Rabi’ah binti Ismail merupakan istri Imam Ahmad bin Abi al-Hawari (w. 230 H), seorang ulama dan wali besar di zamannya. Ia ialah murid Imam Abu Sulaiman al-Darani, Imam Sufyan bin ‘Uyainah, Imam Waki’, Imam Abu Usamah dan lain sebagainya. Banyak ulama yg meriwayatkan hadits darinya, seperti Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Hatim, dan lain sebagainya. Imam Ibnu Katsir menggambarkan Ahmad bin Abi al-Hawari dgn ucapan:
Â
Ø£Øد الزهاد المشهورين، والعباد المذكورين، والأبرار المشكورين ذوي الأØوال الصالØØ©ØŒ والكرامات الصادقة
Â
Terjemah bebas: “Salah satu dari ahli zuhud yg ternama, ahli ibadah yg dikenal, penyayg (atau dermawan) yg bersyukur, termasuk (dalam golongan orang-orang) yg memiliki keadaan spiritual yg saleh, dan karamah yg benar†(Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003, juz 14, h. 448).
Â
Rabi’ah bin Isma’il asy-Syami ialah wanita terpandang dan kaya raya. Imam Abdurrahman al-Sulami menggambarkannya dgn kalimat:
Â
كانت من كبار نساء الشام، وكانت موسرة، ÙأنÙقت جميع ملكها علي Ø£Øمد وأصØابه
Â
Terjemah bebas: “Rabi’ah binti Ismail asy-Syami merupakan bagian dari wanita terpandang di Syam. Ia ialah wanita yg kaya raya. Kemudian ia menafkahkan semua (kekayaan) miliknya kepada Ahmad (bin Abi al-Hawari) dan sahabat-sahabatnya (atau murid-muridnya)†(Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, h. 399).
Â
Â
Kisah pernikahan Rabi’ah binti Ismail asy-Syami dgn Imam Ahmad bin Abi al-Hawari cukup menarik. Rabi’ah menjadi orang pertama yg mengajukan lamaran kepada Ahmad al-Hawari, bukan sebaliknya. Dalam kitab Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn diceritakan:
Â
وخطبت رابعة بنت إسماعيل Ø£Øمد بن أبي الØواري، Ùكره ذلك لما كان Ùيه من العبادة وقال لها: والله ما لي همة ÙÙŠ النساء لشغلي بجالي، Ùقالت: إني لأشغل بÙØالي منك وما لي شهوة، ولكن ورثت مالا جزيلا من زوجي Ùأردت أن تنÙقه علي إخوانك، وأعر٠بك الصالØين Ùيكون لي طريقا إلي الله عز وجل
Â
Terjemah bebas: “Rabi’ah binti Isma’il melamar Ahmad bin Abi al-Hawari. (Namun), Ahmad al-Hawari tak senang dgn lamaran itu sebab hendak fokus beribadah. Ia berkata kepada Rabi’ah: “Demi Allah, aku tak punya kemauan (menikahi) wanita, sebab aku sibuk dgn perjalananku.†Rabi’ah binti Isma’il berkata: “Sungguh aku lebih sibuk dgn perjalananku dibandingkanmu, dan tiada (lagi) syahwatku. Tapi, aku mewarisi harta yg sangat banyak dari suamiku. Karena itu aku berkemauan menafkahkannya kepada saudara-saudaramu (atau teman dan murid-muridmu), dan aku tahu yg bersamamu ialah orang-orang saleh, maka bagiku (itu) menjadi jalan menuju Allah ‘Azza wa Jalla†(Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016, juz 6, h. 232)
Â
Setelah mendapat lamaran dari Rabi’ah bin Isma’il asy-Syami, Imam Ahmad al-Hawari meminta izin kepada gurunya, Imam Abu Sulaiman al-Darani. Pada awalnya, gurunya tak mengizinkannya, tapi setelah mendengar penjelasannya tentang Rabi’ah binti Isma’il asy-Syami, Imam Abu Sulaiman al-Darani menyetujuinya. Ia mengatakan:
Â
تزوج بها Ùإنها ولية الله
Â
“Nikahlah dgnnya. Sesungguhnya ia ialah wali Allah†(Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 2016, juz 6, h. 232).
Â
Dalam kisah di atas, Rabi’ah bin Isma’il mengatakan bahwa perjalanannya atau pengembaraannya melebihi Ahmad al-Hawari. Ini sebab Rabi’ah asy-Syami merangkap peran dalam setiap perjalanannya. Ia menjadi seorang ulama perempuan (sufi) yg menyibukkan diri beribadah dan berdakwah; ia juga seorang yg mewarisi harta dan jaringan bisnis suaminya terdahulu. Karena itu, perjalanan yg dilaluinya lebih berat ketimbang perjalanan yg dilalui Imam Ahmad al-Hawari.
Â
Selain itu, “perjalanan†(al-jâl) dapat juga diartikan sebagai perjalanan atau pengembaraan menuju Tuhan. Menggunakan makna ini, tentu perjalanan yg dilalui seorang wanita jauh lebih berat dari laki-laki, apalagi bila ia seorang ulama, pengusaha, istri dan ibu. Ia harus menjalankan banyak peran sebagai wanita sekaligus menapaki perjalanannya menuju Tuhan.
Â
Rabi’ah binti Isma’il tak sekedar berkata-kata. Ia menunjukkannya dalam sikap. Ia menikah bukan sebab syahwat, tapi sebab jalan persaudaran sufi yg mau dilaluinya bersama orang-orang saleh. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
Â
Øدثنا Ø£Øمد بن أبي الØواري، قال: قالت رابعة يوما لأØمد بن أبي الØواري: كنت أدعو الله تعالي أن يأكل مالي مثلك ومثل أصØابك
Â
“Ahmad bin Abi al-Hawawri bercerita kepadaku (al-‘Abbas bin Hamzah). Ia berkata: “Suatu hari Rabi’ah berkata kepada Ahmad bin Abi al-Hawari: “Aku berdoa kepada Allah ta’ala supaya hartaku dimakan oleh (orang) sepertimu dan seperti sahabat-sahabatmu†(Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 399-400).
Â
Imam Ahmad bin Abi al-Hawari juga pernah bercerita tentang istrinya ini. Katanya:
Â
دعوت رابعة مرة Ùلم تجبني. Ùلما كان بعد ساعة أجابتني، وقالت: إنما منعني أن أجيبك لأن Ùلبي كان امتلأ ÙرØا بالله تعالي، Ùلم أقدر أن أجيبك
Â
Terjemah bebas: “Aku memanggil Rabi’ah sekali, ia tak menjawabku. Kemudian setelah beberapa saat, ia menjawabku. Ia berkata: “Sungguh aku tercegah buat menjawab (panggilan)mu, sebab hatiku telah dipenuhi kebahagiaan dgn Allah ta’ala, maka aku tak kuasa menjawab (panggilan)mu†(Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 400).
Â
Â
Apa yg diceritakan Imam Ahmad al-Hawari ialah kebanggaan, bukan kekurangan. Ia mengakui kelebihan spiritual istrinya. Ia tanpa ragu mempercayai apa yg dikatakan istrinya sebab ia tinggal bersamanya dan melihat langsung kehidupannya.
Â
Sekali waktu, Imam Ahmad berujar ketika melihat Rabi’ah asy-Syami tengah beribadah dgn khusyu’:
Â
ما رأينا من يقوم من أول الليل، Ùقالت: سبØان الله مثلك يتكلم بهذا؟ إنما أقوم إذا نوديت
Â
Terjemah bebas: “Aku tak melihat seorang pun yg mendirikan (ibadah/shalat) dari awal malam.†Kemudian Rabi’ah berkata: “Maha suci Allah, (orang) sepertimu berkata seperti ini? Sesungguhnya aku mendirikan (ibadah/shalat) ketika aku dipanggil†(Imam Abu al-Farj Abdurrahman bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 432).
Â
Artinya, ibadah yg dilakukan Rabi’ah binti Isma’il bukan soal banyak atau sedikit; bukan pula soal awal malam atau sepertiga malam. Ia beribadah ketika ia merasa dipanggil oleh Tuhannya, kapan pun waktunya dan di mana pun tempatnya. Karena itu, ia heran dgn perkataan suaminya, bagaimana mungkin seorang dgn pengetahuan agama dan kedudukan spiritual yg tinggi mengujarkan hal tersebut. Tentunya ia paham, ibadah dan bersuka cita dgn Tuhan, ia lakukan sebab panggilan-Nya. Dan itu bukan sesuatu yg seharusnya dipuji atau ditakjubi.
Â
Pertanyaannya, pernahkah kita merasa terpanggil?
Â
Wallahu a’lam bish shawwab
Â
Â
Â
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Â
Â