– Penerapan hukuman cambuk (qanun jinayat) di Aceh dipandang masyarakat ‘Serambi Mekah’ hanya menyasar kalangan bawah, sementara para pejabat ‘kebal hukum’.
Masyarakat mendesak qanun jinayat, aturan yg
menetapkan pelanggaran pidana yg perlu dikenakan cambuk, tak cuma mengurus perkara yg bersifat personal,
seperti zina, judi dan LGBT, tapi juga kasus yg merugikan publik, termasuk
korupsi.
Kendati demikian, pejabat daerah di Aceh mengklaim
qanun jinayat ‘tak pandang bulu’.
Menurut salah satu warga Aceh, Siska Amelia, pelaksanaan qanun jinayat dinilainya masih ‘diskriminatif’.
“Kalau
rakyat kecil membuat kesalahan, itu langsung dibawa jalur hukum yg lebih
lanjut dan lebih berat. Sedangkan orang yg ‘besar’ orang yg tinggi
derajatnya, sikit berbuat salah saja tak dibawa ke jalur [hukum] yg lebih
tinggi,” ujar Siska di Masjid
Baiturrahman, dikutip dari BBC News
Indonesia, Selasa, 17 Desember 2019.
Sementara itu,
seorang warga asal Lhokseumawe, Zulkarnain mengatakan bahwa penerapan qanun perlu disempurnakan.
“Untuk ke
depannya kami harapkan syariat Islam di Aceh harus sempurna seperti di dalam Al
Quran dan Hadits. Kalau sekarang di Aceh kan sempurna, tapi belum 100%.”
“Contohnya,
seperti hukum cambuk belum seperti dalam Al Quran, masih tahap percobaan,”
tutur Zulkarnain.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ulya binti Thalal, seorang warga negara Malaysia yg
kini sedang menjalankan studi di salah satu universitas di Banda Aceh.
Ulya mengaku
kaget ketika dia pertama kali menyaksikan eksekusi hukuman cambuk di Aceh yg
dilakukan di tempat umum dan dapat disaksiksan oleh banyak orang. Berbeda dgn
pelaksanaan hukum cambuk di Malaysia yg digelar di dalam ruangan lembaga
pemasyarakatan.
“Ada
baiknya, ada buruknya. Kita kan manusia, ada perasaan malu,â€
ujarnya.
“Tapi
baiknya, semoga kalau hukuman cambuk dilakukan di depan khalayak ramai,
mudah-mudahan orang yg kena cambuk ada kesadaran supaya nggak melakukan lagi
perkara-perkara yg nggak disukai Allah,” sambungnya.