Urgensi Iktikad & Prasangka Baik Murid terhadap Guru

Dalam proses belajar dan mencari ilmu, terkadang orang merasakan sulit memahami suatu materi. Dalam kasus lain, orang merasa tak dapat memahami penjelasan guru, padahal ia telah berusaha memperhatikan secara seksama. Yang lebih mengherankan, kadang hal ini hanya dialami seorang diri, teman-teman sejawatnya tak mengalami hal serupa. Tentu hal ini menimbulkan keresahan tersendiri. Lalu bagaimana solusinya?

 

Salah satu faktor yg memicu kesulitan dalam memahami pelajaran dan penjelasan guru ialah iktikad atau keyakinan yg lemah dari seorang murid. Salah satu ulama yg secara literal menyampaikan uraian  tentang urgensi iktikad bagi seorang murid supaya mudah memahami pelajaran dan penjelasan guru ialah Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi dalam kitab Durrâtul Bahiyyah atau lebih akrab dikenal dgn judul Mandhûmah al-‘Imrithi. Syekh al-‘Imrithi berkata:

 

سُئِلْتُ فِيْهِ مِنْ صَدِيْقٍ صَادِقِ *** يَفْهَمُ قَوْلِيْ لِاعْتِقَادٍ وَاثِقِ

إِذِ الْفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِعْ *** وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْتَفِعْ

 

Artinya: “Aku diminta buat menyusun kitab ini oleh muridku yg jujur, yg memahami perkataanku sebab memiliki iktikad yg kuat (terhadapku). Karena seorang pemuda diangkat derajatnya sesuai iktikadnya, dan setiap orang yg belum memiliki iktikad tak mau dapat mengambil manfaat.” (Syarafuddin Yahya al-Imrithi, Taqrîrât Mandhûmah al-‘Imrithi, [Kediri, Dârul Mubtadi-în: 2019] halaman 5).

 

Pada bait pertama, Syekh al-‘Imrithi menjelaskan latar belakang penyusunan Mandhûmah al-‘Imrithi. Beliau menjelaskan kitab tersebut ditulis atas permintaan salah seorang muridnya. Murid ini dideskripsikan sebagai orang yg dapat memahami penjelasan Syekh al-‘Imrithi sebab memiliki iktikad yg kuat terhadap beliau, bahwa Syekh al-‘Imrithi merupakan sosok yg patut dijadikansebagai guru, serta layak dihormati dan dimuliakan.

 

Sementara pada bait selanjutnya, Syekh al-‘Imrithi menguraikan urgensi iktikad baik. Menurutnya, ketinggian derajat seseorang diukur berdasarkan iktikadnya. Dalam konteks dunia pendidikan hal ini dapat diartikan bahwa kemampuan murid dalam menyerap dan memahami materi yg diajarkan oleh guru diukur dari kekuatan iktikad atau keyakinannya terhadap guru. Semakin kuat iktikad murid terhadap gurunya, potensinya buat menyerap materi dan mengambil faidah dari gurunya semakin besar. Tentu hal ini bukan berarti bahwa iktikad saja cukup sebagai modal buat memahami materi pelajaran dan mengesampingkan faktor lainnya. Namun teori semacam ini menekankan bahwa iktikad baik kepada guru mau meningkatkan potensi dalam menyerap penjelasan serta mengambil manfaat dari seorang guru. Dalam hal ini, Syekh Ibrahim al-Baijuri mengamini teori Syekh al-‘Imrithi dgn menyatakan:

 

فَالْاِعْتِقَادُ نَافِعٌ لَا مَحَالَةَ وَلَوْ كَانَ فِيْ الْأَحْجَارِ

 

Artinya: “Sebuah iktikad bagaimanapun juga mau memberikan kemanfaatan, walau pada kerasnya bebatuan sekalipun.” (Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Baijuri, Fathu Rabbil Bariyyah ‘alâd Durrâtul Bahiyyah Nadhmil Ajurumiyyah, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1434 H/2013 M], halaman 27).  

 

Syekh al-‘Imrithi juga menambahkan, setiap orang yg tak memiliki iktikad maka tak mau dapat mengambil kemanfaatan. Pernyataannya ini menegaskan, kenihilan sebuah iktikad dapat menjadi penghalang bagi seorang murid buat dapat mengambil pelajaran dari gurunya. ‘Wa kullu man lam ya’taqid lam yantafi’’, dan siapapun yg belum memiliki iktikad maka belum dapat mengambil kemanfaatan.

 

Dalam konteks relasi guru-murid, pernyataan ini mengindikasikan bahwa seorang murid yg belum memiliki iktikad bahwa gurunya merupakan sosok alim dan mulia, ia berpotensi tak mampu mengambil manfaat pelajaran darinya. Hal ini mengiyakan salah satu kalam hikmah yg akrab terdengar, al-madad ‘alâ qadril masyhad, sebuah pertolongan dari orang mulia tergantung dgn cara pandang kita kepadanya.

 

Walhasil, semuanya bermuara pada husnudhdhan atau prasangka baik murid kepada gurunya. Karena pada dasarnya iktikad baik yg kuat tak mau muncul tanpa didahului oleh prasangka yg baik sebelumnya.

 

Dalam kitab al-Fawâ-id al-Mukhtârah dikisahkan, di salah satu pemukiman ada kuburan yg diziarahi oleh penduduknya. Mereka beriktikad kuburan itu merupakan makam orang mulia. Dengan iktikad tersebut, mereka mendatanginya dalam rangka bertawassul buat hajat dan harapan mereka. Dan berkat iktikad baik, Allah mengabulkan hajat mereka. Namun tak disangka, di kemudian hari ternyata diketahui bahwa yg berada di kuburan tersebut sebenarnya bukanlah wali atau sosok mulia, melainkan bangkai keledai. Meski demikian, berkat prasangka dan iktikad baik, orang-orang tersebut memperoleh hajatnya. Di akhir kisah al-Habib Zain bin Ibrahim menuliskan:

 

بِوَاسِطَةِ حُسْنِ ظَنِّهِمْ نَالُوْا مَا يَأْمُلُوْنَهُ وَنَفَعَهُمْ الْاِعْتِقَادُ

 

Artinya: “Berkat prasangka baik mereka mendapatkan apa yg mereka harapkan dan iktikad yg kuat memberikan mereka manfaat.”

 

Al-Habib Zain juga mengutip pernyataan:

 

صَاحِبُ حُسْنِ الظَّنِّ لَا يَخِيْبُ وَإِنْ أَخْطَأَ

 

Artinya: “Seseorang yg berprasangka baik tak mau rugi walau prasangkanya keliru.” (Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Fawâ-id al-Mukhtarâh li Sâliki Tharîqil Âkhirah, [Ma’had Dârul Lughah wad Da’wah, 2008], halaman 456).

 

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa prasangka dan iktikad baik seorang murid kepada guru merupakan hal penting yg tak dapat dipinggirkan, bahkan mau mempermudah dirinya memahami pelajaran. Sebaliknya, kenihilan iktikad dan prasangka baik dapat menjadi penghalang seorang murid buat memperoleh manfaat pelajaran dari gurunya. Wallâhu a’lam.

 

 

MF. Falah Fashih, Mahasantri Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo Kediri dan Founder IBIDISM (Inspiration Base, Initiators and Developers Institution for Santri of Ma’had Aly).





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.