Dikisahkan ketika Khalifah Abu Bakar merasa ajalnya hampir datang menjemput, beliau memanggil putri tercintanya, Sayyidah Aisyah, buat menyampaikan sebuah wasiat.
“Wahai Aisyah putriku, aku telah diserahi urusan kaum Muslimin, aku telah memakan makanan yg sederhana dan aku juga telah memakai pakaian yg sederhana dan kasar. Yang tersisa dari harta kaum Muslimin padaku ialah seekor unta, seorang pelayan (pembantu) rumah tangga, dan sehelai permadani yg telah usang. Kalau aku wafat, kirimkan semuanya kepada Umar bin Khattab. Karena, aku tak mau menghadap Allah sedangkan di tanganku masih ada harta kaum Muslimin walaupun sedikit.” (baca Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Shiddiq, 2014)
Setelah dua tahun memimpin kaum Muslimin dalam situasi yg sangat sulit sebab ia menjadi pengganti pertama Rasulullah (Khalifatur Rasul), Abu Bakar pun mulai mendekati ajalnya. Sebelum wafat, ia berwasiat buat dimakamkan di samping makam Rasulullah.
Pada 23 Agustus 634 Masehi, Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat. Ia melewati tahun yg pendek kekhalifahan yakni hanya dua tahun, tetapi tak mudah dalam sejarah awal kepemimpinan Islam pasca-Rasulullah SAW.
Di era kepemimpinan kini, sosok pemegang teguh prinsip seperti sahabat Sayyidina Abu Bakar tak banyak, bahkan langka.
Abu Bakar selalu berkata yg benar sehingga dijuluki dgn ash-shiddiq (orang yg jujur). Abu Bakar sangat jujur dalam mengemban amanat dan bertanggung jawab terhadap tugas yg diberikan.
Selama menjadi khalifah, ia selalu memperhatikan rakyatnya. Hidupnya sangat sederhana dan tak pernah menggunakan fasilitas negara buat kepentingan pribadi maupun keluarganya.
Di tengah masyarakat, mungkin masih ada individu yg mempunyai idealisme seperti Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, yakni sahabat Nabi Muhammad SAW yg jujur, tegas, amanah, dan mengutamakan kepentingan orang lain ketimbang ambisi dan kepentingan pribadi dan kelompoknya, terutama dalam hal pengelolaan negara dan birokrasi yg ada di bawah naungannya.
Saygnya, yg terjadi seringkali hanya praktik oligarki kekuasaan. Melanggengkan kepentingan hanya buat segelintir orang atau kelompoknya sendiri, bukan masyarakat luas atau rakyat.
Ironi pengelolaan negara dan birokrasi yg tujuan utamanya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat banyak justru yg terjadi ialah upaya melanggengkan kepentingan-kepentingan kelompok kecil dalam wadah partai politik. Bahkan tak jarang setelah tampuk kekuasaan diraihnya, mereka memikirkan langkah-langkah buat meraih kekuasaan pada periode selanjutnya.
Tidak aneh bila negara hanya dikuasai segelintir kelompok yg mempunyai basis kuasa dalam bidang ekonomi dan media. Gerakan civil society yg mempunyai basis sosial-masyarakat dicampakkan begitu saja perannya dalam mengelola negara sehingga mereka acapkali hanya dijadikan lumbung suara dalam pemilihan umum. Inilah di antara pemahaman praktik oligarki di dalam perpolitikan Indonesia.
Pemandangan praktik oligarki terlihat jelas dalam mengelola ibu kota negara, Jakarta. Bagaimana mungkin kursi wakil gubernur dibiarkan kosong selama lebih dari satu tahun? Sedangkan perannya sangat dibutuhkan dalam melayani masyarakat.
Tentu saja tawar-menawar politik antarpartai pengusung belum mencapai kesepakatan sehingga yg menjadi korban ialah masyarakat. Di sini terlihat mereka hanya mementingkan kuasa kelompoknya sendiri ketimbang kepentingan masyarakat secara luas.
Persoalan tersebut juga terjadi dalam level pengelolaan negara. Sebagaimana yg tercatat dalam sejarah, dalam paradigma Machiavellian, negara acap menggunakan segala cara demi mengamankan kekuasaan dan otoritasnya lewat semua instrumen yg ia miliki: modal, media, juga legitimasi institusi ilmu pengetahuan.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon
Uncategorized