Memahami Hadits Anjuran Memilih Pasangan secara Adil Gender

Masihkah sahabat sekalian mengingat penggalan lirik lagu sang raja dangdut, Rhoma Irama yg berjudul ‘Salehah’ itu? Iya, tentunya masih begitu melekat sekali. Nyaris setiap lirik lagunya habis kita hafalkan di luar kepala, terutama bagi pecinta dangdut. Memang, sosok Rhoma Irama bagi lagu dangdut, tak ubahnya bagai Soekarno-Hatta dalam sejarah kepemimpinan Indonesia. Semua orang tak mau melupakannya. Lirik lagunya berbunyi, ‘Hanya istri yg beriman dapat dijadikan teman, dalam setiap kesusahan selalu jadi hiburan. Hanya istri yg salehah yg punya cinta sejati, yg mau tetap setia dari hidup sampai mati, bahkan sampai hidup lagi’.

 

Pertanyaannya, mengapa hanya istri yg salehah? Mengapa bukan suami yg saleh juga? Akankah keluarga sakinah yg tenteram, nyaman, lagi membahagiakan itu dapat terwujud bila hanya istrinya yg saleheh, sementara suaminya bejat dan biadab? Mengapa kita hanya diperdengarkan lagu tentang istri salehah? Dalam hal ini saya tak bermaksud mengkritik lagu tersebut. Karena saya yakin Bung H Rhoma Irama tak menciptakannya dgn maksud demikian. Tetapi, setaknya lagu ini telah menghipnotis banyak orang bahwa kebahagiaan terbesar dalam relasi rumah tangga tergantung apakah ibu dalam rumah tersebut salehah atau tak. Tanpa peduli dirinya lelaki saleh atau bejat.

 

Sekali lagi, saya tak bermaksud menyalahkan lagunya secara khusus. Tidak sekali pun. Saya hanya mau bilang bahwa masyarakat kita terlalu polos dalam menafsirkan hal-hal semacam ini. Saya paham betul bahwa lagu di atas menyimpan spirit yg sama dgn Hadits riwayat imam Muslim dan Ahmad yg terkenal itu. Yaitu, Ad-Dunya kulluha mata’(un) wa khairu mata’iha al-mar’ah as-shalihah, “Dunia seluruhnya ialah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia ialah perempuan salehah”.

 

Sejak lama, kita memang banyak dicekoki oleh hal-hal yg bias gender, termasuk urusan memilih pasangan. Faktor pendorongnya juga tak kalah banyak, tapi yg paling berpengaruh ialah budaya patriarki. Faktor ini, bahkan dapat mengubah objektivitas seseorang dalam menafsirkan teks-teks agama (Al-Qur’an dan hadits). Salah sebuah hadits yg kerap dipahami bias gender ialah riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah ﷺ bersabda:

 

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك

 

Artinya, “Perempuan (biasannya) dinikahi sebab empat hal; banyak hartanya, bagus nasabnya, elok rupanya, dan kokoh agamanya. Curahkanlah atensi lebih pada perempuan yg kokoh agamanya, kalau tak mau celaka.”

 

Teks hadits di atas memang tegas menyebut al-mar’atu (perempuan), tapi pemaknaannya tak lantas menyasar perempuan saja, dan tak memasukkan laki-laki di dalamnya. Mengingat, maksud dari frasa al-‘alaqah az-zaujiyyah (relasi suami-istri) ialah kedua-duanya, bukan istri saja atau suami saja. Jadi, yg sangat ditekankan oleh agama di antara empat kebiasaan dalam memilih pasangan—sebab harta, nasab, kecantikan atau ketampanan, dan kualitas keberagamaan—ialah menaruh atensi besar terhadap yg terakhir, yakni kualitas keberagamaanya.

 

Bicara terkait kualitas keberagamaan, tentu tak pandang bulu, siapa pun orangnya dan apa pun jenis kelaminnya. Bahkan, Imam al-Bukhari (256 H) dalam Shahih al-Bukhari (hal. 964) menulis satu bab tentang kebolehan perempuan ‘menawarkan dirinya’ buat dinikahi oleh seorang lelaki saleh. Tak hanya boleh, justru syariat mengapresiasinya. Inilah bukti bahwa dalam memilih pasangan, agama tak hanya menekankan supaya lelaki menikahi perempuan salehah. Tetapi juga mendorong perempuan supaya memilih lelaki yg saleh sebagai pasangannya.

 

Kiai Faqih Abdul Qodir dalam kitab Manba’ussa’âdah (hal. 18) menjelaskan:

 

ومثل ذلك بالمبادلة بنسبة الرجل للمرأة، عليها أن تظفر بصاحب الدين أي صاحب خلق حسن، تربت يداها أي إبتعدت عن سيئات الحياة الزوجية واقتربت بخيراتها على مدى حياتها معه

 

Artinya, “Hadits di atas harus dikaji dgn asas kesetaraan (mubialah), di mana, perempuan ditekankan supaya memilih lelaki saleh dan berakhlak mulia, sehingga dia mau selamat dari kehidupan rumah tangga yg kelam, dan dapat merasakan kenyamanan dalam rumah tangga tersebut seumur hidupnya.”

 

Ada sebuah analogi menarik menygkut persoalan ini. Yakni, bahwa relasi antara suami-istri bagaikan wadah dan air. Suami kita ibaratkan sebagai air, sedangkan istri ialah wadahnya. Kemudian, mari kita berasumsi seandainya punya wadah yg bagus, terbuat dari permata yg indah, bentuknya cantik, warna dan motifnya mempesona mata, sudikah kita menuangkan air selokan yg kotor nan bau lagi menjijikkan itu ke dalamnya? Tentu bagi orang yg berakal sehat dan memiliki naluri yg waras mau enggan melakukannya.

 

Demikian sebaliknya, tegakah kita bila mewadahi air zam-zam, misalnya, air bersejarah nan mulia itu ke sebuah wadah yg kotor, berbau busuk dan tak terurus? Jawabannya sama, hanya orang ‘sakit’ dan bodoh yg tak mengacuhkan hal semacam ini. Kecuali setelah air kotor tersebut kita suling terlebih dahulu, sampai benar-benar bersih, atau wadah yg kotor tadi kita cuci sampai benar-benar layak pakai.

 

Beginilah kurang-lebih substansi dari asas kesetaraan dalam relasi rumah tangga yg dimaksud oleh teks-teks syariat yg kita baca.

 

Sebetulnya, analogi di atas terinspirasi dari sebuah hadits yg dikutip Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibri dalam Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain (hal. 99) yg berbunyi:

 

 تخيروا لنطفكم ولا تضعوها لغير الأكفاء

 

Artinya, “Selektiflah dalam memilih tempat bagi benih keturunanmu, dan jangan letakkan benih-benih itu di tempat yg tak layak.”

 

Dengan redaksi lain dalam kitab al-Bujairami disebutkan:

 

تخيروا لنطفكم فإن العرق دسّاس

 

Artinya, “Selektiflah dalam memilih tempat bagi benih keturunanmu, sebab baik dan taknya keturunan, tak mau jauh dari ibu-bapaknya.”

 

Hadits yg pertama, walaupun dalam kitab Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadhzil Minhaj (juz 4, hal. 206) karya imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib as-Syirbini (977 H) diklaim oleh imam Abu Hatim ar-Rozi sebagai hadits yg tak berdasar, namun hal itu ditentang oleh imam Ibnu as-Sholah, dan menyatakan bahwa ia memiliki beberapa dasar yg jelas. Pendapat ini juga dibenarkan oleh imam al-Hakim.

 

Penting ditegaskan sekali lagi bahwa dua hadits di atas, jangan pernah juga dipahami secara bias gender. Melainkan harus dimaknai berdasarkan asas kesetaraan (mubialah atau musyarakah). Alhasil, kita ialah makhluk yg diciptakan berpasang-pasangan buat melahirkan keturunan dan generasi-generasi terbaik (khaira ummah). Dari itu, mari sama-sama memperbaiki diri, sebab diri ini ialah cerminan pasangan dan keturunan.

 

Terakhir, kita tutup dgn doa, Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun wa ij’alna lil muttaqina imama. Amin. Wallahu a’alam bisshawab.

 

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.