Syahidnya Korban Wabah Menular & Anjuran Mengisolasi Diri

Mengisolasi pasien yg terkena wabah penyakit menular diyakini secara medis merupakan salah satu kunci utama menangani masifnya penyebarannya yg lebih luas. Hal ini umumnya difasilitasi oleh pemerintah melalui, misalnya membangun tempat penampungan sementara yg layak dan manusiawi kepada pasien yg telah terpapar atau baru diduga terjangkit suatu penyakit yg mewabah.

 

Semua itu dilakukan supaya pasien tak merasa dirinya dikucilkan dari pergaulan masyarakat, yg mengakibatkan psikologi kian tertekan, sehingga justru memperparah kondisinya sebab stes dapat menurunkan daya tahan tubuh. Untuk itu, mendukung pasien yg suspek wabah menular, memotivasinya buat melakukan penyembuhan, dan tak melarikan diri dari ruang isolasi ialah sebuah perkara yg harus juga senantiasa diutamakan.

 

Di dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Bukhari disebutkan keutamaan bagi penderita mukmin yg mau bersabar meski dirinya tertular wabah penyakit berbahaya. Keutamaan itu terdapat pada kesabarannya dalam menghadapi ruang isolasi, tak melarikan diri dari pengobatan, dan janji pahala dari Allah subhanahu wata’ala.

 

Pertama, perintah supaya tetap berada di ruang isolasi dan janji pahala baginya. Tetap dalam ruang isolasi merupakan tindakan yg menyebabkan masyarakat lain tak turut menghadapi bahaya yg serupa dgnnya.

 

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ، فَأَخْبَرَهَا نَبِيُّ اللَّهِ أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْل أَجْرِ الشَّهِيدِ

 

“Diriwayatkan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang tha’un. Lalu beliau Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tha’un itu ialah azab yg dikirim Allah kepada orang yg dikehendaki. Allah jadikan rahmat bagi orang mukmin. Oleh sebab itu, tiada penyakit tha’un menular ke seorang hamba (mukmin), lalu dia memutuskan buat tetap diam tinggal di negerinya (ruang isolasi) dgn sabar, melainkan Allah pasti tetapkan baginya pahala (yg besar), menyerupai pahalanya orang yg mati syahid.” (Shahih al-Bukhari, juz 10, halaman 192).

 

Baca juga: Kabar Gembira dari Rasulullah buat Orang yg Terkena Musibah

 

Kedua, orang mukmin yg terkena wabah menular dan meninggal sebabnya, dijanbilan oleh Allah SWT pahala mau mendapatkan pahala layaknya orang yg mati syahid. Imam Ahmad di dalam sebuah hadits hasan dan marfu’, telah meriwayatkan:

 

عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدِ السُّلَمِيِّ رَفْعَهُ يَأْتِي الشُّهَدَاءُ وَالْمُتَوَفُّونَ بِالطَّاعُونِ، فَيَقُول أَصْحَابُ الطَّاعُونِ: نَحْنُ الشُّهَدَاءُ، فَيُقَال: انْظُرُوا فَإِنْ كَانَتْ جِرَاحُهُمْ كَجِرَاحِ الشُّهَدَاءِ تَسِيل دَمًا وَرِيحُهَا كَرِيحِ الْمِسْكِ فَهُمْ شُهَدَاءُ، فَيَجِدُونَهُمْ كَذَلِكَ

 

“Dari ‘Utbah ibn Abdi al-Sulmiy, beberapa hamba mukmin yg tertular penyakit tha’un dan sebagian di antaranya telah meninggal, datang menghadap Utbah. Para penyandang wabah tha’un ini berkata: ‘Kami ialah para syuhada’. Pernyataan ini lalu disampaikan kepada Rasulullah, dan beliau bersabda: ‘Lihatlah kepada mereka. Jika terdapat luka sebagaimana lukanya para syuhada perang, yg mengalir darinya darah dan nanah yg berbau seperti bahunya minyak misik, maka mereka benar mereka ialah para syuhada’.” Lalu diperiksalah mereka, dan benar ditemui hal-hal yg semacam itu di tubuh mereka.” Hadits hasan riwayat Imam Ahmad, dan beliau memarfu’kannya. (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Kuwait: Shanjah-Thila’, tt., juz 28, halaman 333).

 

Syekh Ibnu Hajar al-Asyqalani, di dalam kitab Fath al-Bari, juz 10, halaman 193-194, sebagaimana dikutip dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juga memberikan catatan:

 

فَلَوْ مَكَثَ وَهُوَ قَلِقٌ أَوْ نَادِمٌ عَلَى عَدَمِ الْخُرُوجِ ظَانًّا أَنَّهُ لَوْ خَرَجَ لَمَا وَقَعَ بِهِ أَصْلاً وَرَأْسًا، وَأَنَّهُ بِإِقَامَتِهِ يَقَعُ بِهِ، فَهَذَا لاَ يَحْصُل لَهُ أَجْرُ الشَّهِيدِ وَلَوْ مَاتَ بِالطَّاعُونِ، هَذَا الَّذِي يَقْتَضِيهِ مَفْهُومُ هَذَا الْحَدِيثِ، كَمَا اقْتَضَى مَنْطُوقُهُ أَنَّهُ مَنِ اتَّصَفَ بِالصِّفَاتِ الْمَذْكُورَةِ يَحْصُل لَهُ أَجْرُ الشَّهِيدِ وَإِنْ لَمْ يَمُتْ بِالطَّاعُونِ

 

“Tapi, bila diamnya seseorang yg tertimpa wabah itu disertai dgn kerisauan atau bahkan menyesal (menunaikan) larangan dirinya tak boleh keluar, bahwa seandainya dia dibolehkan keluar maka menurutnya (secara dhanni) maka dia tak mau ditimpa penyakit itu, baik parah atau tak, dan justru sebab dibiarkannya itu justru ia malah tertimpa penyakit, maka hal seperti ini menyebabkannya dirinya tak beroleh pahala kesyahidan, bahkan meski dia meninggal disebabkan oleh tha’un. Inilah yg dikehendaki dari mafhum dua hadits di atas, sebagaimana hal itu juga dapat dilihat pada lafadh hadits itu secara lahir, bahwasanya: barang yg siapa memiliki ciri-ciri sebagaimana yg telah disebutkan, maka dia beroleh pahala mati syahid. Bahkan, seandainya kematiannya itu bukan sebab tha’un.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Kuwait: Shanjah-Thila’, tt., juz 28, halaman 333)

 

Selanjutnya, disampaikan, apakah status mukmin yg meninggal sebab wabah menular ini termasuk syahid yg tak perlu dimandikan atau dishalati?

 

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim, yg juga dikutip dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah menjelaskan:

 

وَالْمُرَادُ بِشَهَادَةِ الْمَيِّتِ بِالطَّاعُونِ أَنَّهُ يَكُونُ لَهُ فِي الآْخِرَةِ ثَوَابُ الشَّهِيدِ، وَأَمَّا فِي الدُّنْيَا فَيُغَسَّل وَيُصَلَّى عَلَيْهِ

 

“Yang dimaksud dgn kesyahidan mayit korban tha’un ini ialah bahwasanya sesungguhnya syahidnya itu ialah syahid akhirat, dari sisi pahala kesahidannya. Adapun dalam hukum dunia, dia tetap perlu dimandikan dan dishalati.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Kuwait: Shanjah-Thila’, tt., Juz 28, halaman: 333)

 

Lantas apa yg menjadi illat penyamaan penderita wabah penyakit menular ini dgn kesyahidan akhirat lainnya?

 

Imam Al-Qadli Baidlawi menyampaikan:

 

مَنْ مَاتَ بِالطَّاعُونِ، أَوْ بِوَجَعِ الْبَطْنِ مُلْحَقٌ بِمَنْ قُتِل فِي سَبِيل اللَّهِ لِمُشَارَكَتِهِ إِيَّاهُ فِي بَعْضِ مَا يَنَالُهُ مِنَ الْكَرَامَةِ بِسَبَبِ مَا كَابَدَهُ، لاَ فِي جُمْلَةِ الأْحْكَامِ وَالْفَضَائِل

 

“Alasan orang yg meninggal sebab wabah tha’un, atau sakit perut, dan disamakan status kesyahidannya dgn orang yg telah berperang di jalan Allah, ialah disebabkan sebab keserupaannya dalam sebagian yg ia derita, di antaranya penghormatan sebab susah payahnya, dan bukan secara keseluruhan dalam hukum dan keutamaan” (Syekh Ali Bin Sulthan Muhammad al-Qari, Mirqatu al-Mafatih Syarah Misykatu al-Mashabih, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001, juz 7, halaman 345).

 

Walhasil, ada pahala dan keutamaan yg besar bagi penderita mukmin yg menjadi korban tertular wabah penyakit, sehingga pada puncaknya meski dapat menyebabkan kematian. Jadi, bagi para penderita, hendaknya ia bersabar, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Kesabaran dapat melahirkan pikiran tak stres. Ketiadaan stres dapat meningkatkan kekebalan tubuh dari serangan penyakit. Ini hanyalah merupakan sebuah tips dalam syariat. Tidakkah kita meyakini, bahwa Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan supaya senantiasa berdzikir.

 

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 

“Orang-orang yg beriman dan senantiasa menentramkan hatinya dgn dzikir kepada Allah. Ingatlah, dgn dzikir kepada Allah, maka hati mau timbul tenangnya hati.” (Q.S. Al-Ra’d [13] ayat 252).

 

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.