Penjelasan Hadits ‘Mengucapkan La ilaha illallah maka Masuk Surga’

Islam merupakan agama yg mudah, namun tak dapat dimudah-mudahkan. Dengan beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, maka telah dikategorikan sebagai orang Islam. Tentunya iman di sini ialah sebagaimana yg didefinisikan oleh para ulama, salah satunya yaitu:

 

الإِيْمَانُ تَصْدِيْقُ الْقَلْبِ بِمَا عُلِمَ ضَرُوْرَةَ مَجِيْءِ الرّسُوْلِ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ كَالتَّوْحِيْدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْبَعْثِ وَالْجَزَاءِ وَافْتِرَاضِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ. وَالْمُرَادُ بِتَصْدِيْقِ الْقَلْبِ إِذْعَانُهُ وَقَبُوْلُهُ

 

Artinya: “Iman ialah pembenaran hati atas segala sesuatu yg umum diketahui, datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti tauhid, kenabian, kebangkitan dari kubur, balasan (pahala atau dosa), kewajiban shalat lima waktu, puasa, dan haji. Sedangkan yg dimaksud dgn pembenaran (tashdiq) hati ialah dgn tunduk dan menerima. (Syekh Syamsuddin al-Ramli, Ghayah al-Bayan Syarh Zubad Ibn al-Ruslan, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994: 8).

 

Dalam definisi lainnya, al-Imam al-Thahawi menyebutkan:

 

وَالإِيمَانُ هُوَ الْإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ وَالتَّصْدِيقُ بِالْجَنَانِ

 

Iman ialah menyatakan dgn lisan dan membenarkan dgn hati. (Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi al-Hanafi, al-‘Aqidah al-Thahawiyah, Beirut: Dar Ibn Hazm, cetakan pertama, 1995, hlm. 21)

 

Dari dua definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa keimanan itu meliputi keyakinan yg tertanam di dalam hati, dan keyakinan ini perlu dinyatakan melalui lisan, kemudian implementasi dari keyakinan ini ialah kepatuhan dan ketundukan diri seseorang yg beriman kepada ketentuan-ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala berupa perintah maupun larangan yg dikerjakan oleh seluruh anggota tubuh.

 

Kemudian muncul pertanyaan, lantas bagaimana dgn hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yg menyatakan bahwa orang yg menjelang ajalnya mengucapkan kalimat tauhid atau la ilaha Illallah maka masuk surga, sebagaimana yg diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya. Bagaimana kualitas hadits tersebut dan bagaimana penjelasan ulama terhadap hadits itu?

 

Teks haditsnya ialah:

 

عَنْ مُعَاذَ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله دَخَلَ الْجَنَّةَ

 

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Siapa pun yg akhir ucapannya (ketika menjelang ajal) kalimat La ilaha illallah maka ia masuk surga’.”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya di bab talkin melalui jalur Sahabat Mu’adz bin Jabal. Selain itu, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dan al-Hakim al-Naisaburi dalam al-Mustadrak yg semuanya melalui jalur riwayat Sahabat Mu’adz bin Jabal.

 

Ayman Shalih Sya’ban mengomentari sanad hadits ini sahih. (Ibnu al-Atsir, Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, Maktabah al-Hulwani, 1972, juz 9: 363).

 

Begitu pun al-Hakim menyebut hadits ini shahih al-isnad atau sahih sanadnya namun Imam al-Bukhari dan Muslim belum meriwayatkan hadits ini di dalam kitabnya (Imam al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Beirut: Dar el-Ma’rifah, juz 1: 351).

 

Selain itu, Imam Ibnu al-Mulaqin dalam karyanya al-Badr al-Munir yg merupakan takhrij hadits dari karya Imam al-Rafi’i menyebutkan hadits ini sahih, Abu Daud dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini sebagaimana lafaz di atas, sedangkan Imam Ahmad meriwayatkannya dgn lafaz (وجبت له الجنة). (Imam Ibn al-Mulaqqin al-Mishri, al-Badr al-Munir fi Takhrij al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi’ah fi Syarh al-Kabir, Riyadh: Dar el-Hijrah, 1425 H, juz 5, hlm. 189)

 

Penjelasan Hadits

Jika dipahami secara gamblang, tentu hadits ini membuat sebagian orang mengernyitkan dahi, bingung. Apakah iya semudah itu masuk surga. Jika demikian, toh semua orang dapat berbuat semaunya diri mereka sendiri seumur hidup, bebas melakukan kemaksiatan dan kerusakan apa pun, lalu di akhir hayat menjelang ajal barulah mengucapkan lafaz tauhid, kemudian masuk surga sebab adanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.

 

Dalam hal ini kita perlu membaca penjelasan para ulama mengenai hadits ini. Syekh Abu al-Hasan al-Sindi menyebutkan dalam kitabnya, Fath al-Wadud fi Syarh Sunan Abi Daud:

 

وَالْمَعْنى أَنَّ إِجْرَاءَ اللهِ تعَالَى هٰذِهِ الْكَلِمَةِ السَّعِيْدَةِ عَلَى لِسَانِهِ فِي هٰذِهِ الْحَالَةِ مِنْ عَلَامَاتٍ أَنَّهُ سَبَقَتْ لَهُ المَغْفِرَةُ مِنَ اللهِ تعَالَى وَالرَّحْمَةُ، فَيَكُوْنُ أَهْلُ هذِهِ الْكَرَامَةِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيهِمْ: {إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ} وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

 

“Maknanya, Allah menjadikan lisannya mengucapkan kalimat harapan ini ialah bagian dari tanda bahwa Ia menganugerahinya ampunan dan kasih sayg. Orang-orang yg mendapat kemuliaan ini ialah sebagaimana yg diceritakan dalam Al-Qur’an, ‘Bahwasanya orang-orang yg telah ada buat mereka ketetapan yg baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka’, Wallahu a’lam” (Syekh Abu al-Hasan al-Sindi, Fath al-Wadud fi Syarh Sunan Abi Daud, Madinah: Maktabah Adhwa al-Manar, 2010, juz 3: 395).

 

Penjelasan al-Sindi di atas menunjukkan bahwa siapa pun orangnya, baik ia semasa hidupnya penuh bergelimang dgn dosa, atau bahkan baru masuk Islam saat ajal menjelang, ia sempat mengucapkan lafaz tauhid maka tergolong ahli surga. Hal ini merupakan takdir yg Allah tentukan kepada orang tersebut, sebagaimana disampaikan surat al-Anbiya’ ayat 101.

 

Lebih tegas lagi, Syekh Ibnu Ruslan dalam syarahnya atas Sunan Abi Daud menjelaskan hadits ini:

 

وَالْمَقْصُوْدُ الْقَلْبُ لَا اللِّسَانُ، فَلَوْ قَالَ: لَا إِلهَ. وَمَاتَ وَمُعْتَقَدُهُ وَضَمِيْرُهُ الْوَحْدَانِيَّةُ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ السُّنَّةِ

 

Maksudnya ialah ucapan [lafaz tauhid] di hati dan lisan. Andai ia mengucapkan lafaz tauhid hanya لَا إِلهَ (tak ada tuhan…) kemudian keburu wafat dan belum sempat mengucapkan kalimat setelahnya إِلَّا الله, keyakinan dan batinnya kembali kepada keesaan Allah, maka ia termasuk ahli surga sebagaimana yg disepakati oleh Ahlussunnah wal jama’ah. (Syekh Sihabuddin al-Ramli, Syarah Sunan Abi Daud, Mesir: Dar el-Falah, 1437, juz 7: 258).

 

Penjelasan Syekh Ibnu Ruslan dgn tegas menyatakan orang yg saat menjelang wafatnya mengucapkan lafaz tauhid maka masuk surga. Kendati orang tersebut belum mengucapkannya secara utuh, apabila hatinya tulus dan nuraninya benar mengakui bahwa Allah ialah Tuhannya dan Nabi Muhammad ialah Rasul-Nya maka ia masuk ke dalam golongan orang yg diberi pertolongan di akhir hayatnya buat mengucap lafaz tauhid.

 

Dari sini kita mengetahui bahwa ucapan lafaz tauhid di lisan saja belum cukup, mau tetapi ia harus dibarengi dgn keyakinan dari dalam hatinya dgn tulus.

 

Syekh Khalil Ahmad melihat hadits ini dari sisi istinbat hukumnya, yaitu bahwa hadits ini merupakan dalil dari kesunahan talkin mayit, beliau menyebutkan dalam karyanya Badzl al-Majhud fi Halli Sunan Abi Daud:

 

وَلِأَجْلِ هذَا الْحَدِيْثِ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَذْكُرَ هذِهِ الْكَلِمَةَ عِنْدَ مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ

 

“Dengan adanya hadits ini, disunahkan menyebutkan kalimat tauhid kepada orang yg sedang sakaratul maut” (Syekh Khalil Ahmad, Badzl al-Majhud fi Halli Sunan Abi Daud, India: Markaz al-Syaikh Abi al-Hasan al-Nadwi, 2006, juz 10: 380).

 

Pandangan Ulama Salaf terkait Hadits ini

Ada perbedaan pendapat di antara ulama salaf terkai hadits ini, khususnya tentang benarkah seseorang tentu masuk surga lantaran di akhir hayatnya mengucap lafaz tauhid. Di sini terdapat perbedaan antara Imam al-Hasan al-Bashri, Imam Ibn al-Musayyib dan Imam al-Bukhari.

 

Dalam kitab Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Shahih Muslim, Imam Abu al-Fadhl ‘Iyadh ibn Musa atau yg dikenal dgn al-Qadhi ‘Iyadh menyadur pendapat ketiga ulama besar era salaf itu:

 

فَحَكَى عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ مِنْهُمْ اِبْنُ الْمُسَيِّب وَغَيْرُهُ أَنَّ هذَا كَانَ قَبْلَ أَنْ تُنْزَلَ الْفَرَائِضُ وَالْأَمْرُ وَالنَّهْىُ، وَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى أَنَّهَا مُجْمَلَةٌ تَحْتَاجُ إِلَى شَرْحٍ، وَمَعْنَاهُ: مَنْ قَالَ الْكَلِمَةَ وَأَدَّى حَقَّهَا وَفَرِيْضَتَهَا، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنُ الْبَصْرِى، وَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى أَنَّ ذلِكَ لِمَنْ قَالَهَا عِنْدَ التَّوْبَةِ وَالنَّدَمِ وَمَاتَ عَلَى ذلِكَ، وَهُوَ قَوْل البُخَاري

 

“Al-Qadhi ‘Iyadh menceritakan dari orang-orang salaf, di antaranya Ibnu al-Musayyib dan selainnya, bahwa hadits ini ada sebelum turunnya kewajiban-kewajiban, perintah dan larangan dalam agama. Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa hadits ini global dan butuh pada penjelasan, yaitu yg dimaksud di dalam hadits tersebut ialah: siapa pun yg mengucapkan kalimat tauhid dan menunaikan kewajiban serta hak yg terkandung dalam kalimat tauhid, ini ialah pendapat al-Hasan al-Bashri. Sebagian ulama salaf menegaskan bahwa hadits tersebut ialah bagi orang yg mengucapkan kalimat tauhid ketika ia bertaubat dan menyesal, kemudian meninggal ketika itu juga, ini ialah pendapat Imam al-Bukhari” (al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Shahih Muslim, Mesir: Dar el-Wafa, cetakan pertama, 1419/1998, juz 1: 253).

 

Dari penjelasan di atas kita dapat memetakan mereka:

  1. Ibnu al-Musayyib: orang yg masuk surga dgn cukup mengucapkan kalimat tauhid saja, itu terjadi ketika syariat berupa kewajiban, perintah dan larangan belum turun.
  2. al-Hasan al-Bashri: orang yg masuk surga dalam kategori ini ialah mereka yg mengucapkan serta mengamalkan kandungan dari kalimat tauhid berupa perintah dan larangan di dalam agama.
  3. Imam al-Bukhari: orang yg masuk surga dalam kategori ini ialah mereka yg mengucapkan kalimat tauhid seraya bertaubat dan menyesal, ini terjadi di akhir hayat orang tersebut,sehingga ia langsung wafat setelah itu.

 

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Mengenai pendapat ahlus dalam hal ini, kita dapat melihatnya dalam pernyataan al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Shahih Muslim, yaitu:

 

فَنُقَرِّرُ أَوَّلاً أَنَّ مَذْهَبَ أَهْلِ السُّنَّةِ بِأَجْمَعِهِمْ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَأَهْلِ الْحَدِيْثِ وَالْفُقَهَاءِ وَالْمُتَكَلِّمِيْنَ عَلَى مَذْهَبِهِمْ مِنَ الأَشْعَرِيِّيْنَ: أَنَّ أَهْلَ الذُّنُوْبِ فِي مَشِيْئَةِ اللهِ تَعَالَى، وَأَنَّ كُلَّ مَنْ مَاتَ عَلَى الْإِيْمَانِ وَشَهِدَ مُخْلِصاً مِنْ قَلْبِهِ بِالشَّهَادَتَيْنِ فَإِنَّهُ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، فَإِنْ كَانَ تَائِباً أَوْ سَلِيْماً مِنَ الْمَعَاصِي وَالتَّبِعَاتِ دَخَلَ الْجَنَّةَ بِرَحْمَةِ رَبِّهِ، وَحُرِّمَ عَلَى النَّارِ بِالْجُمْلَةِ

 

Artinya: “Kita menetapkan bahwa mazhab Ahlusunnah dari golongan salaf al-shalih, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli kalam dari Asya’irah: ‘Sesungguhnya pendosa itu tergantung kehendak Allah ta’ala. Setiap orang yg meninggal dalam keimanan dan bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya dgn tulus dari hatinya, maka ia masuk surga. Apabila ia bertaubat atau bebas dari maksiat dan konsekuensi, maka ia masuk surga dan diharamkan dari neraka sebab adanya kasih sayg Allah subhanahu wa ta’ala.” (al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Shahih Muslim, juz 1, hlm. 255).

 

Kesimpulan

Orang yg di akhir ajalnya mengucap kalimat tauhid dgn tulus dari hatinya, meyakini Allah sebagai Tuhannya, maka ia mau masuk surga sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun perilaku sebelum-sebelumnya yg berupa keburukan, maka itu terserah kehendak Allah, entah diampuni ataupun disiksa. Bisa jadi ia masuk surga secara langsung, namun dapat jadi ia disiksa terlebih dahulu buat pembersihan, kemudian masuk surga setelah melalui proses tersebut. Pada intinya, ia tak disiksa di neraka secara kekal. Wallahu a’lam.

 

 

Amien Nurhakim, Alumnus UIN Jakarta dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, Ciputat.


 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.