari cara baca Al-Qur’an versi tujuh bacaan (qirâ-ah sab’ah) kepada pamannya, Syekh Jamaluddin Muhammad Thayyib bin Ismail sampai khatam dan hafal secara lancar dan fasih. Bahkan di usia 10 tahun ia telah berhasil menghafal Al-Qur’an.

Prestasinya sebagai penghafal Al-Qur’an di umur yg masih sangat muda tak lantas membuatnya berhenti mencari ilmu. Rasa haus pengetahuan mengharuskan dirinya selalu mengembara buat memperdalam keluasan ilmu Allah swt. Imam Abdurrahman memperdalam ilmu fiqih kepada Syekh Taqiyuddin Abul Hafs; belajar hadits kepada seorang muhaddits pada zamannya yaitu Syekh Zainuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Ahmad asy-Syirji; belajar kitab Shahîhul Bukhâri, Shahîh Muslim, Misykâtul Mashâbîh, Bulûghul Marâm, dan hadits lain kepada Syekh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi; belajar kitab Minhâjuth Thâlibîn, kitab monumental karya Imam an-Nawawi (wafat 676 H), dan kitab al-Hâwi as-Shaghîr karya Imam al-Mawardi (wafat 450 H), kepada Syekh Jamaluddin Ahmad bin Thahir bin Ahmad bin Umar.

Pengembaraannya yg tak kenal lelah dalam mencari ilmu membuatnya menjadi sosok ulama yg sangat luas ilmu pengetahuannya. Dalam kitab Mil’ul Awâni disebutkan:

كَانَ اِبْنُ الدِّيْبَع مُتَبَحِّرًا فِي الْقُرْأَنِ وَالْحَدِيْثِ وَعُلُوْمِهِمَا، وَكَذَلِكَ الفِقْهُ وَكَثِيْرٌ مِنَ الْعُلُوْمِ

Artinya, “Ibnud Diba’ ialah ulama yg sangat luas dalam Al-Qur’an dan hadits serta ilmu-ilmu keduanya, begitu juga (sangat luas) dalam ilmu fiqih dan berbagai ilmu-ilmu yg lain.” (Al-Anshari, Mil’ul Awânî fî Tahqîqil Maulid Dîba’i, halaman 13).

 

Luasnya pengetahuan Imam Abdurrahman juga dapat dilihat dari karyanya yg banyak. Di antara yaitu Bughyatul Mustafid, Ghâyatul Mathlûb, Taisîrul Wushûl ilâ Jâmi’il Ushûl, Nasyrul Mahâsinil Yamâniyyah, Misykâtul Anwâr bi Shihâhi Hadîtsil Mukhtâr, Hadâ-iqul Anwâr wa Mathâli’ul Asrâr, dan yg lain. Adapun yg paling masyhur ialah kitab Maulid ad-Diba’i.

Penamaan Maulid Diba’
Maulid Diba’ sebenarnya bukanlah nama khusus kitab ini. Sebab semua isi yg ada di dalam maulid Diba’ merupakan ringkasan dari Maulid Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin bin Qasim, sebagaimana dijelaskan:

اِشْتَهَرَ هَذَا الْكِتَابُ بِالْمَوْلِدِ الدِّيْبَعِي نِسْبَةً إِلَى مُؤَلِّفِهِ الْمَشْهُوْرِ بِابْنِ الدِّيْبَعِ. كَانَ مُخْتَصَرًا مِنْ كِتَابِ الْمَوْلِدْ شَرَفِ الْأَنَامِ لِلشَّيْخِ شِهَابُ الدِّينِ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ قَاسِمِ الْمُرْسِيِّ الْمَشْهُوْرِ بِابْنِ قَاسِمٍ

Artinya, “Kitab ini terkenal dgn nama Maulid Diba’i, sebab disandarkan kepada penyusunnya, yg dikenal dgn nama Ibnud Diba’. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Maulid Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Qasim al-Mursi, yg dikenal dgn nama Ibnu Qasim.” (Al-Anshari, Mil’ul Awâni, halaman 10).

Betapa pun Maulid Diba’ hanya sebatas ringkasan, namun keberkahan di dalamnya sangat banyak, keutamaannya sangat luas dan tentunya sebagai media buat memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Semua itu dapat dilihat dari cara penyusunannya yg tak hanya fokus membahas tentang perjalanan hidup Rasulullah saw dan shalawat atasnya, namun juga mencantumkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits, sehingga pembaca tak hanya membaca shalawat namun juga membaca Al-Qur’an dan hadits.

Pendapat Ulama tentang Maulid Diba’
Banyak ulama yg memberikan komentar positif tentang isi dan kandungan Maulid Diba’. Di antaranya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mil’ul Awâni:

هَذَا الْكِتَابُ مُمَيِّزَاتٌ كَثِيْرَةٌ. أَبْرَزَ بِهِ الْمُؤَلِّفُ المُعْجِزَاتِ القُرْآنِيَّةِ وَأَنْوَارَ السُّنَّةِ النَّبَوِيَةِ سَاطِعَةً لَاشِيَةً فِيْهَا

Artinya, “Kitab ini memiliki perbedaan yg banyak (dgn kitab lainnya). Penyusun menjelaskan beberapa mukjizat dalam Al-Qur’an, dan cahaya hadits nabi yg jelas dan merata di dalamnya.” (Al-Anshari, Mil’ul Awâni, halaman 11).

Dalam Maulid Diba’ penyusun menampakkan rasa cinta pada Rasulullah saw dgn hakikat cinta, memujinya dgn hakikat pujian yg sebenarnya, mengungkapkan kerinduan dgn rindu yg sebenarnya, sehingga dapat menjadi penyebab buat mendekatkan diri kepada Allah sekaligus sebagai media buat menambah cinta kepada-Nya, Rasulullah saw dan sahabatnya. Tidak hanya itu, Maulid Diba’ juga menjadi referensi buat meneladani hidup Rasulullah saw yg menjadi rahmat kepada umatnya.

Dalam pembacaannya, Imam ad-Diba’i tak hanya memerintahkan pembaca buat bershalawat, namun juga mengajak buat menghadirkan Rasulullah saw dalam dirinya, sebagaimana dalam salah satu mukadimah Maulid Diba’ disebutkan:

أَحْضِرُوا قُلُوْبَكُمْ يَا مَعْشَرَ ذَوِي الْأَلْبَابِ، حَتَّى أَجْلُوَ لَكُمْ عَرَائِسَ مَعَانِي أَجَلِّ الْأَحْبَابِ

Artinya, “Hadirkanlah hatimu wahai orang-orang yg berakal sehat, sehingga dapat kujelaskan kepadamu makna-makna keagungan seorang kekasih yg paling dicintai Allah.”

Keutamaan Maulid Diba’
Secara eksplisit keutamaan Maulid Diba’ tak diragukan. Ulama sepakat dan mengamini bahwa keutamaannya sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Sebab, dgn membacanya telah dipastikan membaca Al-Qur’an, hadits, shalawat, dan juga sebagai media mengingat dan meneladani Rasulullah saw pada masa hidupnya. Namun secara implisit, sebagaimana yg dijelaskan dalam kitab at-Ta’rîf bil Maulid, disebutkan:

المَوْلِدُ فِيْهِ سِرٌّ عَظِيْمٌ حَتَّى يَتَجَدَّدُ بِقِرَائَتِهِ مَفَاهِيْمُ جَدِيْدَةٌ

Artinya, “Maulid (ini), di dalamnya terdapat rahasia yg agung, (dgn membacanya) mau mendapatkan pemahaman-pemahaman baru (tentang Rasulullah saw).” (Nuruddin, al-Jauharul Maknûnah wal Asrârul Makhzûnah, halaman 16).

Pemahaman-pemahaman baru yg didapatkan pembaca merupakan bagian dari rahasia agung yg terdapat dalam Maulid Diba’. Seolah pembaca tak hanya memiliki jaminan pahala dgn membacanya, namun juga mau ada jaminan penambahan pengetahuan dan kecintaan kepada Rasulullah saw.

Teknis Bacanya
Maulid Diba’ merupakan salah satu kitab maulid yg dibaca dalam rangka meneladani sîrah Rasulullah saw sekaligus bershalawat kepadanya. Hendaknya Maulid Diba’ dibaca di tempat yg layak, penuh adab dan sopan, serta dalam keadaan suci. Sebab, mengagungkannya sama dgn mengagungkan sosok yg dibacanya, yaitu Rasulullah saw. Sedangkan tata cara pengamalannya secara khusus, yaitu dgn beberapa tahap sebagai berikut:

Pertama, membaca surat Al-Fatihah dan dihadiahkan kepada Rasulullah saw dan Imam ad-Diba’i.

Kedua, membaca seruan dan ajakan kepada para hadirin buat bershalawat kepada Rasulullah saw dgn kalimat sebagai berikut:

فَيَا أَيُّهَا الرَّاجُوْنَ مِنْهُ شَفَاعَةً صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. وَيَا أَيُهَا الْمُشْتَقُوْنَ إِلَى رُؤْيَةِ جَمَالِهِ، صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. وَيَا مَنْ يَخْطُبُ وِصَالَهُ يَقْظَةً وَمَنَامًا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

 

Artinya, “Wahai orang-orang yg mengharapkan syafaat dari Rasulullah saw, bershalawatlah dan ucapkanlah salam kepadanya. Wahai orang-orang yg rindu melihat ketampanannya, bershalawatlah dan ucapkanlah salam kepadanya. Wahai orang-orang yg mengharapkan pertemuan dgnnya; saat sadar dan tidur, bershalawatlah dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Bisa juga setelah membaca surat al-Fatihah lalu disusul dgn membaca shalawat berikut:

يَا رَسُوْلَ الله سَلَامٌ عَلَيْك *** يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَالدَّرَجِ
عَطْفَةً يَاجِيْرَةَ الْعَلَمِ *** يَا أُهَيْلَ الْجُوْدِ وَالْكَرَمِ 
(الـــــخ)

Artinya, “Wahai utusan Allah! Semoga keselamatan tetap padamu. Wahai orang yg berbudi luhur dan bermartabat tinggi. Rasa kasihmu wahai pemimpin tetangga. Wahai ahli dermawan dan pemurah hati. (sampai selesai).”

Selanjutnya membaca bacaan yg telah tertera dalam Maulid Diba’. Wallâhu a’lam bisshawâb.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.