Menyoal Underlying Aset Rupiah Berjamin Emas via Aplikasi Dinaran

Tulisan ini bermula dari promosi aplikasi “Dinaran” yg mengampanyekan ‘membikin rupiah sebagai berjamin underlying aset emas’. Kampanye ini begitu gencar disebarkan lewat media sosial, sehingga memantik banyak pihak meresponnya. Pertanyaannya, mungkinkah hal itu dilakukan? Inilah fokus utama bahasan kita pada kesempatan tulisan kali ini.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, ada baiknya kita mengingat sabda Baginda Nabi Muhammad saw yg makna substansialnya ialah, bahwa emas dapat ditukar dgn emas, perak dgn perak, dgn syarat matsalan bi matslin (sepadan) dan yadan bi yadin (saling serah terima). Jika pertukaran itu dilakukan dgn barang yg berbeda jenis, maka beliau bolehnya melakukan pertukaran keduanya dgn ketentuan yadan bi yadin saja. 

Para fuqaha selanjutnya melabeli akad tersebut sebagai ‘aqdu sharf. Secara istilah, akad ini kemudian didefinisikan sebagai:

بيع كل واحد من عوضيه من جنس الأثمان، أو: هو بيع النقد بالنقد

Artinya, “Tukar-menukar sesuatu dgn sesuatu yg lain sesama kelompok barang berharga, atau jual beli nuqud (dinar dan dirham) dgn nuqud (dinar dan dirham).” (Al-Fiqhul Manhaji ‘alâ Madzhabil Imâmisy Syâfi’i, juz VI, halaman 94).

Perkembangan dari akad ini kemudian mengarah ke pertukaran antara emas dgn barang lain yg tak berbahan dasar emas dan perak. Akad yg berlaku berubah dari akad sharf menjadi akad jual beli. 

 

إن الناس في حاجة إلى كثير من السلع، ولا يستطيع كلّ منهم أن ينتج جميع ما يحتاج إليه منها، فكان لا بدّ من أن يبادل بعضهم بعضًا بهذه السلع، وهذا التبادل لا يحصل إذا لم يكن هناك تراضٍ عليه، وهذا التراضي هو عقد البيع

Artinya, “Sesungguhnya masyarakat membutuhkan banyak sekali barang-barang. Tidak semua orang dapat memproduksi sendiri segala hal yg dibutuhkannya itu. Oleh sebabnya, mereka butuh buat saling bertukar barang satu sama lain. Pertukaran ini tak mungkin terjadi tanpa adanya unsur saling ridla. Itu sebabnya akad saling ridla ini merupakan inti dari akad jual beli.” (Al-Fiqhul Manhaji, juz VI, halaman 11).

Seiring kedua entitas dinar dan dirham berbahan baku logam, maka timbul inisiatif kemudahan buat membawanya. Lalu terbitlah surat berharga yg berjamin emas, yg dalam perkembangannya surat itu berubah statusnya menjadi mata uang kertas berjamin emas (ber-underlying aset emas). Secara fikih, mata uang ini kemudian dikenal sebagai mâl duyûn (harta utang). 

الدين كونه وصفًا في الذمة فهذا من حيث تعلقه، فهو إما أن يتعلق بالذمة، وهو الدين أو يتعلق بشيء معين، وهو العين

Artinya, “Utang merupakan sebuah gambaran dari karakteristik (baca: kertas) suatu aset yg dijamin (baca: emas), khususnya bila dilihat dari sisi sifat itu dikorelasikan. Korelasi karakteristik ini (baca: kertas)  (1) adakalanya dgn jaminan itu sendiri, yakni utang; dan (2) adakalanya berkorelasi dgn aset tertentu, yakni barang (ain, baca: emas).” (Al-Mu’âmalatul Mâliyyah Ashâlah wa Mu’âshirah, juz I, halaman 155).

Dari mâl duyûn kemudian pada perkembangan berikutnya, sifat jaminan berupa materi emas itu dihilangkan, sehingga hanya tersisa sebagai surat berharga saja dgn bahan dasar yg terbuat dari kertas namun mendapatkan legitimasi atau pengesahan dari otoritas yg berwenang (baca: berhak) menerbitkan secara umum, yaitu negara. Hak umum memberikan legitimasi ini selanjutnya disebut sebagai hak materiil (al-haqq al-aini). Di kesempatan lain, hak ini juga disebut sebagai haqqul ma’nawi. 

Pengertian dari hak materiil ialah:

الحق العيني: سلطة مباشرة يقررها الشرع لشخص ما على عين مالية معينة يملك صاحبها أن يباشر حق التصرف بهذه العين بيعًا واستعمالًا واستغلالًا واستهلاكًا واحتباسًا دون وساطة أحد، ولذا لا يرى في الحق العيني سوى عنصرين بارزين هما: صاحب الحق، ومحل الحق. وأهم الحقوق العينية هو حق الملكية

Artinya, “Hak materiil merupakan suatu otoritas langsung yg ditetapkan oleh syara’ kepada seseorang atas suatu aset hartawi secara ditentukan. Pemilik otoritas berhak menggunakan secara langsung hak pengelolaan terhadap aset tersebut melalui jual beli, menggunakan, memanfaatkan, menghabiskan, menahan, tanpa perlu adanya perantara pihak lain. Karenanya, tak pernah dijumpai dalam hak materiil ini adanya unsur lain selain dari dua unsur pokok, yaitu: pemilik otoritas, dan tempat atau cara menjalankan otoritas. Yang paling penting dari hak materiil ialah hak kepemilikan (wewenang).” (Az-Zarqa, al-Madkhal ilâ Nadhâriyyatil Iltiazâmil ‘Âmmah, halaman 27).

Adapun yg dimaksud sebagai haq ma’nawi, menurut Syeikh Ali Khafif, ialah:

سلطة على شيء غير مادي، هو ثمرة فكر صاحب الحق أو خياله أو نشاطه، كحق المؤلف فيما ابتدعه من أفكار علمية

Artinya, “Otoritas atas sesuatu yg bersifat bukan materi, yaitu buah dari pemikiran pemilik hak atau daya imajinasinya, atau tugas pokok dan fungsinya. Misalnya hak penulis terhadap hasil pemikiran ilmiahnya.” (Ali Khafif, al-Milkiyyah, halaman 8).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka status mata uang yg memiliki underlying aset berupa legitimasi atau pengesahan dari pihak yg berwenang, di satu sisi dapat masuk kategori sebagai native money (uang murni/ ainul mâl) sebab yg dinilai ialah materiil bahannya yg terdiri atas kertas berharga. Namun, bila dilihat dari sisi keterbatasan pihak yg berwenang menerbitkan ialah harus negara, sehingga uang kertas itu harus mendapatkan pengesahan darinya, maka uang kertas tersebut dapat dipandang juga sebagai mâl ma’nawi (aset berjamin haq ma’nawi).

Apikasi Dinaran Assetkan Rupiah dgn Emas?
Keberadaan uang selaku native money atau uang dipandang sebagai mâl ma’nawi ialah sama-sama menempati harta berjamin (mâ fidzdzimmah) dgn jaminan terdiri atas hak. Jenis jaminan semacam ini hukumnya ialah sah secara fiqih, sehingga fungsinya juga dapat dijadikan alat tukar. 

Saat uang tersebut dibelikan emas lewat aplikasi online “Dinaran”, maka akad yg berlaku ialah akad pertukaran yg terdiri atas harga (tsaman) dan barang yg dihargai (mutsman). Karenanya, relasi itu tak dapat dipandang sebagai relasi antara surat kosong dgn penjaminnya. 

Alhasil, transaksi yg dilakukan di aplikasi “Dinaran” dgn dalih mengunderlyingassetkan uang kertas, pada dasarnya tak dapat dibenarkan secara syara’. Sebab, uang telah berharga sedari diterbitkan sebabh sah menjadi alat tukar. Jika uang yg beredar itu dianggap tak punya underlying asset, maka itu sama saja dgn mengatakan bahwa uang yg beredar di luar aplikasi “Dinaran” ialah dianggap sebagai harta ma’dûm (aset fiktif). 

Ada beberapa kemungkinan, promosi semacam ini dilakukan, antara lain:

1. sengaja hendak mengambil keuntungan lewat pengelabuan (taghrîr dan tadlîs) melalui kampanye mengunderlyingassetkan rupiah tersebut;
2. sengaja melakukan kebohongan dalam promosi buat merugikan (idlrâr) perusahaan lain yg memiliki pola bisnis yg sama dgn dirinya, misalnya Tabunganku oleh Pegadaian, E-Mas, atau beberapa marketplace besar di Indonesia.

 

Alhasil, hemat penulis kampanye mengunderlyingassetkan rupiah merupakan kebohongan atau merupakan tindakan yg tak jujur dalam promosi bisnis. kampanye mengunderlyingassetkan rupiah merupakan kebohongan atau merupakan tindakan yg tak jujur dalam promosi bisnis. Wallâhu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.