Tiga Tingkatan Ikhlas Menurut Syekh Nawawi Banten

Sudah menjadi maklum bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun amal yg dilakukan oleh seorang mukmin tak mau ada nilainya di sisi Allah subhânahû wa ta’âlâ.

Di dalam kitab At-Ta’rîfât karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa ikhlas ialah engkau tak mencari orang yg menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari berbagai kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1983], hal. 14).

Dalam berbagai kesempatan kajian ilmiah Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dgn sebuah gelas yg penuh air putih. Tak ada sedikit pun yg ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yg disebut dgn ikhlas. Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yg mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada kemauan enaknya hidup di dunia, semua murni sebab menghamba kepada Allah saja.

Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melakukan suatu amalan dgn motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58). Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa tingkatan pertama yg merupakan tingkat paling tinggi di dalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yg paling tinggi ialah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tak ada yg dimaukan dgn ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Pada tingkatan ini orang yg melakukan amalan atau ibadah tak memiliki tujuan apapun selain hanya sebab menuruti perintah Allah semata. Ia menyadari bahwa dirinya ialah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah ialah tuannya. Maka baginya telah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yg diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun.

Orang yg beramal dgn keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Pun ia tak peduli apakah kelak di akhirat Allah mau memasukkannya ke dalam surga atau neraka. Ia hanya berharap ridlo Tuhannya. 

Adapun tingkatan ikhlas yg kedua Syekh Nawawi menuturkan lebih lanjut:

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

Artinya: “Tingkat keikhlasan yg kedua ialah melakukan perbuatan sebab Allah supaya diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.”

Pada tingkatan kedua ini orang yg beramal melakukan amalannya sebab Allah namun di balik itu ia memiliki kemauan supaya dgn ibadahnya kelak di akherat ia mau mendapatkan pahala yg besar dari Allah. Ia beribadah dgn harapan kelak di hari kiamat terselamatkan dari berbagai keadaannya yg mengerikan, terlindungi dari panas yg menyengat, dimudahkan hisabnya, hingga pada akhirnya ia tak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga sehingga ia dapat menikmati berbagai fasilitas yg tiada duanya.

Beribadah dgn niat dan motivasi seperti ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan ikhlas yg sesungguh-sungguhnya ikhlas. Keikhlasan seperti ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama. Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya buat melakukan amalan tertentu dgn iming-iming pahala yg besar dan kenikmatan yg luar biasa di akhirat kelak.

Lebih lanjut Syekh Nawawi menuturkan:

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات 

Artinya: “Tingkatan ikhlas yg ketiga ialah melakukan perbuatan sebab Allah supaya diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yg menyakitkan.”

Tingkat keikhlasan yg ketiga ini ialah tingkat keikhlasan yg paling rendah di mana orang yg beribadah dilakukan sebab Allah namun ia memiliki harapan mau mendapatkan imbalan duniawi dgn ibadahnya itu. Sebagai contoh orang yg melakukan shalat dluha dgn motivasi mau diluaskan rejekinya, aktif melakukan shalat malam dgn harapan mau mendapatkan kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar supaya dimudahkan mendapatkan keturunan dan lain sebagainya.

Hal yg demikian ini masih tetap dianggap sebagai ikhlas sebab agama sendiri menawarkan imbalan-imbalan tersebut ketika memotivasi umat buat melakukan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya ialah tingkat paling rendah.

Lalu bagaimana bila seorang yg beribadah atau melakukan suatu amalan dgn motivasi selain tiga hal di atas? Semisal orang beribadah dgn harapan mau dipuji dan dianggap orang lain sebagai orang yg taat, mencari ilmu dgn harapan mau dihormati orang lain sebagai orang yg alim, bersedekah dgn harapan mau mendapatkan suara banyak dalam pemilihan lurah, kepala daerah atau wakil rakyat.

Masih menurut Syekh Nawawi bahwa yg demikian itu termasuk sikap riya yg tercela, bukan ikhlas. Beliau menegaskan:

وما عدا ذلك رياء مذموم

Artinya: “Selain ketiga motivasi di atas ialah riya yg tercela.”

Wallâhu a’lam. 

Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.