Hadirin Jamaah Idul Fitri yg BerbahagiaÂ
Pada pagi hari ini marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yg telah melimpahkan beraneka karunia kepada kita sekalian. Anugerah berupa kesehatan, keimanan dan keislaman. Sungguh ketiga hal ini inilah yg menjadikan kita mampu mensyukuri nikmat di pagi yg indah ini dgn penuh hikmat.<>
Tanpa ketiganya, takkan mungkin kita dapat berkumpul di sini, bertemu muka dalam suasana penuh kebahagiaan dan kekeluargaan buat merayakan kemenangan. Sungguh kita telah memenangkan ujian dari Allah pada bulan Ramadhan kemarin. Sungguhpun bila kita menangisi kepergian Ramadhan, namun kita tetap patut bersyukur, sebab Ramadhan telah mengajarkan kita buat mengerti dan turut merasakan setitik kesengsaraan para fuqoro dan masakin.
Saudara-saudara, Ramadhan kemarin telah mengajarkan kita buat berbagi kebahagiaan dan dgn orang lain yg mungkin tak seberuntung kita. Mereka yg buat makan saja harus bersusah payah membanting tulang dan memeras keringat. Sehingga kita benar-benar merasa pilu manakala kemarin mendengarkan berita-berita yg menyayat. Hanya sebab mau mendapatkan sumbangan yg nilainya tak seberapa bagi orang-orang kaya, ternyata mereka harus mempertaruhkan nyawa.
Â
Kenyataan ini tentu saja menuntut kita buat mengoreksi kembali kepedulian kita. Sudahkah selama ini kita memiliki kepedulian terhadap mereka? Jika telah, maka pertanyaan selanjutnya ialah, cukupkah kepedulian kita selama ini buat membantu meringankan beban hidup mereka? Jika telah cukup, maka pertanyaan selanjutnya ialah, apakah selama ini kita dapat meringankan beban mereka dgn ikhlas? Sampai di sini, hanya diri kita sendirilah yg dapat menjawabnya.
Ramadhan kemarin benar-benar memberikan pelajaran yg sangat berharga bagi kita. Jika kita mengaku beriman dgn sebenarnya, maka kita pasti mau mengaca pada diri kita sendiri, telahkan kita memiliki kepedulian tanpa menyengsarakan?
Â
Betapa pun, bila keikhlasan hanya dapat kita rasakan sendiri, maka sebuah sikap tentu dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Pertanyaannya ialah, apakah selama ini kita dapat memberikan sedekah dgn cara-cara yg â€eleganâ€? Apakah cara kita memberikan sedekah tak mengurangi harga diri mereka? Apakah setelah menerima sedekah, mereka masih memiliki sisa harga diri di hadapan kita?
Jika jawabnya ialah tak, maka mestinya kita instrospeksi diri, benarkah Allah memerintahkan kita buat besedekah, berzakat atau menolong orang hanyalah buat membuatnya kehilangan jati diri? Ramadhan kemarin benar-benar perenungan nyata.
Mungkin beberapa cuplikan ayat berikut ini dapat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
â€Jika kamu menampakkan sedekah, maka ini juga baik. Namun bila kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan ialah lebih baik bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2:271)
Ayat ini menunjukkan bahwa bersedekah tanpa membuat publikasi justru lebih baik ketimbang kita bersedekah dgn mengundang para wartawan. Meskipun seandainya sedekah yg kita berikan memang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.
Maka bila ramadhan kemarin kita benar-benar dapat menghayati makna puasa, tentu pada Idul Fitri sekarang ini dan pada hari-hari ke depan kita dapat memperbaiki sikap kita kepada orang lain. Kita dapat lebih menghargai para hamba Allah yg lain. Bukan sebab misalnya kita lebih kaya, lalu kita berhak menghina orang lain. Bukan sebab kita merasa lebih kuat, lalu kita dapat menindas orang lain. Dan seterusnya.
Hadirin Sekalian yg Berbahagia
Jika kita mau kembali pada kesucian, maka kita semestinya mampu menjadikan momen- momen Ramadhan kemarin sebagai sebuah I’tibar atau pelajaran buat menjalani kehidupan ke depan. Jika setelah Ramadhan kita dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik secara agama dibandingkan tahun lalu, maka inilah alamat keberkahan Ramadhan. Namun bila sebaliknya, setelah Ramadhan kita justru menjadi lebih buruk dibanding sebelum Ramadhan, maka berarti keberkahan Ramadhan tak pernah menghampiri kita.Â
Setelah Idul Fitri ini, kita harus mampu memberikan sedekah dan berbagi kepada orang lain tanpa mengurangkan harga diri yg kita beri. Karena demikianlah Ramadhan kemarin mengajarkan pada kita. Kita harus mampu memberi tanpa membuat harga diri orang lain jatuh.
Dahulu Nabiyullah Sulaiman, seorang raja yg kaya raya bahkan pernah kedatangan tamu yg mau memberikan sedekah. Lebih tepatnya buat saat ini ialah upeti atau mungkin suap. Karena si pemberi sedang memiliki kebutuhan dgn sang Nabi Sulaiman. Ini artinya sang pemberi sedekah berada dalam posisi yg lebih rendah sementara sang penerima sedekah berada dalam posisi yg lebih tinggi.
Namun demikian, sikap dan cara penyampaian dapat menjadikan sang penerima, yg semula lebih tinggi dapat mengalami penurunan derajat. Firman Allah tentang cerita Nabi Sulaiman ini diabadikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Naml ayat 36.
Ketika serombongan utusan yg disertai berbagai macam hadiah telah sampai kepada Nabi Sulaiman, maka Sulaiman berkata, â€Apakah (patut) kamu menolong aku dgn harta? maka apa yg diberikan Allah kepadaku lebih baik ketimbang apa yg diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dgn hadiahmu.â€
Pertanyaan Nabi Sulaiman semacam ini tentu saja membuat kecut perasaan para utusan tersebut. Utusan dari negeri seberang ini tersadar, seolah mereka dibuat malu sebab dianggap mencoba menghinakan sekelompok kaum yg diperintah oleh seorang raja kaya dan bijak dgn rasa syukur yg teramat tinggi di hadapan Allah.
Dengan demikian upaya peremehan kepada Nabi Sulaiman beserta seluruh rakyat negerinya oleh para pembesar dari negara lain pun gagal total.
Kisah ini, sungguh memberikan ilustrasi perenungan yg teramat dalam kepada kita. Betapa semestinya kita tak mudah dihinakan oleh mereka yg datang dgn membawa segepok sedekah yg belum tentu bermanfaat secara produktif kepada kita. Dan betapa semestinya bila kita memberi sedekah, janganlah sampai merendahkan orang-orang yg mau menerima sedekah kita.
Karena yakinlah, bahwa sedekah kita sama sekali tak berarti dibandingkan karunia yg diberikan kepada kita oleh Allah. Seberapa pun berbagi, taklah perlu berpamer-pamer, apatah lagi sampai merasa bangga di hadapan Allah. Karena di sinilah terdapat jebakan syetan kepada para hamba.
Hadirin sekalian yg dimuliakan Allah SWT
Karena itulah, pada kesempaytan yg berbahagia ini, mari kita bersama-sama menginstropeksi diri kita masing-masing. Semoga setiap kesalahan yg pernah kita lakukan pada bulan-bulan lalu dapat kita tinggalkan dan semoga segenap kebaikan yg kita tingkatkan pada bulan Ramadhan kemarin dapat kita pertahankan. Dengan demikian maka kita sedang menaiki tangga insan kamil, tangga menuju kesempurnaan kemanusiaan di hadapan Allah SWT.
Meski Ramadhan telah meninggalkan kita, namun kita harus senantiasa mampu mengekang hawa nafsu yg membawa kita menuju kehinaan dalam hidup. Sebagaimana firman Allah :
Aku tiada melepaskan Nafsuku, sebab nafsu menyuruh pada keburukan. (QS. Yusuf : 53)
Jika nafsu dapat kita kendalikan, maka mestinya kita pun mau senantiasa menjadi manusia yg pemurah dan pemaaf. Sehingga kita dapat saling memaafkan di antara sesama anak manusia, di antara sesama umat Islam dan di antara sesama saudara dan tetangga. Karena demikianlah pesan penting dalam Idul Fitri, yakni saling memaafkan agak kehidupan manusia dapat kembali berjalan dgn normal dan penuh rasa kasih sayg di antara sesamanya.
Semoga dgn kita saling memaafkan, maka Allah mau mengampuni dosa-dosa kita sekalian, dosa-dosa yg terdahulu maupun dosa-dosa yg mau datang. Sehingga negeri ini dapat menjadi negeri dambaan yg senantiasa diberkahi Allah, kampung-kampung dan kota-kota dapat menjadi baldatun toyyobatun wa robbun ghofuur.Selamat Idul Fitri 1429 H.