NKRI Bersyariah: Cuma Manifes Politik Kekecewaan

– Ijtimak Ulama bagian politik praktis? Benar! Jika tak ada pilgub DKI 2017, tak ada pilpres 2019, apakah Ijtimak Ulama bakal ada? Saya rasa tak mau pernah ada. Bermula dari kasus penodaan agama oleh Ahok, hingga dukungan penuh jargon Islamis kepada pasangan nol-dua, lahirlah Ijtimak Ulama.

Mulai dari Ijtimak Ulama I hingga Ijtimak Ulama IV, semuanya bermuatan politis. Pertautan antara keberpihakan massa Ijtimak Ulama dgn pemilu begitu kentara. Sangat susah buat tak mengatakan sebagai gerakan politis.

Motor Ijtimak Ulama terutama diisi oleh unsur aktivis politik (maaf, saya lebih suka menyebut Yusuf Martak CS sebagai aktivis politik, bukan ulama) FPI dan PA 212. Saya menilai, otoritas mimbar orasi-orasi politik mereka sebetulnya berada di tangan sang Imam Besar HRS. Dan, sang Imam Besar (konon) Umat Islam Indonesia merupakan Tuan dari FPI.

Ini dapat menjadi asumsi awal bahwa dominasi FPI dalam Ijtimak Ulama sebetulnya kuat. Jargon NKRI Bersyariah pun sebetulnya telah lama bertengger di pamflet-pamflet propaganda politis FPI sebelum adanya Ijtimak Ulama IV.

Aktivisme Front Pembela Islam seringkali bersinggungan dgn tokoh politik negeri ini dan tarik-ulur.

Beberapa catatan yg saya dapat dari artikel Aziz Anwar Fachrudin berjudul FPI dan Reinkarnasi Orba: Aliansi Sesaat atau Habib Rizieq yg Lupa? (islami.co, 2019) mengungkap betapa FPI sering duduk mesra dgn “politik” dan di lain waktu menendang “politik”. Menjauh-mendekat-nya FPI kepada politisi merupakan bentuk harakah politik ala FPI.

Baca Juga:  Jangan Salah, Tak Semua Warga Arab Saudi Itu Wahabi

Misalnya, sebut Aziz, pada pemilu 2009 FPI nyata mendukung Jusuf Kalla-Wiranto sebab kominten keduanya menjaga agama dari penodaan dan kesesatan. Tapi, selang empat tahun, FPI kecewa dan kecam Wiranto sebab ketum Hanura itu mendukung acara Miss World 2013.

Dan empat tahun berikutnya, ketika HRS tertimpa banyak kasus, ia bersilaturahmi ke rumah dinas Wiranto dan berkata, “Apa yg tadi disampaikan oleh Bapak Haji Wiranto itu sangat luar biasa dan itu merupakan hasil silaturahmi kami. Betul apa yg beliau katakan bahwa kami ini telah bersahabat cukup lama.”

Sekarang, bagaimana hubungan HRS dan Wiranto?

Fakta lain ialah kedekatan FPI dgn anak biologis dan ideologis Orde Baru Tommy Soeharto. Tommy dgn partainya bermisi melanjutkan program Bapak Orba. Lolos jadi peserta pemilu, Tommy ke Mekkah berkunjung ke HRS. Apa yg terjadi? HRS mendukung Partai Berkarya. Dan menyebutnya sebagai partai “nasionalis-Pancasilais”.

Padahal HRS pernah menulis dalam bukunya “Wawasan Kebangsaan: Menuju NKRI Bersyariah” (2012) konten berisi kecaman HRS terhadap praktik kekuasaan Orde Baru. Satu kalimatnya berbunyi, “Orde Baru telah menempatkan Pancasila bukan pada tempatnya.” Untuk lebih lengkap dapat baca buku itu pada halaman 8-9.

Baca Juga:  Pengasong Khilafah: Kenapa NU Menerima Pancasila? Ini Jawaban KH. Ubaidillah Shodaqoh

Jika dilacak lebih luas dan mendalam, mau banyak ditemukan betapa aktivisme FPI bukan sekadar ormas keagamaan yg melulu dakwah. Dan ini sah-sah saja, ketika satu ormas berafiliasi dan berpihak kepada satu tokoh atau partai politik. Menjadi absurd bila terang kerap melakukan manuver politik, tapi mengklaim murni dari politik.

NKRI Bersyariah yg menjadi salah satu rekomendasi atau putusan hasil Ijtimak Ulama IV sangat FPI-centris. Boleh jadi ide utama itu bergulir dari rahim FPI sendiri yg kemudian disepakati oleh forum Ijtimak Ulama IV.

Persoalan keulamaan dalam Ijtimak Ulama IV pun perlu ditegaskan. Apakah benar mereka yg hadir mewakili otoritas keulamaan Indonesia? Tampaknya tidak, sama sekali tidak. Term yg digunakan memang sangat menggugah sentimen khalayak muslim. Istilah “umat Islam” dan “ulama”, juga “tokoh Nasional” menjadi entri yg menonjol dalam forum kekecewaan atas hasil pilpres 2019 tersebut.

Namun, bila memang forum tersebut merupakan forum ulama, mengapa ulama dari Ormas Islam paling sepuh, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) tak diikutsertakan? Padahal nyaris segenap organisasi Islam global sangat mengakui kredibilitas keulamaan dua Ormas Islam ini.

Baca Juga:  Surat Cintaku Untuk Kakanda Felix Siauw

Bagaimana keterwakilan Muhammadiyah dan NU dalam forum-forum ilmiah Islam di dunia Internasional? Tak usah dipertanyakan. Kedua Ormas ini ialah yg diakui di dunia dibanding FPI, apalagi Ijtimak Ulama. Maaf.

Walhasil, bagi saya NKRI Bersyariah sekadar manifes politik kekecewaan atas pilpres 2019 kemarin. Kemungkinan besar, bila saja nol-dua pemenangnya, tak bakal ada Ijtimak Ulama IV yg, ah memang, keulamaan semisal Yusuf Martak sangat diragukan. Oleh sebab itu, saya sepakat dgn pernyataan Ketum ICMI Pak Jimly Asshiddiqie (detiknews, 7/8):

“Nggak usah dianggap serius lah. Orang lagi marah, orang lagi kecewa.”

Wallahul Muwaffiq.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.