Setiap disebutkan kata kuburan, umumnya yg terlintas dalam benak pikiran ialah rasa takut, khawatir, dan cemas. Perasaan inilah yg oleh sebagian kalangan mau ditepis dan dihilangkan dgn cara membuat kuburan tampak terlihat ramah dgn dibangun (dikijing) dan diperindah supaya orang yg melewati kuburan menjadi lebih tenang dan tak takut. Bahkan ada juga yg mengecat kuburan dgn beraneka warna, hingga kuburan yg awalnya menyeramkan, justru dipandang sebagai objek seni yg indah.
Â
Lantas bagaimana syariat menyikapi realitas tersebut?
Â
Rasulullah pernah bersabda dalam salah satu haditsnya:
Â
مَا رَأَيْت٠مَنْظَرًا قَطّ٠إÙلَّا وَالْقَبْر٠أَÙْظَع٠مÙنْهÙ
Â
“Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yg paling menakutkan†(HR. Ahmad).
Â
Berdasarkan hadits tersebut, kuburan sejatinya memang dicirikan sebagai tempat yg menyeramkan. Hal ini tak lain ditujukan supaya orang yg melihat dan menziarahi kuburan dapat mengambil iktibar dari keadaan orang yg telah meninggal, sehingga ia semakin bertambah ketakwaannya dan semakin mempersiapkan bekal dalam menghadapi kematian.
Â
Tidak heran bila Rasulullah melarang membangun kuburan dan memperindahnya dgn diplester. Dalam hadits dijelaskan:
Â
«ﻧﻬﻰ ïºïº³ï»®ï» Ø§ï»Ÿï» ï»ª ïº»ï» ï»° Ø§ï»Ÿï» ï»ª ï»‹ï» ï»´ï»ª ï»ïº³ï» ﻢ ﺃﻥ ï»³ïº ïº¼ïºº اﻟﻘﺒﺮ، ï»ïºƒï»¥ ﻳﻘﻌﺪ ï»‹ï» ï»´ï»ªØŒ ï»ïºƒï»¥ ﻳﺒﻨﻰ ï»‹ï» ï»´ï»ªÂ»
Â
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang buat memplester kuburan, duduk di atasnya dan membangun kuburan†(HR Muslim).
Â
Larangan dalam membangun kuburan (jawa: mengijing) ini oleh para ulama diarahkan pada hukum makruh ketika tak ada hajat dan jenazah dikuburkan di tanah milik pribadi. Berbeda halnya bila mayit dikuburkan di pemakaman umum, maka hukum membangun kuburan ialah haram dan wajib buat membongkar bangunan tersebut, sebab mau berdampak pada memonopoli tanah yg sebenarnya digunakan secara umum. Dalam kitab Fath al-Mu’in dijelaskan:
Â
وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصØØ© النهي عنه بلا Øاجة كخو٠نبش أو ØÙر سبع أو هدم سيل.
Â
ومØÙ„ كراهة البناء إذا كان بملكه Ùإن كان بناء Ù†Ùس القبر بغير Øاجة مما مر أو Ù†ØÙˆ قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدÙÙ† Ùيها عر٠أصلها ومسبلها أم لا أو موقوÙØ© Øرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمØاق الميت ÙÙيه تضييق على المسلمين بما لا غرض Ùيه.
Â
“Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, bila membangun kuburan dgn tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yg biasa digunakan masyarakat setempat buat mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut mau menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan mau menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan†(Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal. 219).
Â
Di samping itu, kemakruhan membangun kuburan di tanah pribadi ini hanya berlaku ketika tujuan dari membangun bukan buat menghias (tazyin) atau mempermegah kuburan. Misal sebab bertujuan menandai kuburan satu dgn yg lainnya, atau tak bertujuan apa-apa, hanya sebatas mau membangun saja. Jika tujuan dari membangun ialah menghias dan memegahkan kuburan, maka hukum membangun ini meningkat menjadi haram. Seperti yg disampaikan dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah:
Â
يكره أن يبنى على القبر بيت أو قبة أو مدرسة أو مسجد أو Øيطان – إذا لم يقصد بها الزينة والتÙاخر وإلا كان ذلك Øراما
Â
“Makruh membangun pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, masjid, atau tembok, ketika tak bertujuan buat menghias dan memegahkan, bila sebab tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi haram†(Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 536).
Â
Perincian hukum membangun pada kuburan di atas, dikecualikan ketika mayit ialah orang yg shaleh, ulama atau dikenal sebagai wali (kekasih Allah), maka boleh makam tersebut diabadikan dgn dibangun supaya orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. Meskipun makam orang soleh ini berada di pemakaman umum. Dalam Hasyiyah Ianah Ath–Thalibin:
Â
ï»—ïº’ï»®ïº Ø§ï»Ÿïº¼ïºŽï»Ÿïº¤ï»´ï»¦ ï»³ïº ï»®ïº¯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ï»ï»Ÿï»® ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎïºïº“ ï»Ø§ï»Ÿïº˜ïº’ﺮﻙ. ï»—ïºŽï» Ø§ï»Ÿïº¤ï» ïº’ï»²: ï»ï»Ÿï»® ﻓﻲ ï»£ïº´ïº’ï» ïº”ØŒ ï»ïºƒï»“ﺘﻰ ﺑﻪ
Â
“Makam para ulama boleh dibangun meskipun dgn kubah, buat menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata: ‘Meskipun di lahan umumâ€, dan ia memfatwakan hal itu (Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath–Thalibin, juz 2, hal. 137).
Â
Alasan di balik pelarangan membangun kuburan ini ialah sebab dalam membangun kuburan terdapat unsur menghias kuburan atau mempermewah kuburan. Selain itu, menurut Imam al-Qulyubi, membangun kuburan merupakan bentuk menghambur-hamburkan harta tanpa adanya tujuan yg dibenarkan oleh Syara’, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah Umairah:
Â
ï»—ïºŽï» Ø§ï»·ïº‹ï»¤ïº”: ï»ïº£ï»œï»¤ïº” اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺘﺰﻳﻴﻦ ﺃﻗﻮï»: ï»ïº‡ïº¿ïºŽï»‹ïº” Ø§ï»Ÿï»¤ïºŽï» ï»Ÿï»ï»´ïº® ï»ïº®ïº½ ﺷﺮﻋﻲ
Â
“Para ulama berkata, ‘Hikmah (alasan) larangan membangun kuburan ialah menghias.’ Saya (Umairah) katakana, ‘Juga sebab menghamburkan harta tanpa tujuan yg dibenarkan syari’at’,†(Ahmad al-Barlasi al-‘Umairah, Hasyiyah Umairah, juz 1, hal. 441).
Â
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membangun kuburan (mengijing) hukum asalnya ialah makruh ketika dibangun di tanah pribadi, selama tak bertujuan buat menghias dan memegahkan kuburan. Sedangkan bila kuburan berada di tanah milik umum, maka hukum membangunnya ialah haram dan wajib buat dibongkar. Perincian hukum ini, dikecualikan ketika makam tersebut ialah makam ulama atau orang yg saleh, maka boleh dan tak makruh membangun makam tersebut supaya dapat diziarahi oleh khalayak umum.
Â
Setelah mengetahui perincian hukum tersebut, alangkah baiknya tatkala kita melihat salah satu makam keluarga kita yg berada di pemakaman umum (bukan tanah pribadi) dan masih saja di bangun (dikijing), supaya secara sukarela membongkarnya demi kemaslahatan bersama. Sebab pemakaman umum berlaku buat masyarakat secara umum, bukan monopoli perseorangan, apalagi sampai mengurangi kapasitas pemakaman masyarakat setempat sebab banyaknya kuburan yg dibangun.
Â
Namun dalam penerapan hal demikian pada kuburan orang lain yg bukan keluarga kita, alangkah baiknya bila hukum demikian disampaikan secara santun dan bijaksana, sebab hal ini merupakan persoalan yg sensitif.  Apabila dirasa ketika hukum demikian disampaikan kepada orang lain dan diyakini menyebabkan perpecahan dan kemudaratan yg lebih besar ketimbang maslahat yg ada, maka lebih baik tak disampaikan, dgn tetap berusaha mengupayakan cara yg lebih baik. Wallahu a’lam.
Â
Â
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember