Penamaan Hari Tarwiyah, Arafah & Keutamaannya

Dzulhijah selain sebagai puncak ibadah haji, juga merupakan hari-hari yg sangat bersejarah, tepatnya pada tanggal delapan dan sembilan, atau yg lebih dikenal dgn hari Tarwiyah dan hari Arafah. Pada hari tersebut semua umat Islam yg sedang melaksanakan ibadah haji berkumpul di tanah suci Makkah. Pada hari itu pula, Baitullah jamaah haji, mereka semua melebur menjadi satu, menghilangkan semua perbedaan dunia, dan menghapus segala sisa-sisa kemusyrikan dan kesombongan. Mereka berkumpul dari segala penjuru dubia sebagai manifestasi diri sebagai hamba Allah yg taat. Mereka yg telah memenuhi segala ketentuan haji berbondong-bondong buat memulai ibadah haji pada hari tersebut, dan puncaknya bertepatan pada 10 Dzulhijah.

 

Namun, apa alasan di balik penamaan hari Tarwiyah dan hari Arafah? Bagaimana sejarahnya? 

Penamaan Hari Tarwiyah
Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606 H) dalam salah satu masterpiece-nya mengatakan bahwa hari Tarwiyah merupakan hari kedelapan Dzulhijah yg mempunyai makna berpikir atau merenung. Karenanya, hari Tarwiyah identik dgn keadaan berpikir dan merenung tentang peristiwa yg masih dipenuhi keraguan.

 

Fakhruddin Ar-Razi mengutip beberapa pendapat ulama perihal alasan di balik penamaan hari tersebut dalam kitabnya:

 

فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا: أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْبَيْتِ، فَلَمَّا بَنَاهُ تَفَكَّرَ فَقَالَ: رَبِّ إِنَّ لِكُلِّ عَامِلٍ أَجْرًا فَمَا أَجْرِي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ؟ قَالَ: إِذَا طُفْتَ بِهِ غَفَرْتُ لَكَ ذُنُوبَكَ بِأَوَّلِ شَوْطٍ مِنْ طَوَافِكَ، قَالَ: يَا رَبِّ زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِأَوْلَادِكَ إِذَا طَافُوا بِهِ، قَالَ: زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِكُلِّ مَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الطَّائِفُونَ مِنْ مُوَحِّدِي أَوْلَادِكَ، قَالَ: حَسْبِي يَا رَبِّ حَسْبِيي. وَثَانِيهَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَأَى فِي مَنَامِهِ لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ كَأَنَّهُ يَذْبَحُ ابْنَهُ فَأَصْبَحَ مُفَكِّرًا هَلْ هَذَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ مِنَ الشَّيْطَانِ؟ فَلَمَّا رَآهُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ يُؤْمَرُ بِهِ أَصْبَحَ فَقَالَ: عَرَفْتُ يَا رَبِّ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِكَ وَثَالِثُهَا: أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ يَخْرُجُونَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ إِلَى مِنًى فَيَرْوُونَ فِي الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يُرِيدُونَ أَنْ يَذْكُرُوهَا فِي غَدِهِمْ بِعَرَفَاتٍ

 

Artinya, “Ada tiga pendapat di balik penamaan hari Tarwiyah, (1) sebab Nabi Adam ‘alaihissalâm diperintah buat membangun sebuah rumah, maka ketika ia membangun, ia berpikir dan berkata, ‘Tuhanku, sesungguhnya setiap orang yg bekerja mau mendapatkan upah, maka apa upah yg mau saya dapatkan dari pekerjaan ini?’ Allah subhânahu wata’âlâ menjawab: ‘Ketika engkau melakukan thawaf di tempat ini, maka aku mau mengampuni dosa-dosamu pada putaran pertama tahwafmu.’ Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya mau memberikan ampunan buat keturunanmu apabila melakukan tahwaf di sini’. Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya mau mengampuni (dosa) setiap orang yg memohon ampunan saat melaksanakan thawaf dari keturunanmu yg mengesakan (Allah).’ (2) Sesungguhnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm bermimpi ketika sedang tidur pada malam Tarwiyah, seakan hendak menyembelih anaknya, maka ketika waktu pagi datang, ia berpikir apakah mimpi itu dari Allah subhânahu wata’âlâ atau dari setan? Ketika malam Arafah mimpi itu datang kembali dan diperintah buat menyembelih, kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm berkata, ‘Saya tahu wahai Tuhanku, bahwa mimpi itu dari-Mu’. (3) Sesungguhnya penduduk Makkah keluar pada hari Tarwiyah menuju Mina, kemudian mereka berpikir tentang doa-doa yg mau mereka panjatkan pada keeseokan harinya, di hari Arafah.” (Fakhuddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Darul Fikr: 2000], juz V, halaman 324).

Syekh Nidhamuddin Al-Hasan bin Muhammad bin Husein An-Naisaburi dalam kitab Tafsîr an-Naisabûri menyatakan bahwa hari Tarwiyah mempunyai sejarah yg sangat luar biasa, yaitu menjadi hari persiapan buat bekal menuju ibadah haji. Orang-orang mengumpulkan air yg sangat banyak buat dibagikan kepada calon jamaah haji. Mereka mau memberikan kepada jamaah setelah merasakan lelah dan dahaga ketika menempuh perjalanan menuju kota Makkah, atau mereka mau membagikan air-air yg telah mereka kumpulkan kepada para jamaah saat melaksanakan ibadah haji, mengingat gersangnya tanah Arab dan sedikitnya air saat itu. Ibaratnya, orang-orang yg sedang melaksanakan ibadah haji merupakan orang-orang yg sangat haus ats rahmat Allah. Karenanya, Allah telah mempersiapkan rahmat-Nya kepada mereka semua setelah melakukan ibadah, dgn diampuninya dosa-dosa mereka.” (Nidhamuddin An-Naisaburi, Tafsîr an-Naisabûri , [Bairut, Dârul Kutub: 1999], juz I, halaman 489).

Penamaan Hari Arafah
Hari Arafah merupakan hari kesembilan Dzulhijah. Sedangkan berkaitan dgn makna kata Arafah, ulama berbeda pendapat. Ada yg mengatakan Arafah diambil dari kata i’tiraf (pengetahuan), sebab pada hari Arafah umat Islam mengetahui dan membenarkan Al-Haqq (Allah) sebagai satu-satunya Dzat yg harus disembah, Allah merupakan Dzat Yang Agung. Ada juga ulama yg berpendapat bahwa Arafah diambil dari kata Arafa yg mempunyai makna bau yg harum. Artinya, dgn melaksanakan ibadah haji di Arafah, menunjukkan bahwa orang mau bertobat kepada-Nya, melepas semua kesalahan-kesalahan yg pernah dilakukan, dan menghindar dari perbuatan dosa. Dengan demikian, secara tak langsung orang sedang berusaha buat mendapatkan surga di sisi Allah, dan kelak mau memiliki bau yg harum di dalam surga. Allah berfirman:

 

يُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ عَرَّفَها لَهُمْ (محمد: 6)

 

Artinya, “Dan memasukkan mereka ke dalam surga yg telah diperkenankan-Nya kepada mereka.” (Muhammad: 6)

 

Maksud ayat di atas sebagaimana yg disampaikan Imam Fakhruddin Ar-Razi ialah, sesungguhnya orang-orang yg berdosa ketika bertobat di tanah Arafah, sungguh mereka telah terlepas dari kotoran-kotoran dosa, dan berusaha dgn (ibadah)nya di sisi Allah  sehingga mau menjadi jiwa yg harum (terbebas dari dosa dan kesalahan).”

Menurut Ar-Razi, ada delapan alasan di balik penamaan tanggal sembilan Dzulhijah disebut hari Arafah.

 

(1) Sesungguhnya hari itu merupakan momentum dipertemukannya dua pasangan suami istri yg telah bersama dalam surga kemudian diusir ke dunia, dan akhirnya oleh Allah pada hari itu dipertemukan di tanah Arafah, Makkah, yaitu pertemuan Nabi Adam ‘alaihissalâm dgn Sayyidah Hawa. Dengan pertemuan itu, keduanya menjadi tahu (arafa) antara satu dgn lainnya. (2) Malaikat Jibril mengajarkan tatacara melakukan ibadah haji pada Nabi Adam ‘alaihissalâm, dan ketika sampai di tanah Arafah, Jibril berkata kepadanya, “Apakah engaku telah tahu?” Nabi Adam ‘alaihissalâm menjawab, “Iya, tahu.”  Karenanya, hari itu dikenal dgn hari Arafah (tahu).

 

(3) Karena pada hari itu Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm mengetahui (Arafah) kebenaran mimpi menyembelih putranya Ismail, yg ia alami dan membingungkan itu. (4) Pada hari itu Malaikat Jibril mengajarkan tentang tatacara melaksanakan ibadah haji kepada Nabi Ibrahim ‘alaimassalam, dan membawanya menuju Arafah. Sesampainya di sana, Jibril bertanya, “Apakah engkau tahu tentang cara thawaf dan di mana thawaf dilakukan?” Nabi Adam ‘alaihissalâm menjawab, “Iya, tahu.” 

(5) Nabi Ibrahim  ‘alaihissalâm pergi menuju Syam dan meninggalkan anaknya Nabi Ismail ‘alaihissalâm dan Istrinya Sayyidah Hajar di Makkah. Mereka tak pernah bertemu selama beberapa tahun, kemudian oleh Allah keduanya dipertemukan tepat pada hari Arafah. (6) Disebabkan peristiwa mimpi Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm buat Menyembelih putranya Nabi Ismail‘alaihissalâm, sebagaimana yg telah dijelaskan sebelumnya.  

 

(7) Karena pada hari itu orang-orang yg sedang melakukan ibadah haji menamainya dgn kata Arafah ketika berhenti di tanah Arafah. (8) Karena pada hari itu Allah memberitahukan (yata’arrafu) dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang yg sedang melaksanakan ibadah haji dgn ampunan (maghfirah) dan rahmat. (Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, juz V, halaman 325).

 

Keutamaan Hari Tarwiyah dan Arafah
Membahas keutamaan dan keagungan hari Tarwiyah dan Arafah atas tentu juga menjadi sangat penting dan perlu dipahami oleh semua umat Islam. Tentang keutamaan dan keagungannya, kedua hari tersebut mempunyai nilai yg sangat besar di sisi Allah. Terbukti dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ (الفجر: 3)

 

Artinya, “Demi yg genap dan yg ganjil.” (Al-Fajr: 3)

 

Syekh Abu Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil Ad-Dimisyqi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ yg berpendapat, maksud ayat di atas ialah hari Tarwiyah dan hari Arafah. Dalam kitabnya disebutkan:

 

قَالَ ابْنُ عَبَّاس (الشَّفْعِ) يَوْمُ التَّرْوِيَةِ وَعَرَفَةَ (وَالْوَتْرِ) يَوْمُ النَّحْرِ

 

Artinya, “Ibnu Abbas berkata: ‘(Maksud ayat) wassyaf’i yaitu hari Tarwiyah dan hari Arafah, dan maksud ayat wal watri, yaitu hari kurban.” (Abu Hafs Ad-Dimisyqi, Al-Lubâb fi Ulûmil Kitâb [Bairut, Dârul Fikr: 2005), juz III, halaman 418).

 

Kemuliaan dan keagungan kedua hari tersebut sangat nyata, di mana pada ayat di atas Allah bersumpah secara langsung atas nama kedua hari mulia itu. Wallâhu A’lam.

Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan.
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.