Membahas tentangMencapai Aktualisasi Diri dgn Memberi

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangMencapai Aktualisasi Diri dgn Memberi,

Oase.id- Bulan Ramadan memiliki banyak nama, satu di antaranya ialah Syahrul Judd atau bulan kemurahan. 

Nama ini menekankan pentingnya bermurah hati untuk memberi dan berbagi di bulan suci. Melekatnya sifat murah hati, membuat Ramadan identik dgn berbagai bentuk aktivitas berbagi. 

Bagi para milenial, wujud berbagi dikemas dalam aktivitas seru seperti sahur on the road (SOTR), bakti sosial, dan lain sebagainya. Adanya ujian pandemi yg menemani Ramadan kali ini makin memacu semangat berbagi dgn cara dan media yg lebih beragam. 

Belakangan, kita cukup sering mendengar berita tentang keluarga yg menyediakan paket sembako dan menggantungnya di pagar rumah supaya dapat diambil oleh siapa pun yg membutuhkan. Atau anak kecil yg memecahkan celengannya, kemudian menggunakan uangnya untuk membeli alat pelindung diri (APD) dan memberikannya pada tenaga medis. 

Kalangan pemuda juga turut serta menjadi sukarelawan dalam memenuhi desakan berbagai kebutuhan guna mengatasi situasi ini. 

Baca: Manfaat Puasa untuk Kesehatan Mental

 

Pemberi, juga penerima

Fenomena berbagi selalu menjadi cerita menarik dan angin segar yg dapat memunculkan rasa aman dan nyaman bagi siapa pun yg menyaksikannya. Tak perlu menjadi orang yg memberi, mendengarkan beritanya saja telah membuat kita merasa bahagia. 

Direktur Center for Philanthropic Studies at the Vrije Universiteit Amsterdam, Prof. Bekkers dan rekannya, Wiepking mengidentifikasi 8 mekanisme yg berpotensi menjadi motivasi bagi seseorang untuk berdonasi.

Yakni, kesadaran mau kebutuhan, permintaan, untung rugi, altruisme, reputasi, manfaat psikologis, nilai dan efficacy (keyakinan mau kemampuan untuk memberikan manfaat). 

Seseorang dapat memiliki lebih dari satu motif (multiple motives) yg mendasari tindakan ia memberi. 

Beberapa motif di atas menegaskan bahwa dampak dari aktivitas memberi tak hanya bersifat satu arah. Dengan kata lain, bukan hanya penerima yg dapat merasakan manfaatnya. 

Banyak penelitian menunjukkan manfaat psikologis yg dapat dirasakan para pemberi. Beberapa label disematkan pada sensasi psikologis yg hadir dalam aktivitas memberi seperti ‘’emphatic joy’’ atau “warm glow’’. 

Tanpa perlu didefinisikan, masing-masing dari kita pasti memiliki gambaran emphatic joy yg didapat dari pengalaman memberi. Tidak sedikit pula yg merasakan emosi positif disertai perubahan suasana hati ke arah yg lebih baik setelah memberi. 

Memberi juga memunculkan keyakinan bahwa kita dapat membawa manfaat bagi orang lain. Selain itu, terdapat paradoks indah yg menyertai proses memberi. 

Coba ingat-ingat momen memberi yg pernah kita lakukan selama hidup. Bagaimana kita dapat menjelaskan perasaan menjadi cukup dan terpenuhi yg muncul dari aktivitas melepaskan dan memberi? 

Untuk memahaminya, kita perlu beranjak ke titik awal dan menelaah konsep memberi yg pernah diterima ketika masih berada di bangku sekolah.

Selama ini kita mempelajari bahwa memberi lebih baik ketimbang menerima. Mungkin, ini ialah pengkondisian yg diberlakukan untuk meningkatkan perilaku memberi. 

Kita didorong untuk memiliki preferensi dalam memberi. Bukannya hal tersebut tak baik, namun pola pikir ini dapat membuat kita secara tak sadar menempatkan “pemberi” di level yg lebih tinggi dari pada “penerima”. Tanpa kita sadari, pola ini berpotensi memunculkan kebanggaan pada diri sendiri dan perasaan lebih baik ketimbang orang lain saat memberi. 

Padahal, bila dilihat secara lebih dekat, kenyataan adanya dampak psikologis yg dirasakan oleh pemberi, membuat seseorang yg memberi secara bersamaan menjadi seorang penerima. 

 

Psikolog Jerman Erich Fromm menjelaskan, dalam proses memberi, seseorang sebenarnya telah menyerahkan kekuatan pada orang yg menerima untuk menjadi pemberi. 

Contoh sederhananya, saat kita memberi makan pada anak yatim sehingga kebutuhan dasar mereka terpenuhi, di saat yg bersamaan mereka memberikan kedamaian dan rasa cukup dalam diri kita saat melakukannya. 

Dalam satu waktu, kita dan mereka telah membagi dan melengkapi sesuatu. Dengan konsep ini, kita dapat memaknai proses memberi sebagai sebuah upaya mencapai keseimbangan. 

Kita melepaskan sesuatu yg berlebih dalam diri sehingga menyediakan ruang untuk menerima yg kita butuhkan. Mereka pun menerima sesuatu untuk melengkapi diri mereka, dan menjadi kuat untuk memancarkan energi kebaikan. 

Pada akhirnya, kita memahami bahwa memberi bukan tentang menjadi lebih baik dari pada yg lain, namun tentang menjadi lebih baik bersama-sama. 

Dengan formulasi ini, memberi tak mau memiskinkan atau melemahkan seseorang. Bahkan dgn pemahaman yg lebih mendalam, memberi dapat mengoptimalisasi fungsi diri kita. 

Saat memberi dgn mengajar, misalnya, kita lakukan dalam rangka meningkatkan pemahaman. Kala memberi dgn mencontohkan, kita semakin menguasai praktiknya. Ketika memberi dgn materi, berarti kita membersihkan dan mengamankan harta yg lainnya. 

Baca: Yuk! Patuhi Imbauan Social Distancing, Ini Manfaatnya Secara Psikologis

 

Aktualisasi diri

Memberi secara tak langsung menstimulasi kita untuk memberdayakan diri dan menjalani hidup dgn penuh. Namun, pola ini dapat terbentuk bila kita memegang teguh prinsip keutuhan dalam memberi. 

Jangan hanya seadanya, apalagi memanfaatkan sisa untuk dijadikan pemberian. Jangan juga menghitung dampaknya, supaya energi kita dapat sepenuhnya difokuskan untuk berupaya mencapai keutuhan dalam memberi. 

Dengan keutuhan dalam memberi, secara tak langsung kita mencukupkan kebutuhan dasar, mencukupkan rasa aman dan nyaman dalam diri kita, sehingga kita siap berproses di puncak hirarki kebutuhan manusia, yaitu untuk mencapai aktualisasi diri. 

Mencukupkan kebutuhan bukan berarti sebuah pengabaian pada kebutuhan itu sendiri. Memberi dgn utuh bukan berarti mengorbankan semua yg kita miliki hingga kita mengabaikan kebutuhan dasar kita. 

‘’Mencukupkan” bermakna tak berlebihan menikmati pemenuhan satu kebutuhan hingga kita terlena dan enggan beranjak memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Mencukupkan, lebih berarti mengambil kontrol atas diri kita sehingga kita tak menjadi budak dari kebutuhan dalam diri. 

Artinya, kita beranjak dari pasivitas menuju aktivitas. Contohnya, ketika kita memilih menjadi volunteer sekolah gratis alih-alih memanfaatkan waktu di akhir minggu untuk mengambil pekerjaan tambahan yg berbayar. 

Aktivitas memberi waktu dan ilmu ini membuat kita mencukupkan kebutuhan mau rasa aman secara finansial. Kecukupan ini membuat kita memberi dgn utuh dan bukannya memberi apa yg tersisa. 

Dalam proses ini, kita telah membebaskan diri dari desakan pemenuhan kebutuhan dan berkesempatan mencapai potensi tertinggi yg dimiliki. 

Setelah sampai pada pemaknaan memberi yg lebih dari sekadar penghibur hati, sekarang waktunya kita mengambil peran untuk mencapai sebuah keseimbangan dalam hidup. 

Sempurnakan juga cara kita memberi sehingga membawa kita pada kesempatan mencapai aktualisasi diri.

Selamat menikmati prosesnya!

 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut dapat dilakukan dgn mengubungi redaksi Oase.id 

(SBH)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangMencapai Aktualisasi Diri dgn Memberi . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.