Wakaf ialah salah satu amal saleh yg memiliki nilai jariyah atau pahala mengalir, sehingga banyak orang berlomba-lomba melakukannya, seperti buat pembangunan masjid, pondok pesantren, dan semisalnya. Kemauan buat mendapatkan pahala melalui wakaf tak hanya dilakukan oleh orang berpunya, bahkan orang yg secara ekonomi terbilang pas-pasan, juga banyak yg mau mewakafkan hartanya.Â
Â
Kuatnya kemauan buat berwakaf dilakukan dgn upaya beragam. Bahkan meski sebagian orang ada yg melakukannya dgn barang yg masih dalam kredit pembayaran. Dari sini pertanyaan muncul, apakah barang yg statusnya masih dalam kredit pembayaran sah buat diwakafkan?Â
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu kita ketahui, di antara syarat barang boleh diwakafkan ialah milik pewakaf. Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan:
(صَØÙ‘ÙŽ وَقْÙ٠عَيْنÙ) Ù…Ùعَيَّنَة٠(مَمْلÙوكَةÙ) Ù…Ùلْكًا يَقْبَل٠النَّقْلَ (تÙÙÙيدÙ) ÙَائÙدَةً Øَالًا أَوْ مَآلًا
 Artinya “Sah mewakafkan barang  (1) tertentu; (2) yg dimiliki dgn hak kepemilikan yg dapat dipindahtangankan; dan (3) yg bermanfaat baik seketika atau di waktu yg mau datang.†(Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain, (Semarang, Toha Putra: 2002), halaman 87).Â
Â
Bila demikian, apakah benda yg dibeli dalam keadaan masih kredit pembayaran telah dianggap menjadi hak milik debitur?Â
Dalam hal ini kita perlu paham, kredit sejatinya ialah salah satu konsep jual beli yg dibolehkan dalam Islam. Dalam fiqih muamalah atau ekonomi syariah jual beli seperti itu lebih akrab disebut dgn nama bai’ut taqsîth (penjualan dgn bayaran berjenjang). (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Mu’amalâtil Mâliyyah al-Mu’âshirah; Buhûtsun wa Fatâwâ wa Hulûlun, [Damaskus, Dârul Fikr: 2002 M], halaman 351).
Sementara itu al-Khatib asy-Syirbini menjelaskan:
وَلَا يَصÙØÙ‘Ù (بَيْع٠مَا ابْتَاعَهÙ) وَلَا الإÙشْرَاك٠ÙÙيه٠وَلَا التَّوْلÙÙŠÙŽØ©Ù (Øَتَّى يَقْبÙضَهÙ)ØŒ سَوَاءٌ كَانَ مَنْقÙولًا أَوْ عÙقَارًا Ø£ÙŽØ°ÙÙ†ÙŽ الْبَائÙع٠وَقَبَضَ الثَّمَنَ أَمْ لَا
Artinya “Tidak sah menjual sesuatu yg seseorang beli, tak sah menjualnya secara isyrâk (menjual sebagian barang yg dimiliki bersama orang lain) maupun secara tauliyah (menjual barang dgn harga pertama), sehingga orang menerima barang tersebut, baik barang bergerak maupun tak bergerak, baik penjual mengizinkannya dan telah menerima pembayarannya atau tak.†(Muhammad bin Ahmad asy-Syirbini, al-Iqnâ’-u fî Hilli Lafdzi Abî Syujâ’, (Jeddah, Dârul Kutubil ‘Âlamiyyah), juz II, halaman 301).Â
Ungkapan asy-Syirbini menggambarkan bahwa pemberian uang (alat tukar) baik secara langsung atau tak, tak memiliki implikasi tertentu pada kewenangan pembeli dalam mengalokasikan hartanya, selama harta atau barang yg ditransaksikan telah diterimanya secara sempurna.
Â
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hak milik atas barang telah berpindah secara sempurna dari penjual kepada pembeli. Dalam hal ini Syekh Wahbah az-Zuhaili menyatakan:
Â
Ù„Ùأَنَّ ØÙكْمَ الْمَبÙيع٠ثÙبÙوت٠أَثَرÙÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ نَقْل٠الْمÙلْكÙيَّة٠بÙÙ…Ùجَرَّد٠الْإÙيجَاب٠وَالْقَبÙولÙ
Â
Artinya, “Karena hukum barang yg dijual ialah tetapnya pengaruh penjualannya, yaitu berpindahnya kepemilikan hanya dgn adanya ijab qabul.†(Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Mu’amalâtil Mâliyyah al-Mu’âshirah; Buhûtsun wa Fatâwâ wa Hulûlun, [Damaskus, Dârul Fikr: 2002 M], halaman 351).
Â
Kekhawatiran yg terjadi mungkin mau muncul dgn mengandaikan adanya kredit macet yg menjadi penyebab adanya kemungkinan buruk terjadi, seperti penarikan barang atau sebagainya, berkaitan dgn hal ini Syekh Wahbah menjelaskan:
أَمَّا الْمَدÙين٠الْمÙÙْلÙسÙØŒ ÙَيَجÙوز٠لÙلْبَائÙع٠اسْتÙرْدَاد٠الْمَبÙيع٠إÙذَا كَانَ بَاقÙيًا لَمْ يَتْلÙÙÙ’ وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ قَد٠اسْتَوْÙÙŽÙ‰ Ù…Ùنْ Ø«ÙŽÙ…ÙŽÙ†Ùه٠شَيْئًا أَوْ تَلÙÙÙŽ الْمَبÙيع٠أَوْ تَعÙيب٠كَانَ الْبَائÙع٠كَبَقÙيَّة٠الدَّائÙÙ†ÙينَÂ
Artinya “Adapun debitur yg bangkrut (tak dapat membayar cicilan) maka bagi kreditur dibolehkan buat mengambil kembali barang yg dikredit bila masih ada, belum rusak, dan atau debitur belum sama sekali membayar cicilan kreditnya, atau benda kredit telah musnah atau rusak, maka status pemberi kredit sama seperti kreditur lainnya.†(Az-Zuhaili, Ahkâmul Mu’âmalatil Mâliyyah al-Mu’âshirah, halaman 356.)Â
Kasus seperti ini menjelaskan bahwa ketaklancaran dalam kredit pembayaran dapat diatasi melalui beberapa opsi, di antaranya menarik kembali benda yg dikredit bila masih ada (secara opsional). Ungkapan ini secara acontrario atau mafhûm mukhâlafah memberikan pemahaman, adanya hak kebebasan debitur buat memanfaatkan benda kreditnya dgn cara apapun.Â
Â
Walhasil, menurut hemat penulis hukum mewakafkan benda yg sedang dalam kondisi kredit berjalan ialah boleh, sebab status kepemilikannya telah berpindah secara sempurna kepada pembeli. Hal ini terbukti dgn adanya kebebasannya buat memanfaatkan barang yg dibelinya secara kredit dan telah adanya penerimaan barang tersebut secara sempurna, sedangkan cicilan yg menjadi tanggungan debitur ialah hutang yg harus dibayarnya terhadap kreditur. Wallâhu a’lam.  Â
Â
Ning Shofiyatul Ummah, Pengajar Pondok Pesantren Nurud Dhalam Sumenep.
Â