Membahas tentangPengorbanan Sebagai Ekspresi Cinta

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentangPengorbanan Sebagai Ekspresi Cinta,

Oase.id- Sejak kecil, kita mengenal jenis cinta yg sangat spesial terkemas dalam kisah Nabi Ibrahim As. Rasa cintanya kepada Allah Swt termanifestasi melalui cara berpikir, bertindak, dan berbuat di kesehariannya.

Salah satu ekspresinya yg tercatat oleh sejarah di 10 Zulhijah yg lampau, menginspirasi manusia untuk mendalami makna cinta melalui sebuah pengorbanan. Sejak itu, cinta dan pengorbanan memiliki ikatan yg tak tampak, namun begitu kuat sehingga sulit terpisahkan.

Waktu berlalu, dan setiap zaman menuliskan kisah cinta terhebat versinya sendiri. Sebut saja Laila-Majnun dan Romeo-Juliet, mereka terpisah jarak dan zaman namun tetap dgn ekspresi cinta yg sama, yg identik dgn sebuah pengorbanan.

Tentunya, kedua kisah fiksi tersebut tak dapat dikomparasikan dgn kisah Nabi Ibrahim As. Cinta nabi kepada Tuhannya memiliki makna dan ekspresi yg jauh berbeda dgn cinta pada sesama manusia. Namun, pengorbanan telah menjadi bagian dari formulasi cinta yg tak terelakkan sehingga memandu para pemikir untuk menciptakan kisah cinta yg serupa.

Pesan itu terus tersampaikan hingga saat ini. Kita mengenalnya dalam rangkaian kalimat sederhana, “cinta ialah pengorbanan.”

Konsep yg diwariskan dari masa ke masa ini tentunya mau disertai perubahan akibat pengalaman dan pemaknaan yg berbeda-beda. Belum lagi, setiap orang memiliki model mentalnya masing-masing dalam memahami konsep cinta dan pengorbanan.

Di masa kini, mungkin saja seorang perempuan rela mengorbankan mimpi dan kariernya sebagai bentuk ekspresi cinta pada keluarganya. Atau bagi seorang remaja, pengorbanan dalam mencintai ditunjukkan dgn mengorbankan persahabatan demi pasangannya. Beberapa lainnya, menentang keras sebuah pengorbanan yg dilakukan atas dasar cinta.

Baca: Mencapai Aktualisasi Diri dgn Memberi

Bagi mereka, cinta seharusnya menyempurnakan, bukannya melemahkan. Lantas bagaimana posisi pengorbanan dalam proses mencintai?

 

Pengorbanan berbeda dgn pemberian

Saat mencintai seseorang, ada kebutuhan dalam diri kita untuk menyampaikan rasa cinta dan membahagiakan mereka. Seorang ibu membelikan mainan untuk anaknya, seorang teman memberikan bantuan pada temannya, seorang anak menciptakan puisi untuk ayahnya, dan lain sebagainya.

Segala upaya itu ialah sebuah pemberian. Pemberian terhadap orang yg kita cintai dan terhadap diri sendiri.

Kita memberi sesuatu yg dapat membahagiakan orang lain, dan kita memberi kesempatan pada diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan mencintai. Namun, apabila seorang ibu memberi mainan untuk anaknya dgn uang yg seharusnya digunakan untuk berobat, maka tindakan memberi itu menjadi sebuah pengorbanan.

Inilah perbedaan antara memberi dan berkorban. Pengorbanan mengkondisikan kita untuk melepaskan apa yg kita sukai, butuhkan, dan cintai (passive sacrifice), atau melakukan sesuatu yg tak kita sukai, maukan dan cintai (active sacrifice) untuk kebaikan orang lain.

 

Memberi dan mengorbankan merupakan bentuk dari ekspresi cinta yg diyakini dapat mengantarkan kita ke level cinta yg lebih tinggi. Kurangnya pemahaman atas perbedaan keduanya dapat membuat kita merasa menjadi korban atas segala sesuatu yg kita anggap sebagai pengorbanan, atau merasa kurang dapat mencintai sebab menganggap setiap upaya yg kita lakukan belum dapat disebut sebagai pengorbanan.

 

Sebab-sebab pengorbanan

Jika kita dapat mengekspresikan cinta dgn memberi, mengapa harus berkorban?

Ahli Psikologi sosial J.W. Thibaut dan H. Kelley mengungkapkan, terdapat 2 faktor yg mendorong seseorang untuk melakukan pengorbanan dalam sebuah hubungan, yaitu, komitmen yg dibangun dan kemauan adanya timbal balik pengorbanan yg dilakukan pasangannya. Seseorang dgn komitmen hubungan yg tinggi memiliki kecenderungan lebih besar untuk bersedia berkorban.

Ada kepuasan yg dimunculkan ketika seseorang dapat menegaskan komitmennya melalui sebuah pengorbanan. Pengorbanan dalam sebuah hubungan juga seringkali disertai dgn harapan besar mau sikap serupa yg ditampilkan oleh pasangan. Sebagian orang mau berkorban sebab adanya harapan mau pengorbanan yg dilakukan juga untuknya. Harapan ini membuat seseorang merasakan rasa aman sebab adanya jaminan timbal balik ketika mereka berkorban dalam sebuah hubungan.

Namun, tak selamanya pengorbanan yg dilakukan berdampak positif bagi psikologis seseorang.

Coba kita baygkan bagaimana bila seorang istri mengorbankan fisiknya dgn menerima kekerasan dari suaminya dgn harapan suaminya dapat menyadari pengorbanan yg dilakukan dan tak meninggalkannya. Dalam situasi ini, ia telah menggunakan pengorbanan sebagai syarat supaya terhindar dari penolakan dan kehilangan. Terjadi pergeseran yg signifikan pada konsep awalnya.

Idealnya, pengorbanan ialah ekspresi dari rasa cinta dan bukannya prasyarat untuk tak kehilangan cinta. Ketika terdapat deviasi dalam pemahaman ini, maka sebuah pengorbanan hanya mau memberikan dampak negatif bagi seseorang.

Baca: White Lies Alias Berbohong untuk Menyenangkan Orang Lain, Bolehkah?

 

Pengorbanan dgn upaya menghindari kehilangan cinta atau rasa tak nyaman hanya mau membuat kita mengkerdilkan kelayakan diri untuk dicintai. Kita melakukannya dgn rasa takut mau kehilangan sesuatu yg sedang kita upayakan. Kita juga mengambil beban lebih dgn berupaya mengontrol bagaimana seharusnya sikap dan perasaan orang lain terhadap kita.

Selain itu, semakin banyak bentuk pengorbanan bersyarat yg kita berikan, maka semakin besar kemungkinan kita menjadi dependen dalam sebuah hubungan. Hal ini disebabkan oleh besarnya sumber daya diri yg kita serahkan untuk memenuhi persyaratan.

Kita menjadi kurang memiliki kendali dan bergantung pada respon yg mau kita terima. Padahal seharusnya, pengorbanan dilakukan sebab komitmen atas cinta yg kita rasakan.

Contohnya, seperti seorang ibu yg berkorban untuk anak-anaknya. Pengorbanannya tak dimulai dari rasa takut mau kehilangan cinta anak-anaknya. Pengorbanannya ialah ekspresi dari rasa cinta yg dirasakannya.

Pada dasarnya, apapun yg kita korbankan, pengorbanan ialah sebuah proses mental. Kita bukan hanya melepaskan sesuatu yg kita suka atau melakukan sesuatu yg tak kita suka, tapi juga mengizinkan jiwa kita berproses dgn dinamika rasa yg diciptakan dari proses tersebut.

Sedikit penyimpangan dalam memaknai cinta dan pengorbanan dapat mengubah sepenuhnya dampak dari pengorbanan itu sendiri bagi jiwa kita. Untuk itu dalam mencintai dibutuhkan kesadaran yg penuh sehingga lebih mudah bagi kita untuk memaknai setiap proses dgn sebaik-baiknya.

Emily A. Impett menegaskan pentingnya memahami motif dari pengorbanan yg hendak kita lakukan. Apakah pengorbanan yg kita lakukan berangkat dari dan membuat kita mendapat sesuatu yg positif (positive outcome) atau menghindari sesuatu yg negatif (avoidance).

Apabila kita berkorban untuk menghindari kehilangan atau penilaian negatif dari pasangan kita, maka pengorbanan yg dilakukan mau lebih berpotensi membawa dampak negatif bagi kita.

Mari kembali sejenak pada konsep pengorbanan dalam cinta kepada Allah yg dicontohkan dgn begitu indahnya oleh Nabi Ibrahim As. Kita sebagai umat Muslim juga memiliki pilihan berkurban sebagai upaya mengekspresikan cinta kepada Allah Aqt.

Sebagaimana dijabarkan sebelumnya, sebuah pengorbanan pastinya disertai motif yg melatar belakanginya. Teori behavioristik mau memaknai pengorbanan ini dgn formula sederhana perilaku (berkurban) diperkuat oleh konsekuensi positif (mendapat pahala).

Namun, bila ditelurusi lebih jauh, konsekuensi positif tak segera diterima setelah kita berkorban. Tidak ada bukti konsekuensi positif yg kita terima secara fisik setelah berkurban. Hal ini menunjukkan adanya motif lain yg menyertai pengorbanan kita, sebuah latar belakang keyakinan yg kita pegang.

Latar belakang ini membuat pengorbanan yg kita lakukan berbuah ketenangan, kepuasan diri, dan kenyamanan dalam diri setelah melakukannya.

Pada akhirnya kita dapat menyepakati bahwa sama dgn memberi, berkorban dapat menjadi ekspresi rasa cinta yg membawa dampak positif bagi kita. Namun, kita perlu berhati-hati dgn motif yg mendasarinya. Jangan lupa untuk bertanya pada diri sendiri, “apa yg sebenar-benarnya membuat saya mau melakukannya?”

 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut dapat dilakukan dgn mengubungi redaksi Oase.id 

(SBH)

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentangPengorbanan Sebagai Ekspresi Cinta . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.