Peringatan Hari Santri Nasional, Ini Amanat Ketum PBNU

– Kaum santri di seluruh Indonesia pada 22 Oktober 2019 hari ini merayakan Hari Santri Nasional (HSN).

Memperingati hari bersejarah bagi
kalangan santri tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU),
Kiai Said Aqil menyampaikan amanatnya pada puncak peringatan HSN.

Dilansir dari Tribunnews, Selasa, 22
Oktober 2019, berikut amanat Kiai Said buat seluruh santri di nusantara.

لسلام عليكم ورحمة الله وبركاته بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين اللهم صل وسلم على سيدنا ومولانا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين أما بعد

Hari ini tahun keempat Keluarga Besar
Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia memperingati Hari Santri. Setelah
sebelumnya peran kaum santri diakui negara melalui Kepres No. 22 Tahun 2015
tentang Penetapan Tanggal 22 Oktober sebagai HARI SANTRI, tahun ini kaum santri
kembali mendapat penguatan negara melalui pengesahaan UU Pesantren. Diharapkan
melalui UU ini, santri dan pendidikan pesantren dapat meningkatkan peran dan
kontribusinya dalam pembangunan bangsa dan negara melalui fungsi pendidikan,
dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Di tengah revolusi gelombang keempat
(4.0), santri harus kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap nilai-nilai baru
yg baik sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-nilai lama yg baik.
Santri tak boleh kehilangan jati dirinya sebagai Muslim yg berakhlakul
karimah, yg hormat kepada kiai dan menjanjung tinggi ajaran para leluhur,
terutama metode dakwah dan pemberdayaan Wali Songo.

Santri disatukan dalam asâsiyât (dasar
dan prinsip perjuangan), khalfiyat (background sejarah), dan ghâyat
(tujuan).   Dasar perjuangan santri
ialah memperjuangkan tegak lestarinya ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah,
yaitu Islam bermazhab. Di tengah kampanye Islam anti-mazhab yg menggemakan
jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, santri dituntut buat cerdas
mengembangkan argumen Islam moderat yg relevan, kontekstual, membumi, dan
kompatibel dgn semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan. Demikian
inilah yg dicontohkan Walisongo. Islam tak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi
isinya.

Baca Juga:  Kelompok Bersenjata yg Menewaskan 15 Jemaah Masjid di Burkino Fuso Diduga Terkait ISIS

Bungkusnya dipertahankan dalam wadah
budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dgn ajaran Islam. Budaya dijadikan
sebagai infrastruktur agama, sejauh tak bertentangan dgn syariat. Termasuk
dalam hal ini ialah bentuk negara. Bentuk negara apa pun, asal syari’at Islam
dapat dijalankan masyarakat, sah dan mengikat, baik berbentuk republik,
mamlakah, maupun emirat. Karena NKRI berdasarkan Pancasila telah disepakati
oleh para pendiri bangsa, seluruh warga negara, termasuk santri, wajib patuh
menjaga dan mempertahankan konsensus kebangsaan.  Jati diri santri ialah moralitas dan akhlak
pesantren dgn kiai sebagai simbol kepemimpinan spiritual (qiyâdah
rūhâniyah).

Karena itu, meskipun santri telah
melanglang buana, menempuh pendidikan hingga ke mancanegara, dia tak boleh
melupakan jati dirinya sebagai santri yg hormat dan patuh pada kiai. Tidak
ada kosakata bekas kiai atau bekas santri dalam khazanah pesantren. Santri
melekat sebagai stempel seumur hidup, membingkai moral dan akhlak pesantren. Di
hadapan kiai, santri harus menanggalkan gelar dan titelnya, pangkat dan
jabatannya, siap berbaris di belakang kepemimpinan kiai. 

Baca Juga:  Pemerintah Tiadakan Salat Id Berjemaah Jika Kasus Corona Masih Tinggi

Beberapa figur tokoh nasional yg
santri diantaranya ialah Pangeran Diponegoro, tak hanya dikenal sebagai
panglima perang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro yg mempunyai nama aseli
Abdul Hamid ialah santri tulen yg mondok pertama kali kepada KH. Hasan
Besari Tegalsari, Jetis, Ponorogo yakni belajar ngaji kitab Fathul Qorib sampai
khatam, selain itu beliau juga ngaji kitab kuning pada KH. Taftazani Kertosono,
ngaji Tafsir Jalalain kepada KH. Baidlowi Bantul-Jogjakarta, dan terahir ngaji
hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Tidak hanya
Pangeran Diponegoro, ada juga figur tokoh nasional yg santri yakni Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara alias Suwardi Suryaningrat, beliau
belajar ngaji Al- Qur’an kepada Romo K. Sulaiman Zainuddin Kalasan-Prambanan
sampai khatam. Dan juga satu lagi figur penting penggubah lagu “Syukur”, yakni
Habib Husein Muthahar, Semarang. Jadi, yg mencipta lagu “Syukur” yg kita
semua hafal dan nyanyikan ialah seorang Sayyid, cucu bagina Nabi Muhammad SAW.

Tujuan pengabdian santri ialah
meninggikan kalimat Allah yg paling luhur (li i’lâi kalimâtillâh allatî hiya
al-ulyâ) yaitu tegaknya agama Islam rahmatan lil alamin. Islam yg harus
diperjuangkan bukan sekadar akidah dan syariah, tetapi ilmu dan peradaban
(tsaqâfah wal-hadlârah), budaya dan kemajuan (tamaddun) dan juga kemanusiaan
(wal insaniyah). Islam dalam ethos santri ialah keterbukaan, kecendekiaan,
toleransi, kejujuran, dan kesederhanaan. Semangat inilah yg diwariskan oleh
salafus shâlih, yg telah mencontohkan cara bela agama yg benar. Islam
pernah mencapai zaman keemasan pada abad ke-7 sampai 13 M dgn ilmu dan
peradaban. Para filsuf dan ulama seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M),
Al-Fazari (w. 796/806 M), Al-Farghani (w. 870 M), Al-Kindi (801-873 M),
Al-Khawarizmi (780-850 M), Al-Farabi (874-950 M), Al-Mas’udi (896-956 M), Ibn
Miskawaih (932-1030 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Razi (1149-1209 M),
Al-Haitsami (w. 1039 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), dan Ibn Rushd (1126-1198 M)
telah berjasa kepada dunia dgn sumbangan mereka yg tiada tara bagi ilmu
pengetahuan dan kemanusiaan. Manfaatnya lintas zaman, melampaui sekat agama dan
bangsa. Dunia berterima kasih kepada Islam sebab ilmu pengetahuan. Itulah cara
bela Islam yg benar.

Baca Juga:  PBNU Siapkan Beasiswa Pendidikan Untuk Eko, Anggota Banser Korban Persekusi

Islam tak boleh dibela dgn pekik
takbir di jalan-jalan, dgn kerumunan massa yg  mengibar-ngibarkan bendera, dgn caci maki
dan sumpah serapah. Islam harus dibela dgn ilmu pengetahuan dan peradaban.
Itulah cara bela Islam yg benar. Benarlah peringatan Imam Ghazali dalam kitab
Tahâfutul Falâsifah:        Ùˆ ضرر الشرع ممنينصرهلا بطريقهاكثرمن ضررهممن يطعن فيه بطريقه   “Kehancuran agama dari
para pembela yg tak tahu caranya membela itu lebih besar ketimbang
kehancuran agama dari para pencela.” Santri mewarisi legacy yg ditinggalkan
oleh para ulama di abad keemasan Islam. Karena itu, kebangkitan Islam akan
sangat ditentukan oleh kiprah dan peranan kaum santri.

Selamat Hari Santri 2019. Santri Ungul
Indonesia Makmur. 

   
شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح والله الموفق إلى أقوم الطريق والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, 22 Oktober 2019

Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.