Membahas tentangMarak Aksi Klitih di Yogyakarta, Begini Islam Memandangnya

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangMarak Aksi Klitih di Yogyakarta, Begini Islam Memandangnya,

Oase.id- Fenomena klitih mulai marak terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bahkan, tanda pagar (tagar) #klitih dan #DIYdaruratklitih sempat trending di media sosial Twitter.

Klitih merupakan aksi perundungan antarkelompok geng anak muda di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Pelaku biasanya merupakan anak sekolah atau remaja berusia 14-19 tahun.

Pada umumnya, pelaku klitih mengincar target siswa pesaing di tempat sepi, kemudian melakukan perudungan fisik kepada korban menggunakan senjata tajam. Malahan, sesekali pelaku juga mengambil harta dan menghilangkan nyawa korban.

S. A. Mangunsuwito dalam Kamus Bahasa Jawa: Jawa-Indonesia (2002) menjelaskan, klithih tak berdiri tunggal, tetapi merupakan kata ulang dari klithah-klithih. Artinya, berjalan bolak-balik agak kebingungan. 

Akan tetapi, klitih juga banyak yg mengartikan sebagai kegiatan mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Hanya saja, istilah ini kemudian mengalami pergeseran makna alias peyorasi menjadi aksi kekerasan dgn senjata tajam, atau kegiatan kriminalitas anak di bawah umur di luar kelaziman. 

Pelaku, melakukan aksi ini dgn tujuan mendapat pengakuan dari para pesaingnya.

 

Dalam Islam, kejahatan yg dilakukan di jalanan seringkali disebut qath’ut thariq, yakni perilaku mencegat seseorang yg sedang lewat dgn cara menakut-nakuti.

Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Asy-Syirbini dalam Mugnil Muhtaj menyebutkan, qath’ut thariq ialah pengganggu jalan yg mencuri, membunuh, atau menakut-nakuti dgn kemampuan (kekuatan atau keahlian menggunakan senjata tajam).

Berbeda dgn intihab (pencopetan) yg dilakukan di tempat ramai dan memungkinkan korban untuk meminta tolong, qathut thariq dilakukan di tempat sepi, sehingga korban tak dapat meminta pertolongan.

Adapun pengganggu jalan yg tak mencuri dan membunuh, aksi mereka disebut hirabah. Tidak ada had dan kafarat khusus dalam kasus ini. Mereka dijatuhkan hukum penjara (dan lain sebagainya tergantung hukum negara).

Apabila sang pengganggu jalan melukai korban, maka baginya hukum kisas, sesuai dgn perbuatannya. Misalnya orang yg melukai jari korban hingga putus, maka dia dijatuhkan hukum potong jari juga.

Sedangkan pengganggu jalan yg menyertakan aksinya dgn pencurian, (apabila barang curiannya mencapai nishob barang curian), maka ia dihukumi potong tangan kanan dan kaki kiri, sebagaimana firman Allah Swt;

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yg memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dgn bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yg besar  (QS. Al-Maidah:33).

 

Dalam Tafsir Jalalain karya al-Mahalli dan As-Suyuthi disebutkan, ayat ini diturunkan sebab peristiwa yg terjadi antara Rasulullah Saw dan orang Urainah ketika mereka mendatangi Nabi guna mengucapkan syahadat.

Namun, setibanya di Madinah, mereka sakit sebab tak cocok dgn cuaca Madinah. Rasulullah Saw pun mengizinkan mereka untuk minum susu dan air kencing unta milik Nabi (di masa itu air susu dan kencing unta merupakan obat).

Tak disangka-sangka, setelah sembuh mereka justru membunuh sang penggembala unta yg dipekerjakan Nabi. Tak berhenti di situ, mereka juga mencuri unta-unta milik Rasulullah Saw. 

Beliau kemudian memerintahkan para sahabat untuk menangkap dan menghukum mereka. 

Lebih lanjut Imam al-Mahalli dan As-Suyuthi membagi hukum ini menjadi empat ketentuan. Pertama, pengganggu jalan yg membunuh dgn sengaja (tanpa mencuri), ia dijatuhkan hukuman mati (kisas).

Kedua, pengganggu jalan yg membunuh sekaligus mengambil harta korban (yg mencapai nisab barang curian). Ia dihukum mati dan disalib. 

Ketiga, pengganggu jalan yg merampas harta tanpa membunuh. Ia dijatuhkan hukum potong tangan (apabila harta yg dicuri mencapai nisab barang curian).

Keempat, pengganggu jalan yg hanya menakut-nakuti, tanpa mencuri dan membunuh, hukuman bagi mereka ialah diasingkan. Ketentuan-ketentuan ini sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas dan Imam Syafii, begitu pula jumhur ulama.

Aksi klitih cenderung masuk dalam kategori qath’ut thoriq. Sebab, pelakunya tak hanya menakut-nakuti, melainkan juga melukai dgn benda tajam. Bahkan ada pula yg menyertakan aksinya dgn pencurian dan menyebabkan korban meninggal.

Di Indonesia, aksi semacam ini telah diatur dgn tegas dalam KUHP. Para pelaku dapat dijerat pasal berlapis dari Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 354 KUHP tengan penganiayaan yg mengakibatkan korban meninggal dunia,  Pasal 170 jo 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait tindak penganiayaan, juga UU 12/1951 atau UU kedaruratan menyusul adanya senjata tajam dalam aksi.

Mereka, dapat diganjar dgn hukuman penjara hingga puluhan tahun.

Dengan maraknya aksi klitih, masyarakat sangat berharap pemerintah dan pihak yg berwajib dapat mengurangi kejahatan di jalanan tersebut melalui penerapan undang-undang yg berlaku tanpa pandang bulu. 

 

 

Sumber: Keterangan dari Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Asy-Syirbini serta Tafsir Jalalain karya Al-Mahalli dan As-Suyuthy. 

(SBH)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangMarak Aksi Klitih di Yogyakarta, Begini Islam Memandangnya . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.