Mengurai Makna Fitrah di Tengah Arus Perubahan & Dinamika Kehidupan

Oleh : H. Khoirul Huda Basyir, Lc, M,Si


Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Majelis Ulama Indosesia, Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia dan Pegawai Departemen Agama RI.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ 3 X لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَالله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد ، الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِْعمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أنْ هَدَانَا الله ُ ، أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيُ خَصَّنَا بِخَيْرِ كِتَابٍ أُنْزِلَ وَأَكْرَمَنَا بِخَيْرِ نَبِىٍّ أُرْسِلَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النٍّعْمَةَ بِأَعْظَمِ دِيْنِ شَرْعٍ دِيْنِ اْلإسْلاَمِ ، أليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإسْلَمَ دِيْنًا ، وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَتَرَكَنَا عَلىَ اْلمَحَجَّةِ اْلبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا ، لاَيَزِيْغُ عَنْهَا إلاَّ هَالِكٌ, أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ الطَّاهِرِيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . أمَّا بَعْدُ,

فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ, وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ, قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ :

Hadirin sidang Jamaah Idul Fitri yg Dimuliakan Allah
Dalam suasana pagi hari yg khidmat berselimut rahmat dan kebahagiaan ini, marilah kita senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala curahan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua, sehin<>gga di pagi hari yg cerah ini kita dapat menunaikan sholat ‘dul Fitri dgn khusyu’ dan tertib.

Hari ini, takbir dan tahmid berkumandang di seluruh penjuru dunia, mengagungkan asma Allah SWT. Gema takbir yg disuarakan oleh lebih dari satu setengah milyar umat manusia di muka bumi ini, menyeruak di setiap sudut kehidupan, di masjid, di lapangan, di surau, di kampung-kampung, di gunung-gunung, di pasar, dan di seluruh pelosok negeri umat Islam.

Pekik suara takbir itu juga kita bangkitkan disini, di bumi tempat kita bersujud dan bersimpuh ke hadirat-Nya. Iramanya memenuhi ruang antara langit dan bumi, disambut riuh rendah suara malaikat nan khusyu’ dalam penghambaan diri mereka kepada Allah SWT. Getarkan qalbu (hati) mukmin yg tengah dzikrullah, penuh mahabbah, penuh ridha, penuh roja’ (pengharapan) mau hari perjumpaannya dgn Sang Khaliq, Dzat yg mencipta jagat raya dgn segala isinya.

Kumandang takbir dan tahmid itu sesungguhnya ialah wujud kemenangan dan rasa syukur kaum muslimin kepada Allah SWTatas keberhasilannya meraih fitrah (kesucian diri) melalui mujahadah (perjuangan lahir dan batin) dan pelaksanaan amal ibadah selama bulan suci Ramadhan yg baru berlalu. Allah SWT menegaskan :


وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yg diberikan kepada kamu semoga kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. al-Baqoroh : 185)

Islam sesungguhnya telah mengajarkan takbir kepada umatnya, supaya ia senantiasa mengagungkan asma Allah SWT kapanpun dan di manapun, saat adzan kita kumandangkan takbir, saat iqamah kita lafalkan takbir, saat membuka shalat kita ucapkan takbir, saat bayi lahir kita perdengarkan kalimat takbir, saat menyembelih hewan kita baca takbir, bahkan saat di medan laga perjuangan, kita juga mengumandangkan suara takbir.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Dalam suasana kemenangan ini, marilah kita menghayati kembali makna kefitrahan kita, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifatullah fil ardli. Idul Fitri yg dimaknai kembali kepada kesucian ruhani,’ atau ‘kembali ke asal kejadian manusia yg suci, atau ‘kembali ke agama yg benar’, sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa setiap orang yg merayakan Idul fitri berarti dia sedang merayakan kesucian ruhaninya, mengurai asal kejadiannya dan menikmati sikap keberagamaan yg benar, keberagamaan yg diridlai Allah swt.

Di sinilah sesungguhnya letak keagungan dan kebesaran hari raya Idul fitri, Hari di mana para hamba Allah merayakan keberhasilannya mengembalikan kesucian diri dari segala dosa dan khilaf melalui pelaksanaan amal shaleh dan ibadah puasa Ramadhan, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yg berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan dilaksanakan dgn benar, maka ia diampuni dosa-dosanya yg telah lewat”. (HR. Imam Muslim).

Namun patut diingat, bahwa dosa atau kekhilafan antar sesama umat manusia, ia baru terampuni apabila mereka saling memaafkan, dan sebab itulah, mari kita jadikan momentum Idul Fitri yg suci ini buat saling meminta dan memberi maaf atas segala kesalahan antar sesama, kita buang perasaan dendam, kita sirnakan keangkuhan dan kita ganti dgn pintu maaf dan senyum sapa yg tulus penuh dgn persaudaraan dan kehangatan silaturrahim antar sesama.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Namun patut diingat, bahwa dosa atau kekhilafan antar sesama umat manusia, ia baru terampuni apabila mereka saling memaafkan, dan sebab itulah, mari kita jadikan momentum Idul Fitri yg suci ini buat saling meminta dan memberi maaf atas segala kesalahan antar sesama, kita buang perasaan dendam, kita sirnakan keangkuhan dan kita ganti dgn pintu maaf dan senyum sapa yg tulus penuh dgn persaudaraan dan kehangatan silaturrahim antar sesama.

Terkait dgn kemuliaan orang yg mampu mensucikan dirinya ini, Allah SWT menggambarkan dalam firman-Nya, Surat Al-Fathir, ayat 18-21 :

وَمَنْ تَزَكَّى فَإنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإلَى اللهِ الْمَصِيْرُ (18) وَمَا يَسْتَوِيْ اْلأَعْمَى وَاْلبَصِيْرُ (19) وَلاَ الظُّلُمَاتُ وَلاَ النُّوْرُ (20) وَلاَ الظِّلُّ وَلاَ اْلحَرُوْرُ (21).

“Barang siapa yg mensucikan dirinya, sesungguhnya dia telah mensucikan diri buat memperoleh kebahagiaannya sendiri. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu. Bukankah tak sama orang yg buta dgn orang yg melihat ? Bukankah pula tak sama gelap-gulita dgn terang-benderang ? Dan bukankah juga tak sama yg teduh dgn yg panas ?” (QS. al-Fathir : 18-21)

Pada ayat tersebut, Allah SWT membandingkan antara orang yg mampu mensucikan jiwanya dgn yg suka mengotorinya, laksana orang yg melihat dgn orang yg buta, laksana terang dan gelap, laksana teduh dan panas. Sungguh sebuah metafora yg patut kita renungkan. Allah seolah hendak menyatakan bahwa manusia yg suci, manusia yg baik, manusia yg menang dan beruntung itu, ialah mereka yg mau dan mampu melihat persoalan lingkungannya secara bijak dan kemudian bersedia menyelesaikannya, mereka yg mampu menjadi lentera di kala gelap, dan menjadi payung berteduh di kala panas. Mereka inilah pemilik agama yg benar, agama yg hanifiyyah wa al-samhah – terbuka, toleran, pemaaf, dan santun. Inilah agama tauhid, agama Nabi Ibrahim dan anak keturunannya : Ismail, Ishaq, Ya’kub, Yusuf, dan Nabi Muhammad saw.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Idul Fitri pada hakikatnya memberikan pesan kepada kita, bahwa syari’at Islam mengajarkan kepada kesucian, keindahan, kebersamaan dan mengarahkan umatnya memiliki kepedulian sosial yg tinggi. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, rukun dalam kebersamaan dan bersama dalam kerukunan. Segala kelebihan yg melekat dalam diri manusia dalam bentuk apapun, hendaknya disadari bahwa selain merupakan nikmat, ia juga sekaligus sebagai amanat.

Perbuatan yg indah mau melahirkan seni dan estetika, dan seni mau menghasilkan kreatifitas yg membangun dan menyejukkan. Perbuatan baik mau menimbulkan etika dan menciptakan tatanan kehidupan yg tertib dan harmonis, sementara kebenaran mau menghasilkan ilmu pengetahuan yg mengantarkan kemajuan peradaban umat manusia. Karenanya perubahan ke arah yg lebih baik hanya mau dapat diwujudkan oleh pribadi-pribadi yg dalam dirinya telah bersemi ke-Fitrah-an.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Oleh sebab Fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu berubah sebab pergaulan, sebab pengaruh budaya dan lingkungan, sebab latar belakang pendidikan dan sebab faktor-faktor lain, maka supaya Fitrah itu tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yg berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah dan teladan para ulama, pola kehidupan yg bersendikan nilai-nilai agama dan akhlak mulia, sehingga darinya diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yg memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta tangguh menjawab berbagai peluang dan tantangan kehidupan.

Karena itu, segala kebiasaan baik yg telah kita lakukan di bulan suci Ramadhan, baik ibadah shiyam, qiyamullail, tilawah dan tadabbur Al-Quran, peduli kaum dluafa, mengendalikan amarah dan hawa nafsu, menjaga kejujuran hendaknya tetap kita lestarikan dan bahkan kita tingkatkan sedemikian rupa supaya dapat menjadi tradisi yg mulia dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat kita, sehingga Fitrah yg telah kita raih di hari yg agung ini mau tetap terpelihara hingga ahir kehidupan kita. Marilah kita jadikan spirit ibadah puasa sebagai perisai diri kita dari godaan dan ujian kehidupan di masa-masa mendatang.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin sidang Jamaah Idul Fitri yg Berbahagia
Ibadah shaum pada hakekatnya merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya yg secara sengaja dilakukan buat mengubah perilaku setiap Muslim, menjadi orang yg semakin meningkat ketakwaannya. Melalui ibadah shaum -sebagai manusia yg memiliki nafsu dan cenderung mau selalu mengikuti hawa nafsu- kita dilatih buat mengendalikan diri supaya menjadi manusia yg dapat berprilaku sesuai dgn Fitrah aslinya. Fitrah asli manusia ialah cenderung taat dan mengikuti ketentuan Allah SWT. Melalui proses pencerahan yg terkandung dalam ibadah shaum diharapkan setiap muslim menjadi manusia yg di mana pun kehadirannya, terutama dalam masyarakat yg bersifat plural ini dapat memberi manfaat kepada sesama.

Risalah Islam sesungguhnya bukan hanya diperbuatkan bagi umat Islam saja, tetapi ajarannya juga syarat dgn nilai-nilai yg bersifat universal. Seperti ajaran yg menekankan pentingnya setiap muslim supaya mau dan mampu memberi manfaat kepada sesama. Dalam pandangan Islam, salah satu indikator kualitas kepribadian seseorang ialah seberapa besar kehadirannya mampu memberi manfaat kepada sesama, atau dalam bahasa lain semakin besar kemampuan seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, maka semakin unggul pula kualitas keberagamaannya. Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : خَيْرُ النَّاسِ أنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya “Sebaik-baik manusia (Muslim) ialah orang yg paling (banyak) memberi manfaat kepada manusia”. (HR. Al-Qudla’i)

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hal lain yg perlu kita sadari dalam mengarungi samudera kehidupan ini ialah, bahwa telah menjadi sunnatullaah bila kehidupan ini diwarnai dgn susah dan senang, tangis dan tawa, rahmat dan bencana, menang dan kalah, peluang dan tantangan yg acap kali menghiasi dinamika kehidupan kita. Orang bijak sering menyatakan, “hidup ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, pada waktu lain tergilas di bawah. Kemarin sebagai pejabat sekarang kembali menjadi rakyat, satu saat kaya, saat yg lain hidup sengsara, kemarin sehat bugar, saat ini berbaring sakit, bahkan mungkin tetangga kita, saudara kita, orang tua kita, suami/istri kita, anak-anak kita tahun kemaren masih melaksanakan shalat ‘id disamping kita, sekarang mereka, orang-orang yg kita cintai itu telah tiada dan kembali kehadirat-Nya. Kehidupan dunia ini tak ada yg kekal, ia mau terus bergerak sesuai dgn kehendak dan ketentuan Rabbul ‘Alamin.

Sebagai seorang mukmin, tentu tak ada celah buat bersikap frustasi dan menyerah kepada keadaan, mau tetapi ia harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah SWT, sebab sesungguhnya rahmat dan pertolongan-Nya mau senantiasa mengiringi hamba-hamba-Nya yg sabar dan teguh menghadapi ujian. Sebagai seorang mukmin, kita juga tak boleh hanyut dalam godaan dan glamornya kehidupan yg menipu dan fana ini.

Justru sebaliknya, orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebabilan, menebarkan marhamah, menegakkan da’wah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dgn penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankah Allah SWT telah berjanji :

وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنُ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ .

Artinya “Dan janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian orang-orang yg paling tinggi derajatnya bila kamu orang-orang yg beriman”. (QS. Ali Imran : 140).

Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali dalam Ihya Ulumuddin melukiskan para penghuni kehidupan dunia ini laksana seorang pelaut yg sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yg ditumpangi mau mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua kecemasan, antara mengingat perjalanan yg telah di lewati dgn rintangan angin dan gelombang yg menerjang dan antara menatap sisa-sisa perjalanannya yg masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu dapat mencapai keselamatan.

Tamsil tentang kehidupan ini hendaknya mengingatkan, supaya kita senantiasa berupaya memanfaatkan umur yg kita miliki dgn sebaik-baiknya, usia yg masing-masing kita miliki pasti masih mau tetap menghadapi tantangan, ujian dan selera kehidupan yg menggoda, sebabnya kita harus tetap mawas diri dan tak terbuai dgn nafsu angkara murka yg suatu saat dapat menjerumuskan kita dalam limbah kenistaan, kita pergunakan kesempatan dan sisa umur yg kita tak pernah tahu kapan mau berakhir ini buat memperbanyak bekal dan amal shaleh guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di alam dunia yg fana ini, maupun di alam akhirat yg kelal abadi.

Suatu saat Lukman Al Hakim, seorang shalih yg namanya diabadikan dalam Al-Qur’an pernah menyampaikan taushiyah kepada putranya:

َيا بُنَيَّ ! إنَّ الدُنْيَا بَحْرٌ عَمِيْقٌ وَقَدْ غَرَقَ فِيْهَا أُنَاسٌ كَثِيْرٌ ، فَاجْعَلْ سَفِيْنَتَكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ وَحَشْوُهَا الإيْمَانُ وَشَرَاعُهَا التَّوَكَّلُ عَلىَ اللهِ لَعَلَّكَ تَنْجُوْ.

“Wahai anakku, sesunguhnya dunia ini laksana lautan yg dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, oleh sebabnya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal buat mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakkal sebagai layarnya niscaya engkau mau selamat sampai tujuan”.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimbing kita semua supaya tergolong hamba-hambanya yg mampu meraih sertifikat kefitrahan di hari kemenangan yg agung ini, sehinnga kita layak mendapatkan penghargaan “Minal’aidin Walfaizin”, Semoga Allah SWT berkenan mencurahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia serta umat Islam pada umumnya buat senantiasa mengamalkan syariat-Nya, menghidupkan sunnah-sunnah Rasul-Nyaز

Semoga momentum Idul Fitri ini juga benar-benar mampu mengantarkan tatanan kehidupan kita yg berlandaskan nilai-nilai agama, akhlak karimah, kebersamaan dan kasih sayg guna terwujudnya ummat dan masyarakat Indonesia yg berharkat dan bermartabat, sejahtera dan berperadaban, baldatun thayyibatun warabbun ghafur, bangsa yg gemah ripah lohjinawi di bawah naungan ridla Allah SWT. Amin, Ya Mujiibassaailiin.

Bekasi, Penghujung Ramadhan 1429 H.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.